Alva tertegun. Benarkah Gamma tidak seantusias dulu dengan hubungan mereka?

"Tapi, gue sama dia beneran nggak lagi kenapa-napa, Ta," jelas Alva ragu-ragu.

Delta mengangguk mengerti. "Iya, gue percaya. Tapi, hari ini gue mau ulangi peringatan yang pernah gue kasih buat lo." Lelaki itu menelan salivanya. "Jangan main-main sama dia atau lo berhadapan sama gue."

Alva tersenyum tipis. "Tenang aja. Cewek kayak Gamma nggak pantas dipermainkan."

Delta menepuk pundak Alva dua kali. "Gue yakin lo orang yang bisa dipercaya."

****

Satu jam setelah perbincangan Alva dan Delta selesai. Kini Alva dan Gamma berada di sebuah toko kopi dengan gaya minimalis bercahaya remang-remang dihiasi berbagai macam dekorasi dari kayu. Alva sedang sibuk menelepon seseorang yang katanya akan menjadi kuasa hukum Bunda Nadia di persidangan nanti. Gamma masih setia menunggu lelaki itu. Ya, walaupun jadi sedikit bete karena Alva lebih banyak bolak-balik menelepon daripada mendengarkannya.

"Kak Alva lagi sibuk banget, ya?" tanya Gamma hati-hati sekembalinya Alva ke tempat duduk mereka. Namun, tetap saja raut wajah dan sorot matanya tidak bisa dibohongi.

Alva mengalihkan perhatiannya sebentar dari kolom pesan ke Gamma, menangkap raut wajah gadis itu. "Sorry, ya. Gue nggak nyangka kalau bakal kayak gini hari ini. Padahal kemarin orangnya bilang baru bisa mengurus perkaranya Bunda minggu depan," jawab Alva terburu-buru. Tatapan lelaki itu kembali fokus pada ponselnya, jemarinya bahkan tidak berhenti mengetik daritadi.

Gamma mengembuskan napasnya kasar sekali. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada, kemudian menyandarkan punggungnya ke kursi dengan sedikit kasar.

"Apa nggak lebih baik kita pulang aja?" usul Gamma berusaha sabar, "Biar Kak Alva lebih fokus urus semuanya. Ketemu Gamma 'kan bisa kapan-kapan lagi."

Alva mendongak lagi. "Sabar, Al," tegurnya, "Gue usahakan ini selesai cepat."

Gamma mengangkat kedua bahunya seraya mengembuskan napas kasar sekali lagi. Gadis itu geleng-geleng, berusaha memaklumi "kesibukan" Alva hari ini. Gamma putuskan main ponsel dan mengabaikan Alva juga.

Lima belas menit kemudian, Alva menyimpan ponselnya di atas meja. Sebuah pergerakan yang membuat Gamma mendongak dengan cepat. Lelaki itu berdiri diikuti pergerakan mata dan kepala Gamma.

"Titip ponsel gue, ya. Gue ke toilet sebentar," ucapnya lalu melenggang pergi.

Gamma mengangguk pasrah lalu membenarkan posisi duduknya. Sayangnya, secara tidak sengaja Gamma menangkap sesuatu yang menarik perhatiannya dari ponsel Alva. Ya, lock screen-nya. Masih foto yang sama dengan apa yang Delta lihat di villa.

Gamma menekan sekali tombol di samping ponsel Alva untuk menghidupkan benda pipih itu. Sekarang, Gamma bukan hanya bisa melihat lock screen yang Alva gunakan, tetapi juga notifikasi yang membuat ponsel itu menyala beberapa detik lalu.

Bethanny(a) Al(va) : Okay. Nanti berkabar ya, Al. Aku bantu semampu aku.

"Lihat apa?" Alva mendadak muncul di hadapannya tanpa Gamma sadari.

Gamma mendongak lalu menggeleng. "Tadi ponsel Kakak nyala. Takutnya penting, jadi Gamma lihat sekilas." Gadis itu memaksakan senyumnya. "Maaf."

Alva membalas senyum Gamma, tanda ia menerima permintaan maaf Gamma. "Betha, ya?" tebaknya tidak meleset.

Gamma mengangguk pasrah. "Katanya tadi ngobrol sama kuasa hukum Bunda? Namanya Betha juga?" tanyanya sedikit sarkas.

Alva menyimpan kembali ponselnya setelah membalas pesan dari Betha. Bukan Alva namanya jika dia tidak langsung menangkap perubahan pada nada bicara Gamma.

ALVABETHWhere stories live. Discover now