349 - Siap Melanjutkan Perjalanan

22 11 0
                                    



Gurun salju sudah dilewati hanya dalam waktu setengah jam saja, selama rentangkan waktu itu, Handong terus melompat lurus ke depan dalam kecepatan tinggi, ia berteriak bahagia karena berhasil menindas kedua gadis yang sering membuatnya kesal itu. SuA dan Dami yang berlari tepat di belakang Handong hanya menonton saja ketika adegan itu terjadi.

Mereka tak memedulikan meski JiU dan Gahyeon meminta tolong agar Handong berhenti. Ketika pohon pertama mereka lihat, maka itulah tempat mereka berhenti. Pohon itu berada di daerah salju, tapi seratus meter ke depan salju sudah benar-benar lenyap yang mana di sana hanya ada hitan saja.

JiU dan Gahyeon murung, mereka tengkurap di atas salju tanpa mengatakan apa-apa seolah keduanya langsung depresi seketika. Padahal tangan mereka merah akibat tali yang terikat berlalu kuat, ketika SuA melepasnya, cedera tangan mereka sembuh seketika.

“Mereka sepertinya lebih depresi dari yang kuduga.” Dari bergumam pelan tatkala memperhatikan kedua gadis itu.

“Aku tidak melukai mereka. Bahkan sepanjang jalan tidak ada hal buruk yang menimpa. Hanya tangan mereka saja yang luka gara-gara ikatan talinya jadi kencang.” Handong membela diri, ia tidak merasa bertanggung jawab atas apa yang saat ini menimpa JiU dan Gahyeon.

SuA yang tidak memedulikan itu langsung berjongkok di hadapan keduanya.

“Jadi, kalian sudah kapok? Tak akan bermain-main lagi ketika masih di dalam misi ini?” tanyanya yang terdebgar lembut. Sementara JiU tampak muram dan seperti ngeri membayangkan kejadian sebelumnya.

“SuA, jangan hukum aku. Itu mengerikan, aku tidak suka dihukum.” JiU bergumam lirih seperti seseorang yang penuh penderitaan. Ia sama sekali tak menanggapi bahkan menjawab pertanyaan dari SuA.

“Kakak, apa dosa aku? Anak-anak memang suka bermain.” Gahyeon juga berucap dengan nada yang sama membuat SuA memejamkan mata lalu menarik dan mengembuskan napas secara pelan.

“Kau bukan anak-anak, tolol! Tidak ada anak-anak yang punya pantat dan payudara sebesar itu!” sergah Handong ketika mendengar perkataan Gahyeon.

“Sepertinya mereka jauh lebih terguncang dari yang kuperkirakan.” SuA berucap dalam benaknya, apalagi melihat ekspresi wajah keduanya.

“Baiklah, sepertinya kita harus beristirahat dulu sebentar.”

“Aku masih oke, aku akan lanjut sendirian.”

“Handong, ada baiknya untuk saat ini kamu jangan dulu memisahkan diri. Kita akan menyebar setelah tiba di markas musuh.”

“Aku malas berlama-lama diam di sini.”

“Kalau begitu kamu boleh pergi, tapi jangan berlama-lama dan segeralah kembali.”

“Terserah kau.” Handong kemudian pergi meninggalkan mereka.

“Kau yakin kita memerlukannya? Dia menyebalkan.”

“Bagaimanapun dia, dia tetap teman kita. Walau pastinya dia malu mengakuinya.”

SuA kemudian beralih pada JiU dan Gahyeon yang masih terkapar di atas salju. “Kita akan beristirahat di bawah pohon yang tidak ada saljunya. Ayo kalian bangun.”

“Gendong!” seru mereka serempak sambil mengulurkan tangan.

“Astaga.”

***

Sekitar seratus meter dari daerah bersalju, SuA dan yang lainnya duduk mengistirahatkan tubuh, Gahyeon dan JiU masih tampak terguncang akibat apa yang Handong perkuat sebelumnya. Tidak banyak percakapan terjadi antara Dami dan SuA, sudah biasa apabila Dami hanya akan berbicara kalau itu diperlukan saja.

Maka untuk mengusir rasa bosan, SuA beralih pada JiU dan Gahyeon, ia mengajak mereka untuk mengobrol. Hanya dalam waktu singkat saja ketiganya duduk saling berhadapan lalu bertukar kalimat, sesekali mereka tertawa ketika ada candaan yang terlontar.

Beberapa kali mereka mengajak Dami bergabung, tapi ia tetap menolak, ia lebih memilih untuk naik ke atas pohon lalu memantau situasi di sana, karena pepohonan yang terlalu lebat daunnya, ia tidak bisa melihat terlalu jauh, selain itu bagian puncak pohon terdiri dari ranting kecil yang akan patah jika ia menginjaknya, maka dari itu ia tak bisa lebih tinggi lagi.

Tak lama Dami turun, Handong juga kembali dari jalan-jalannya menyusuri hutan.

Pada saat itulah mereka hendak berangkat lagi, sebelum melanjutkan perjalanan, SuA melirik ke arah Handong. “Apa saja yang sudah kamu temukan?”

“Hanya sampah.”Handong menjawab ketus tampak tak puas.

“Kamu mengamuk lagi?” gumam SuA yang menebak mengenai apa yang gadis itu lakukan.

“Hanya pemanasan.”

“Dia pasti menghajar dan menghabisi monster-monster yang tinggal di hutan ini.” Gahyeon langsung berasumsi, ia mengatakannya secara pelan, meski tetap saja suaranya dapat didengar oleh mereka.

“Itu sudah pasti, tak perlu diperjelas juga semua sudah tahu.” JiU membalas mengiyakan.

“Omong-omong di depan sana aku menemukan daerah terbuka, aku ingin melajutkan, tapi sepertinya itu sudah melenceng dari jalur.” Handong menunjuk ke arah punggungnya menggunakan ibu jari lalu bertolak pinggang.

“Kalau begitu ini saatnya kita pergi.” SuA membalas.

“Ayo, aku sudah siap!” Gahyeon mengangkat kedua tangannya.

“Sudah siap!” JiU berseru meniru Ggahyeon.

“Sebelum itu.” SuA membalikkan badan lalu berhadapan dengan JiU dan Gahyeon.

“Dengar, aku tahu kalian suka bermain-main, tapi bisakah tunda dulu untuk sekarang? Bahaya bisa datang kapan saja dan di mana saja. Kita tidak tahu kapan harus bertarung, maka dari itu aku ingin kalian bersiaga setiap saat. Aku mengatakan ini bukan untuk mengatur kalian, tapi itu karena aku sayang kalian dan apa pun alasannya, aku tak mau kehilangan kalian.” Ia berbicara panjang lebar untuk membuat kedua gadis itu bisa mengerti dengan maksud dari ucapanya.

“Aku mengerti. Kita akan berhati-hati dan waspada.” Gahyeon mengangguk, ekspresi dan nada bicaranya tampak meyakinkan membuat SuA puas melihatnya.

“Aku juga mengerti, aku tidak akan dihukum lagi, ya kan?” balas JiU yang juga menanggapi perkataan SuA.

“Baguslah kalau kalian mengerti.” SuA tersenyum, ia merasa lega karena keduanya mendengarkan.

“Tenang saja, kali ini kami akan serius.” Gahyeon membalas dengan meyakinkan. Pada saat itulah JiU meraih pundaknya.

“Adik, lihat, ada burung bercahaya.” JiU menunjuk ke arah hutan yang mana terdapat banyak tanaman berbunga, tampak di sana terdapat beberapa ekor burung yang memiliki bulu mengeluarkan cahaya putih kekuningan.

Bukan hanya Gahyeon saja yang menoleh ke arah yang JiU tunduk, melainkan SuA, Handong dan Dami juga refleks melakukannya.

“Tangkap!” teriak Gahyeon. Keduanya segera memasuki hutan sambil mengejar burung berbulu cerah dan terang, mereka seukuran kolibri.

“Omongan mereka Cuma bualan saja. Baru sedetik bicara, sedetik kemudian sudah lupa.” Dami mengomentari dengan nada yang pelan. SuA hanya bisa memandang mereka tanpa daya.

“Mereka susah dinasihati. Baru saja mengatakan akan waspada, sekarang malah main-main lagi.” SuA berguman lirih. Ia benar-benar sudah tak tahu harus bagaimana caranya memberitahu mereka berdua agar tidak berperilaku seperti itu.

“Aku lelah melihat tingkah mereka.” Dami berucap jujur.

“Tinggal abaikan saja mereka.” Handong berkata enteng tanpa peduli.

“Mana mungkin aku mengabaikan mereka.” SuA menoleh ke arah Handong saat berbicara sebelum kemudian kembali memandang ke arah Gahyeon dan JiU yang saat ini tampak sedang berusaha menangkap burung-burung kecil yang berusaha masuk ke dalam bunga.

“Kau tahu,” ucap Dami pelan. “Faktanya mereka memiliki keberuntungan yang bagus, sejak awal pertemuanku dengannya, dia sudah terlihat payah, tapi bocah itu malah bertahan sampai sekarang. Begitu juga dengan perempuan kekanakan itu, dia juga sama. Logikanya, mereka harusnya sudah mati sehari setelah tiba di tempat buruk ini. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, entah bagaimana caranya, mereka selalu berhasil lolos dari keadaan buruk walau tak pernah bertarung.” Ia menerangkan panjang lebar mengenai kelebihan yang dimiliki mereka berdua, yaitu keberuntungan.

“Kalau dipikir-pikir lagi, kamu ada benarnya. Ini ajaib, mereka bisa bertahan walau tanpa bertarung.” SuA sadar bahwa yang dikatakan Dami adalah faktanya, JiU dan Gahyeon berhasil selamat dari berbagai situasi.

“Bukannya mereka selalu berlindung di balik ketiak kita?” ketus Handong yang seperti tak setuju bahwa kedua gadis yang sedang mereka perhatikan memiliki keberuntungan yang bagus.

SuA menggeleng dan menyangkal. “Itu sesekali, tapi dalam keadaan lain mereka berjuang sendirian.”

“Maka dari itu, lebih baik berhenti mengkhawatirkan mereka, apalagi memberi nasihat yang akan mereka lupakan begitu saja.” Handong menyuruhnya dengan nada ketus.

“Mungkin kalian benar, aku tak perlu terlalu mengkhawatirkan mereka.” Ia akhirnya setuju. “Nah, kalau begitu kita lanjutkan perjalanan ini, kuharap kita sudah dekat.”

Ketiganya segera menyusul Gahyeon dan JiU yang sedang berusaha menangkap burung-burung kecil itu. Semua burung tampak sedang berusaha menyentuh tanaman bunga yang hidup di sekitar sana.

“Gahyeon, berikutnya kita ke arah mana?” tanya Sua dari kejauhan yang hal itu membuat Gahyeon menghentikan kegiatannya.

“Benar juga, kita harus berangkat sekarang.”

“Harus sekarang? Kita baru menangkap satu burung.” JiU membalas. Pada keddua tangannya ia tampak memegang seekor burung bercahaya itu. Entah bagaimana caranya ia berhasil menangkap burung itu.

“Iya, ini adalah misi kita. Jika terlalu lama di perjalanan, maka mungkin saja ada hal buruk yang terjadi.”

“Ya sudah, ayo pergi.” JiU akhirnya melepas kembali burung itu. Keduanya segera berjalan atau tepatnya berlari kecil menuju ke tempat SuA berada, Gahyeon melompat-lompat seperti yang selama ini ia lakukan, dan hasilnya adalah ia hampir terjatuh karena kakinya tersandung tanah.

“Woah, hampir saja aku jatuh.”

“Kenapa kamu berjalan seperti itu?” tanya SuA heran.

“Seperti apa?”

“Yang barusan.”

“Ahahaha, abaikan saja itu.” Gahyeon kemudian mengeluarkan laptopnya. “Mari kita lihat kita harus pergi kr arah mana.”

Ketika layar laptop dibuka, SuA dan JiU ikut memperhatikan. Gahyeon menunjuk daerah diwarnai putih lalu di sisi lain ada daerah hijau. “Kita ada di sini.” Jarinya bergerak menuju ke sisi kanan menuju titik merah. “Dan akan menuju ke sini.”

Sementara JiU dan SuA tampak kebingungan karena huruf yang ditampilkan di sana tampak aneh dan tidak bisa dibaca.

Gahyeon kemudian mengangkat wajah memandang sekitar lalu menunjuk ke arah hutan.

“Ke arah sana.”

“Benarkah? Kau tak salah arah?” tanya Handong.

“Aku mengetahuinya, di sini ada penunjuk arah kita yang sudah tepat.” Gahyeon menekan sebuah tombol yang membuat tampilan layar bisa dibaca dan dipahami orang lain  selain dirinya, setelah itu ia segera menyerahkan laptop itu pada Handong untuk memperlihatkan titik-titik biru yang memiliki panah mengarah tepat menuju titik merah.

Handong tak menerimanya, ia hanya sedikit memajukan kepalanya untuk melihat apa yang ada di dalam layar, sementara laptop dibiarkan agar Gahyeon terus memeganginya.

“Titik merah adalah tempat tujuan, titik biru adalah kita. Lihat arah panahnya.” Gahyeon langsung menjelaskan sebelum ditanya.

“Oh, begitu rupanya. Di sini juga ada perkiraan suhu dan tekanan udara. Ternyata di sini jauh lebih hangat dari yang ada di daerah salju.” Handong bergumam pelan.

“Bagaimana kamu membacanya? Aku tak mengerti soal huruf-huruf itu.” SuA bertanya karena sebelumnya ia sama sekali tak paham dengan isi laptop itu. Handong segera memutar arah laptop dengan tangan Gak tetap memegangi benda itu.

“Lihat, ini ada angka dan simbol nya.” Handong menunjuk simbol-simbol yang kini bisa SuA pahami. Di sana terdapat angka dan huruf latin.

“Kalau begitu ayo bergerak.”

“Em ... aku punya ide bagus soal penunjuk jalan.” Sebelum semuanya melangkah pergi, Gahyeon buka suara sambil menarik tangannya mengarahkan laptop ke depan wajahnya.

“Ide apa?” tanya JiU.

“Kita akan menggunakan beacon, bayiku dan laptopku sebagai penunjuk jalan. Aku akan mentransfer data petanya pada semuanya agar bisa memberikan jalan yang dibutuhkan. Ini akan lebih praktis tanpa aku harus melihat-lihat terlebih dulu.” Gahyeon mengutarakan idenya.

“Dengan begitu, jadi kita ada tiga benda yang bisa menuntun kita ke jalan yang tepat, andaikan kita terpisah, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Ia menambahkan.

“Pertanyaanya, pemancar ini tidak memiliki fungsi navigasi, ini tidak bisa memberi petunjuk jalan. Bagaimana cara benda itu melakukan fungsi seperti yang kau katakan?” tanya Dami.

“Aku sudah memprogram ulang beaconnya, itu bisa menampilkan hologram dan akan memberi lampu peringatan apabila jalan yang diambil keliru.” Gahyeon menjawab tenang seolah ia sudah tahu bahwa pertanyaan itu akan diajukan.

“Ini tidak jadi pemancar lagi. Bagaimana dia bisa mengubah sistem dan fungsi suatu benda elektronik begitu cepatnya?” tanya Dami dalam benaknya.

“Itu bisa digunakan kalau begitu.” SuA membalas.

“Aku sudah melakukan teansfer data lokasi dan rute yang harus kita ambil. Siapa yang mau ambil?” Gahyeon memegang laptop dengan tangan kiri ketika ia merogoh pemancar dan dronenya lalu mengulurkan pada meraka. Drone itu tampak berada dalam keadaan nonaktif.

“Kurasa aku ambil pemancarnya.” SuA mengambil benda itu dari Gahyeon. Sementara sebelum JiU dan Dami sempat melakukan sesuatu, Handong sudah mengambil drone yang melayang di samping kepala Gahyeon.

“Bayiku!” Gahyeon berseru saat melihat itu.

“Aku ambil ini. Kuharap benda tololmu berguna.” Handong tersenyum sambil memperhatikan drone sesaat sebelum beralih memandang Gahyeon.

“Siapa bilang aku mengizinkan kamu mengambil bayiku! Aku tidak akan lupa dengan apa yang kamu lakukan pada saat kamu di pesawat.” Gahyeon berseru mengungkit kembali mengenai kejadian penyelamatan Handong dan Dami yang sebelumnya telah ditangkap. Ketika adegan itu terjadi, dengan sengaja Handong menghancurkan dua robot milik Gahyeon.

“Itu kecelakaan, aku tak sengaja melakukannya.” Handong membela diri.

“Bohong!”

“Sudahlah, aku berjanji akan menjaga dan mengembalikan benda ini padamu. Jangan merengek!” Handong membalas sambil melemparkan drone itu ke atas lalu tangannya terayun menangkap benda bulat itu.

“Tapi ....”

“Gahyeon, sudahlah.” SuA melerai membuat Gahyeon menghentikan diri untuk lanjut berbicara.

“Aku pegang janji kamu.” Gahyeon berucap tegas sambil cemberut. Handong tampak tak peduli.

“Lalu bagaimana dengan kalian, JiU dan Dami?” SuA beralih memandang mereka secara bergantian.

“Aku baik-baik saja, aku akan selalu bersama adikku soalnya.” JiU membalas sambil memeluk Gahyeon, ia sengaja menyentuhkan pipi mereka.

“Aku tak masalah. Andaikan aku terpisah, bisa kucari solusi untuk mengatasinya.” Dami menjawab tenang.

“Kalau begitu ayo kita lanjutkan perjalanan kita!” seru Gahyeon bersemangat.

“Lanjutkan!”

“Kenapa mereka bergelagat seolah kita sedang piknik?” Dami bergumam pelan.

“Aku akan naik ke puncak pohon lalu melihat-lihat situasi hutan. Siapa tahu ada banyak hal yang bisa dilihat di atas sana.” SuA buka suara sebelum mereka melangkah pergi.

“Kakak, bayiku bisa melakukannya.” Gahyeon berucap membuat SuA menghentikan langkah.

“Aku hampir lupa.”

Maka Handong terpaksa melepaskan drone itu sebentar, Gahyeon mengaktifkannya lalu memerintahkan benda itu untuk naik ke atas. Secara perlahan, ketinggian diraih oleh benda itu. Sementara mereka melihat layar yang sudah terhubung dengan drone itu.

Kelima gadis itu memperhatikan layar yang mana drone masih menampakkan pepohonan. Hingga tak berselang lama ketika drone sudah melebihi ketinggian pohon yang tertinggi, benda itu memperlihatkan apa-apa saja yang ada di atas hutan.

Apa yang drone perlihatkan membuat mereka terkejut. Tepat beberapa kilometer di depan ada bukit atau gunung, tapi sesuatu yang lebih dari itulah yang membuat mereka terkejut. Beberapa ratus meter di atas hutan, dengan ketinggian melebihi gunung atau bukti, tampak benda raksasa melayang. Benda berukuran super besar itu tampak bergeming di ketinggian itu.

Drone segera memperbesar tampilan sehingga bangunan raksasa itu bisa dilihat lebih jelas lagi, nuansa warna putih tampak jelas terlihat di sana.

“Apa itu kota langitmu?” tanya Handong pada SuA, ia menoleh ke arah gadis itu. Ya, yang mereka lihat seperti sebuah pesawat raksasa yang di atasnya ada bangunan-bangunan futuristik, dilihat dari kejauhan saja sudah dapat ditebak kalau itu adalah bangunan.

***

Nah loh, kenapa tiba-tiba Handong nanya itu.kira-kira apa jawabannya ya?😆.

Nightmare - Escape the ERA 3rd Stories (DreamCatcher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang