306 - Menyusuri Terowongan

26 10 3
                                    



Di tempat Gahyeon dan Handong. Gahyeon menggunakan drone-drone berukuran kecil untuk menerangi terowongan tersebut, atau lebih tepatnya jalur yang merupakan jalan bagi monster raksasa yang bergerak di bawah tanah. Saat ini Gahyeon masih memapah Handong yang masih cedera serius. Untunglah Handong berada di dekat Gahyeon, seperti yang sudah diceritakan sebelumnya, Gahyeon memiliki sistem perusak radar yang mana seluruh alat yang ada pada tubuh atau pakaian Handong saat ini sedang nonaktif. Hal ini memberi mereka kabar baik dikarenakan Seonghwa tak bisa melacak keberadaan mereka melalui alat-alat pada pakaian Handong.

Setelah pertarungan melawan Yunho, Gahyeon hanya memiliki satu drone tersisa, benda itu mampu memancarkan sinar yang kini menjadi penerangan bagi mereka sehingga terowongan besar tersebut bisa mereka lihat dengan baik.

Saat ini, keduanya berjalan menjauh dari kota arahnya searah dengan kedatangan monster cacing raksasa sebelumnya di mana itu adalah arah berlawanan dengan kedatangan Handong beberapa waktu yang lalu.

Handong berjalan dengan agak tertatih, ia tak memperlihatkan rasa sakit meski sebenarnya cedera yang dirinya alami sangat serius. Lebih parahnya, tak ada satu pun dari mereka yang membawa tabung energi. Drone-drone yang Gahyeon buat sudah membawanya pergi cukup jauh.

Seperti yang sudah diceritakan sebelumnya, terowongan yang dibuat oleh monster cacing tanah raksasa itu memiliki ukuran yang sangat besar. Mengingat ukuran monsternya sendiri sudah luar biasa besar, maka sangat wajar apabila ukuran terowongannya seperti ini.

Lebih parahnya, jalanannya seperti terbuat dari tanah berlumpur yang mana agak lembap lalu bagian sampingnya sedikit basah sehingga lebih lembek dari permukaan pijakannya.

“Aku pikir ini adalah jalan lurus, tapi kita masih belum menemukan apa-apa. Padahal kita sudah jauh bergerak.” Gahyeon berbicara untuk pertama kalinya sejak mereka memasuki terowongan itu. Suaranya sama sekali tidak menghasilkan gema seperti yang sebelumnya dilakukan oleh JiU ketika pertama kali masuk ke dalam terowongan ini. (Bab 252). Dinding-dinding terowongan yang terbuat dari tanah berlumpur di mana teksturnya lembek bukan sesuatu yang bisa memantulkan suara sampai menghasilkan gema.

Gahyeon agak kesal karena ia terus dimarahi dan dikasari oleh Handong, padahal ia merasa bahwa dirinya sudah melakukan hal benar, tidak menganggu dan merugikan Handong.

“Jauh apanya? Dengan langkah sepelan ini, kita mungkin hanya bergerak sejauh satu kilometer saja. Kau benar-benar lelet.” Handong membalas melontarkan ejekan, nada bicaranya lebih keras dari yang seharusnya.

“Jangan marah-marah, aku berjalan pelan agar kamu tidak terlalu kesakitan,” ketus Gahyeon tanpa menoleh.

Handong tidak membalas, ia hanya berdecak kesal saja.

Beberapa detik lamanya, tidak ada yang berbicara lagi di antara mereka. Handong sendiri tampak menahan sakit ketika setiap langkah dirinya ambil. Normalnya, ketika seseorang mendapat cedera separah yang Handong alami, harusnya orang itu beristirahat dalam waktu lama sebelum kemudian mendapatkan perawatan penuh.

“Jadi, seberapa jauh terowongan ini?” tanya Gahyeon ketika sudah cukup lama mereka berjalan sama sekali tidak ada yang berbicara. Agak sulit memapah tubuh Handong yang saat ini sedang mengalami cedera serius, pasalnya ia barus berhati-hati menggerakkan tubuhnya agar setidaknya tidak memperparah cedera itu dan seminimal mungkin memperkecil rasa sakit yang Handong terima.

“Entah, mungkin sepuluh kilo atau lebih.” Handong hanya menafsirkan saja.

“Sejauh itu?”

“Siapa yang tahu, monster itu sangat besar dan pasti bergerak dalam jarak yang jauh.”

“Itu belum pasti, bukan? Hanya dugaan saja.”

“Memang.”

Gahyeon kemudian menunduk memandang lantai yang teksturnya agak lunak meski tidak sampai membuat mereka terperosok.

“Lantai seperti ini, bagaimana caranya kamu berjalan menyusuri terowongan sebelumnya?” tanya Gahyeon sambil mengangkat wajah memandang ke arah Handong. Ia sengaja membuka topik baru agar mereka tidak terlalu bosan dengan keheningan yang terjadi.

“Aku melewati terowongan ini dengan berlari.”

“Kenapa kamu berlari?”

“Monster itu mengejarku dari belakang.”

“Tumben kamu melarikan diri, bukankah kamu selalu menghadapi bahaya? Aku tak menyangka bahwa kamu bisa menjadi pecundang juga.” Secara refleks Gahyeon malah mengatakan kalimat itu, ia ingin menutup mulutnya, tapi tangan kirinya memegang tubuh Handong sementara tangan kanannya memegang tangan kanan Handong.

“Jangan seenaknya mengataiku, dungu!” ketus Handong ketika Gahyeon hendak berbicara mengoreksi kata-katanya. Tapi kerena mendengar perkataan Handong, Gak mendadak cemberut.

“Padahal kamu yang seenaknya mengataiku,” gumam Gahyeon dengan pahit. Sayang Handong sama sekali tak memedulikannya.

“Monster itu tak bisa kulihat, aku tak memiliki drone seperti itu yang bisa jadi senter. Sarung tanganku hanya bisa menyala memberikan penerangan remang saja.” Handong segera memberikan alasan mengapa ia tak menghadapi monster itu, padahal Gahyeon tak meminta melanjutkan. “Aku tak setolol itu sehingga mau saja bertarung tanpa bisa melihat musuh. Konyol sekali membayangkan aku memukul udara hampa tanpa membuahkan hasil apa-apa.” Ia mengatakannya begitu ketus.

“Menurut kamu, apa monsternya akan segera lewat?” tanya Gahyeon.

“Kenapa kau bertanya itu terus? Aku bosan mendengarnya!” bukannya memberi jawaban, Handong malah membentak.

“Itu karena aku takut. Kemarin hanya dengan melihatnya lewat, aku hampir kencing di celana, lalu sekarang kita ada di sini. Jika monster raksasa itu lewat, maka aku tak tahu apa yang terjadi.” Gahyeon membalas.

“Soal itu, mana aku tahu kapan monster itu lewat, jangan tanya aku soal itu.”

“Menyebalkan.”

Setelah itu, tak ada lagi percakapan di antara keduanya. Gahyeon sendiri tidak ingin berbasa-basi mencari topik lagi, yang ada ia malah akan dimarahi oleh Handong.

“Aku ingin segera beristirahat, aku sudah tak kuat berjalan dengan bobot seberat dirimu.  Kakiku sudah lelah.” Gahyeon tiba-tiba saja mengeluh lalu menghentikan langkahnya, drone yang menjadi penerangan pun secara otomatis berhenti bergerak.

“Makanya gunakan kakimu lebih cepat lagi, bodoh!” Handong berucap agak membentak padanya.

“Mana mungkin aku berjalan cepat kalau aku harus memapah kamu! Andaikan aku bisa berjalan sendiri.” Gahyeon membalas dengan nada yang keras juga.

“Oh, kalau begitu bagaimana jika posisi kita berubah, tulang-tulang pada tubuhmu banyak yang remuk dan aku akan memapahmu. Aku masih bisa bergerak sepuluh kali lipat lebih cepat dari ini.”

Kali ini mereka saling bertatap muka yang mana jarak antar wajah mereka cukup dekat.

“Ya, aku tahu aku sangat payah, puas?” balas Gahyeon kesal.

“Tidak, aku akan puas kalau kau berjalan lebih cepat lagi.”

“Sudah kubilang aku lelah!” Gahyeon menegaskan, ia benar-benar kesal karena Handong yang terkesan menyepelekan dan memaksanya untuk terus bergerak.

“Jangan bohong, kau hanya pura-pura saja.” Handong tetap tidak percaya dengan apa yang Gahyeon katakan.

“Aku tidak pura-pura.”

“Mana aku percaya!”

“Tapi aku benar-benar lelah sekarang! Aku tidak bohong!” Gahyeon membalas lagi sampai kemudian ia sadar apabila berbicara dengan Handong rasanya tidak akan pernah menang, ia kemudian menarik napas pelan.


“Sudahlah, jangan mengoceh lagi.” Gahyeon menunduk berbicara pelan, ia berinisiatif menyudahi percekcokan antara mereka. “Aku sedang berusaha, dasar tak tahu terima kasih.” Ia berucap ketus di akhir membuat Handong menjadi kesal dibuatnya.

Handong langsung membenturkan kepalanya pada kepala Gahyeon.

“Aaahhhh!  Sakit!” Gahyeon langsung berteriak.

Pada akhirnya mereka duduk bersandar pada dinding lembek dan lembap itu. Gahyeon memang kelelahan sungguhan, Handong memaklumi karena mereka juga memang sudah berjalan agak jauh, ditambah luka-luka yang tubuh Handong derita memberinya rasa sakit terus-menerus ketika tubuhnya digerakkkan.

Saat ini Handong hanya bersandar sambil memejamkan matanya, kedua kakinya diluruskan. Gahyeon yang masih meringis sambil mengusap-usap kepalanya akibat benturan sebelumnya langsung menoleh ke arah Handong.

“Dia pasti sangat kesakitan.” Gahyeon berucap dalam benaknya, ia tampak benar-benar prihatin dan merasa tidak tega melihat keadaan Handong yang begitu buruknya. Entah Gahyeon terlalu baik, terlalu mudah memaafkan, terlalu mudah melupakan dan sebagainya, ia tidak peduli dengan perlakuan Handong padanya selama ini, untuk waktu sekarang, Gahyeon hanya ingin melihat gadis kasar itu kembali seperti keadaan biasanya, cedera parah seperti itu membuatnya tak tega.

“Biar kuperiksa lukamu.” Gahyeon mengajukan diri membuat Handong membuka matanya.

“Tidak perlu, tak ada hal yang bisa kau perbuat juga dengan ini.” Handong menolak kasar. Gahyeon yang baru saja akan mendekat segera berhenti di tengah jalan.

“Tolong jangan egois dan kasar padaku, aku berusaha membantumu, setidaknya perlakukan aku lebih baik,” pinta Gahyeon dengan nada yang lebih halus dan lebih bersahabat dari sebelumnya. Ia sendiri tersenyum membuat Handong merasa tak nyaman karenanya.

Handong tidak membalas. Melihat gadis di hadapannya hanya diam lalu kembali memejamkan mata, Gahyeon melanjutkan niatnya, ia meraih tangan kiri Handong yang tampak dilemaskan.

“Aku akan memeriksa denyut nadimu, jangan bergerak dulu.”

Sambil memeriksa secara manual sebisanya, Gahyeon juga membiarkan drone itu memindai keadaan tubuh Handong juga. Selama beberapa detik aktivitas itu terjadi, Gahyeon melakukannya secara serius sementara Handong memejamkan matanya tanpa bergerak dan tanpa mengatakan apa-apa.

“Tidak ada peningkatan, hanya pendarahan saja yang berhenti, selebihnya luka-lukanya tidak juga mengalami pemulihan.” Gahyeon yang baru menyelesaikan apa yang ia lakukan bergumam pelan.

“Sudah kubilang.” Handong berucap pelan hampir seperti bisikan saja.

“Tapi ini luar biasa, kamu masih saja sadar meski memiliki luka separah itu.” Gahyeon tersenyum lalu memindahkan posisi duduknya ke samping kanan Handong lalu bersandar di sana dengan jarak yang bisa dikatakan hampir tidak ada.

“Aku tidak selemah dirimu. Ini bukan apa-apa.” Handong kembali berbicara pelan sambil matanya masih belum terbuka.

“Setidaknya kita baik-baik saja di sini meski tidak berada dalam keadaan yang baik.”

“Oh diamlah, kenapa kau tidak tutup mulut selama beberapa detik! Biarkan aku beristirahat tanpa gangguan!” Handong menegur yang kali ini suaranya agak kencang.

Gahyeon langsung menggembungkan pipinya, ia menjadi kesal lagi gara-gara perkataan Handong barusan.

“Huh, kenapa dia terus kasar padaku? Padahal aku sudah baik hati membantunya.” Ia berucap atau lebih tepatnya menggerutu dalam benaknya. Tatapannya dialihkan tajam pada Handong.

“Apa?!” tanya Handong kasar ketika ia membuka mata mendapati Gahyeon memandangnya tak senang.

“Aku tidak melihatmu.” Gahyeon langsung mengalihkan pandangan.

Mereka tidak saling berbicara lagi, Gahyeon sendiri menggeser posisi duduknya agak menjauh dari Handong.

Karena tidak ada hal yang bisa dilakukan, maka Gahyeon menghibur diri dengan cara bermain bersama drone miliknya.

***


Nightmare - Escape the ERA 3rd Stories (DreamCatcher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang