“Bagus. Coba jelaskan bagaimana cara ikan bernafas?”

Itu pertanyaan begitu mudah jikalau diperhatikan. Sebab ini adalah pelajaran anak sekolah dasar tingkat tiga.

“Ibu ngasih pertanyaan kok yang di atas IQ saya. Sesekali kasih pertanyaan atau teka-teki yang di luar kemampuan saya. Contohnya seperti bagaimana batu bertahan hidup dengan ke jombloan tanpa memikirkan masa depan. Bagaimana tai sering disebut menjadi bahan ejekan padahal tai tidak salah apa-apa. Hanya bau dan emang tai.”

“Tentu saja ikan bernafas melalui hidung yang terletak di antara bibir moncong seperti bibir Dodit.”

“Bangsat,” umpat Dodit lirih yang berusaha menahan api amarah untuk tidak mendapat masalah.

Bu Dewi hanya pasrah ketika ia harus dijadwalkan mengajar di kelas IPA EFEKTIF yang satu ini. Baru kali ini dan di angkatan Asa. Bu Dewi mendapatkan murid yang perkiraannya salah habitat.

“Okey. Pelajaran cukup sampai sini. Saya rasa mengajar di sini harus ekstra sabar-sabar.”

“Dan untuk pelajaran selanjutnya, akan dibagi kelompok untuk beberapa materi. Dibagi menjadi empat kelompok. Di mana satu kelompok menjelaskan satu materi yang saya kasih. Termasuk reproduksi manusia Bab 9,” sambung Bu Dewe sembari membereskan buku.

“LOH LOH BU!!!” heboh Bagus.                                                      

“Berarti prosesnya juga harus dijelasin dong bu yang reproduksi?”

“Iyah. Di depan buat penilaian.”

“Emang mau cewek di kelas bercocok tanam di depan umum? Nanti yang cewek yang di atas apa yang di ba—Bangsat!! Sakit! BY ONE BERANI KOK SAMA COWOK!” ringis Bagus yang sekali lagi mendapatkan lemparan buku bercetak tebal namun kali ini dari teman-teman gadis di kelasnya.

“Lo sekali ngomong enggak-enggak habis masa depan lo!” hardik gadis berambut pendek dengan kacamata bulat bening.

“Lah gue ngomong sesuai materi! Nanti bab itu skidipapapan kita!” balasnya sembari mengangkat kedua alis.

Kegaduhan semakin menjadi-jadi saat Bab Biologi ini akan segera dibahas untuk beberapa minggu ke depan.

“Kebanyakan ngebokep lo!” frontal perempuan bersuara nyaring melengking yang duduknya tidak jauh dari bangku gadis berambut pendek.

“dih! Gue enggak pernah ngebokep. Tapi suka 1821.”

“Bu, di sini muridnya kan imbang cowok ceweknya. Sabilah dapet Asa!” seru Bagus yang membawa nama gadis—di mana sedari tadi gadis itu hanya diam memikirkan kuis minggu depan untuk pemilihan wakil peserta olimpiade.

“1821?”

Harta mengerutkan alis. Menggaruk-garus kepala yang tidak gatal menggunakan bolpoin.

Ia kemudian melirik Tio. Laki-laki yang tengah makan permen kaki dengan mulut menyempit—ia sadar saat Harta menatapnya di tengah kegaduhan kelas.

Tio hanya menaikkan dagu. Seakan bertanya—apa?—kepada Harta.

“1821 itu bukannya fisika-kimia?Maksudnya tuh rumus, gitu?”

Keci yang mendengar menoleh ke bangku Harta yang bersampingan dengannya. “Lo ngapain tanya kek gitu gak guna.” Keci mengangkat tangan.

"Ada apa, Keci?" tanya Bu Dewi.

"Izin ke toilet, Bu."

"Mau di temenin?" sahut Bagus.

"Bener-bener cari mati lo kali ini." Keci berdiri memberi peringatan sekali lagi kepada laki-laki satu itu.

Sementara Harta? Ia masih dibawa rasa penasaran.

“1821 itu ikut biologi, kimia atau fisika?” tanya Harta.

Tio mengedikkan bahunya yang di mana ia tidak tahu sama sekali.

“Ca …,” panggil Harta.

Asa hanya melirik sekilas. Kemudian kembali menatap buku yang bercetak tebal. tetapi mulutnya terbuka. “Mending lo diem. Dan jangan sampai sesat kek Keci sama Bagus.”

Asa seperti paham dengan apa yang akan ditanyakan temannya.

“Emang Keci tau 1821?”

“Dia penulisnya,” lirih Asa sedikit melirik punggung Keci yang menjauh dari tempat duduknya..

Tio yang mendengar langsung terbatuk-batuk.  “Sialan.” Yang gue suka lebih suhu dari gue.

ฅ^•ﻌ•^ฅ

Next?

Jangan lupa komen dan votenya.🥺

Ada yang mau jelasin ke Harta 1821?

Untuk diriku, gagal gapapa. Tapi jangan putus asa. Don't insecure. And thank you.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now