Sementara itu Aurora diam mengamati Andra. Kini sepenuhnya menyadari kesalahnnya. Aurora beringsut kembali menempel pada Ardan. Memeluk suaminya itu yang langsung merengkuhnya dengan tangan kanan. Tetap berada di posisinya.

"Maafin aku, gara-gara aku, kamu gak hidup enak lagi."

"Ih Ardan berhenti deh minta maaf. Kan belum lebaran!" Aurora mencebikkan bibir. Ia menegakkan kepala, kembali menatap Ardan yang kini memainkan rambutnya yang terurai.

Jari telunjuk Aurora kini menari-nari di atas dada Ardan, ia menatap ke arah sana. "Anggap aja aku lagi mindahin barangku ke sini."

"Maksudnya?"

Aurora mengangkat pandangan. "Kan ini rumahnya Ardan, masa aku datang bawa diri aja."

"Ya kan kamu istriku." Tangan Ardan menyelipkan helai rambut di belakang telinga Aurora.

Aurora merona mendengar perkataan Ardan, ia kembali merebahkan kepalanya. Kini bukan di lengan Ardan melainkan di dada Ardan. Ia merasakan kepalanya diusap dengan lembut.

"Tapi masa aku cuma bawa diri di rumah ini ...," gumam Aurora.

Ardan pun mengalah, tapi kembali memperingatkan Aurora. "Tapi ke depannya jangan lagi, ya? Biar aku aja yang beli kalau kamu mau sesuatu."

Aurora sumringah, kembali menatap Ardan. "Iya Ardan."

Aurora merasakan tangan Ardan yang berada di belakang punggungnya mulai turun hingga ke bokongnya. "Ardan kenapa pegang pantatku?"

"Boleh, gak?"

Kening Aurora mengernyit, tidak mengerti dengan perkataan Ardan, ia mencoba memproses. Kini menatap lamat Ardan yang menunggunya.

Mendekatkan wajahnya pada Ardan, ia berbisik. "Bikin dedek bayi  ya?"

Dengan gemas Ardan memutus jarak wajah di antara mereka kemudian mempertemukan bibir mereka. Saling bertaut.

●•••●

Ardan terbangun, ia mengusap wajahnya dengan pelan kemudian menoleh ke arah Aurora. Tidak ada Aurora di sebelahnya membuatnya beringsut duduk. Turun dari ranjang, ia meraih baju kaosnya yang berada di ujung ranjang lalu memakainya.

Baru saja ia keluar dari kamar, ia mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Segera ia ke dapur, menyibak tirai hingga ia bisa melihat apa yang terjadi di sana.

Spatula yang berminyak tergeletak di atas lantai. Pun aroma hangus menyengat kuat. Di atas kompor terdapat wajan yang posisinya miring. Ada Alisha yang berdiri di sana menatap bengis Aurora yang diam berdiri kaku di hadapannya.

"Lo ..."

"Ini kenapa?" Ardan menyela Alisha, ia menatap tajam adiknya itu yang sepertinya ingin memarahi Aurora.

Aurora menoleh pada Ardan kemudian berjalan pelan, lalu bersembunyi di balik punggung Ardan seraya memegang ujung baju Ardan. "T-tadi wajannya hampir terbang," ujar Aurora mencicit.

"Kalau gak bisa masak, gak usah masak!" ujar Alisha sinis seraya membereskan kekacauan yang dibuat Aurora. Telur yang gosong membuat pantat wajan tersebut menghitam.

"A-aku cuma mau bikinin Ardan sarapan." Suara Aurora mulai bergetar, tapi tidak sampai menangis. Karena menahan tangisnya.

Ardan pun membawa Aurora masuk ke kamar, menenangkan tangan Aurora yang bergetar. Meremasnya dengan lembut. "Gak pa-pa kok," ujar Ardan.

"Gak tau kenapa wajannya mau terbang. A-aku hampir bikin rumah ini kebakaran."

"Gak pa-pa kok."

"Aku cuma mau bikin sarapan buat Ardan. Mau jadi istri yang baik buat Ardan."

CERPENDonde viven las historias. Descúbrelo ahora