Chapter 11; Anxiety

11 3 0
                                    

Setelah kemarin mengunjungi rumah Tuan Arthur, Peter dan Eleanor pergi menuju sungai untuk menemui pria berjanggut tebal itu lagi. Mereka datang saat matahari bersinar lumayan terik dikarenakan mereka mengumpulkan kayu bakar terlebih dahulu. Begitu sampai di rumah Tuan Arthur, istrinya memberi tahu mereka bahwa Tuan Arthur sudah pergi ke sungai untuk memancing. Istrinya mentitah mereka untuk menyusul Tuan Arthur ke sungai.

Di sinilah mereka. Berdiri di depan sungai yang airnya mengalir dengan tenang dan di samping mereka Tuan Artur terduduk di atas bangku kecil seraya memegang alat pancingnya, menunggu ikan memakan umpan yang telah dipasang.

"Maaf jika kami harus menyusulmu kemari tuan," ucap Peter kepada Tuan Arthur. Pria berjanggut tebal itu hanya tergelak sedikit mendengar ucapan Peter.

"Tidak masalah, Nak. Lagipula memancing sendirian cukup membosankan. Aku senang kalian datang karena aku jadi ada teman bicara."

Peter dan Eleanor lalu duduk di atas rumput setelah Tuan Arthur mentitahkan mereka.

"Ini cukup rumit, Nak." Tuan Arthur kembali membuka suara.

"Aku membutuhkan waktu tiga bulan saat itu untuk memusnahkan makhluk itu," lanjutnya lagi.

"Kenapa selama itu?" tanya Eleanor.

"Karena kau tidak bisa melakukannya sendiri."

"Maksudnya?" tanya Peter. Alisnya menyatu tanda ingin tahu lebih banyak.

"Kau tidak bisa memusnahkannya dengan tanganmu sendiri, Nak. Mereka tidak bisa musnah oleh tanganmu atau orang yang tak bersangkutan dengannya. Mereka hanya bisa dimusnahkan oleh orang yang menjadi tujuannya, orang yang menciptakan hasratnya untuk muncul. Whoa!" Tuan Arthur kaget di akhir kalimatnya. Umpan pancingannya dimakan ikan, segera Tuan Arthur menarik benang pancingnya untuk menyeret sang target ke permukaan. Peter dan Eleanor hanya memperhatikan Tuan Arthur yang dengan serius berusaha menarik kail pancingnya yang termakan ikan.

Akhirnya ikan tersebut naik ke daratan dengan tarikan pancing Tuan Arthur. Ikannya cukup besar, hampir sebesar lengan Tuan Arthur. Tak heran jika pria berjanggut tadi menarik pancingnya dengan penuh tenaga. Setelah menaruh ikan tersebut kedalam ember berisi air di sampingnya, Tuan Arthur melempar umpannya kembali.

"Kalian lihat nak? Ikan yang besar bukan? Menyenangkan sekali memancing. Cukup duduk menunggu lalu mendapatkan ikan yang besar. Namun hanya jika kau beruntung, jika tidak ya kau hanya membawa ember kosong atau hanya berisi ikan ikan kecil." Tuan Arthur terkekeh di akhir kalimatnya.

"Sampai mana tadi?" tanya Arthur pada Peter dan Eleanor.

"Mereka hanya bisa dimusnahkan oleh orang yang menjadi tujuan mereka," jawab Peter.

"Aku lupa memberi tahu kalian. Emenos itu bisa tercipta bukan semata-mata keinginan membara yang tidak bisa tercapai. Namun, mereka tercipta jika ada pengorbanan untuk orang lain di dalam keingian tersebut. Seperti aku yang mengorbankan diri sendiri demi validasi dari ayahku. Jadi aku harus membuat ayahku membunuh Emenosku. Dan itu cukup sulit, Nak. Ketika orang itu tidak tahu harus percaya padamu atau pada si Emenos. Waktu itu aku butuh tiga bulan agar ayahku yakin padaku dan memusnahkan Emenos itu. Beliau bilang rasanya cukup berat karena dia merasa seperti membunuh anaknya sendiri." Tuan Arhur terlihat melamun, lebih kepada mengingat kembali cerita yang sudah terlewat puluhan tahun yang lalu.

"Dan juga kalian bisa membuatnya lumpuh terlebih dahulu. Emenos itu tidak tahu bahwa mereka hanya wujud dari keinginan seseorang. Buat mereka meragukan kehadiran diri mereka sendiri dan ketika mereka mulai ragu, maka mereka akan jatuh sakit secara perlahan. Itu akan lebih memudahkan kalian dalam meyakinkan seseorang yang harus membunuh mereka dan lebih mudah untuk memusnahkan target yang sudah lemah," lanjut Tuan Arthur.

"Jadi ... Emma yang harus memusnahkan Emenos itu?" tanya Peter dengan nada yang lemah. Seketika Peter merasa sesak seakan tahu betapa sulit rintangan yang akan ia hadapi.

"Ya, jika emang begitu. Nyatanya kau berkorban untuknya kan? Demi pernikahan kalian." Peter hanya mengangguk angguk lemas atas ucapan Tuan Arthur.

"Jangan lemas seperti itu, Nak. Kau pasti bisa melakukannya. Saranku, hal pertama yang harus kau lakukan adalah buat kekasihmu itu merasa janggal atas dirimu. Buat dia merasakan situasi yang aneh terlebih dahulu agar nanti jika saatnya tiba, dia tidak begitu shock hingga pingsan seperti ayahku."

"Baiklah. Terima kasih atas sarannya tuan." Tuan Arthur menepuk punggung Peter seakan memberi semangat sekaligus ungkapan "Sama-sama."

Setelah perginya Tuan Arthur yang kembali ke rumahnya, kini tinggal lah Eleanor dan Peter yang duduk berdua terdiam di atas rumput. Menatap kosong ke arah sungai.

"Ini pasti sulit. Pasti Emmaku saat ini sedang bahagia dengan si Emenos itu. Dia sudah menikah dengan pria yang begitu dia cintai. Kira-kira bagaimana reaksinya saat mengetahui bahwa lelaki yang menikah dengannya bukanlah lelaki yang selama ini selalu ada untuknya." Peter terkekeh miris di akhir ucapannya.

"Ya sudah, menyerah saja kalau begitu. Cari wanita lain untuk kau nikahi." Peter menjitak kecil kepala Eleanor karena ucapan perempuan itu begitu mengesalkan di telinganya. Eleanor bercedak kesal sembari memegang kepalanya yang dijitak Peter.

"Kau sembarangan sekali kalau berbicara," cibir Peter.

"Kau menyedihkan tau? Belum apa-apa sudah mengeluh," hardik Eleanor.

Peter menghela napas kasar lalu melempar batu yang ada di dekatnya ke sungai. Dia merasa begitu risau. Eleanor menatap Peter yang berada di sampingnya dengan tatapan tak terbaca. Saat Peter menoleh ke arahnya dan menatapnya tepat di mata, entah mengapa Eleanor mersa gelisah. Eleanor mengontrol emosinya dengan baik, dia menatap netra coklat Peter dengan tenang. Namun entah kenapa tangannya di bawah sana meremat rumput yang ada di tanah dengan kuat seperti menahan sesuatu.

"Aku merasa begitu tak tahu diri sekarang. Namun, aku tak memiliki siapa-siapa lagi saat ini. Aku hanya memilikimu sebagai temanku dan aku bersyukur saat itu kau menolongku. Jika tidak, aku tak dapat membayangkan akan semengerikan apa hidupku. Aku berhutang budi begitu banyak kepada kau dan ibumu. Bolehkan aku memohon sekali lagi? Maukah kau ... menolongku Eleanor?"

Eleanor mengedipkan matanya dengan lambat. Meremat rumut di tanah lebih kuat, entah mengapa ia mengangguk tanda mengiyakan pinta Peter.

Medan, 30112021

Nadeean 

EMENOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang