Chapter 6; Hanya aku dan diriku

12 8 5
                                    

Di dunia yang teramat luas ini, apa yang harus kita percayai? Kekasih? Keluarga? Atau Tuhan? Eleanor tidak mempercayai semua itu. Baginya di dunia ini hanya ada dia dan dirinya. Sejak dulu, Eleanor punya banyak orang yang membicarakan kelakuannya. Elelanor juga punya banyak orang yang menatap sinis ke arahnya saat terus berjalan melewati sebuah gerombolan. Meski begitu, Eleanor tidak pernah perduli.

Eleanor tumbuh menjadi wanita yang digin sejak kisah perselingkuhan Ayahnya menjadi perbincangan masyarakat. Eleanor perlahan menjadi manusia tak perperasaan saat rumor-rumor perselingkuhan malah menyoroti Ibunya. Ia tidak masalah dengan kebejatan Sang Ayah. Ia tidak keberatan ditinggalkan lelaki pemabuk itu demi wanita muda lainnya. Ia juga tak keberatan mencuci seragam sekolahnya yang selalu kotor setelah dirundung anak-anak lain. Namun, Eleanor tidak akan pernah menerima segala cibiran dan perlakuan kasar yang diterima Ibunya.

"Eleanor!" Sang Ibu berteriak dari arah dapur. Eleanor segera bangkit dari duduknya lalu segera menghampiri Ibunya. Kegiatan yang sama juga di lakukan oleh pria yang ia temukan dua minggu yang lalu.

Setelah meninggalkan seorang prajurit sendirian di bawah tumpukan daun kering, Eleanor kembali atas permohonan Ibunya. Awalnya Eleanor menolak dengan keras, tapi ia tak pernah bisa mengabaikan kemauan Ibunya. "Ya, Bu?"

"Sumur ini menggering. Tolong ambilkan aku air dari sumur desa," pinta sang Ibu. Eleanor terdiam sebentar saat Ibunya menyampirkan sebuah wadah di tangan kirinya. Wanita tua itu kembali berkutat dengan berbagai rempah yang akan ia masak.

"Aku ambil dari hutan saja," putus Eleanor. Gadis itu merasa tak sudi untuk pergi ke pusat desa. Ah, memikirkannya saja sudah membuat Eleanor muak. Di sana pasti ia akan bertemu dengan orang-orang sombong dan senang bergosip. Ia sudah hafal betul apa yang terjadi jika eksistensinya di temukan di tengah-tengah desa. Eleanor sudah mengalaminya selama sepuluh tahun.

Desa yang dimaksud adalah sebuah desa terpencil yang penuh dengan manusia bermuka dua. Eleanor sengaja mengajak Ibunya tinggal di ujung desa saat perundungan tak kunjung usai. Desa itu jauh dari jangkauan, terletak di kaki gunung dikelilingi bermacam-macam pohon yang besar nan rindang serta danau yang tenang di sebelah utara.

"Jangan!" Pekikan itu berasal dari Ibunya. "Hari sudah hampir gelap. Ibu tidak ingin terjadi apapun padamu. Pergilah ke desa bersamanya, Nak." Sang Ibu melirik ke arahnya dan sang prajurit. Eleanor hendak menggeleng saat sang Ibu memutuskan. Namun, niatnya itu terdahului anggukan si prajurit.

Setiap kata yang diucapkan oleh Ibu adalah sebuah kewajiban. Begitu prinsip Eleanor selama ini. Jadi ketika Ibunya meminta Eleanor pergi dengan lelaki asing itu, Eleanor hanya mengangguk menyetujui.

"Ah, aku sangat merindukan Emma." Sang prajutit mendesah kecewa saat lagi-lagi bayangan kekasihnya muncul. "Pernikahanku harusnya sudah dilaksanakan." Langkah Eleanor semakin cepat. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tak perduli sama sekali.

Namun, Peter tetaplah Peter. Lelaki yang ditingggalkan kawanan prajurit itu pasti akan menceritakan lebih banyak tentang Emma dan desa selatan yang begitu indah. "Kau tahu Eleanor, —"

"Tidak," potong Eleanor cepat.

"Ck. Aku belum mengatakan apapun!" Eleanor hanya menggidikkan bahunya tidak perduli. Matanya menggerling malas dan sekali lagi mempercepat langkahnya menuju desa.

"Emma adalah gadis yang sangat cantik. Kulitnya putih, matanya tajam dan teduh dalam waktu bersamaan, hidungnya mancung, rambut panjangnya yang begelombang membuat tubuh ramping Emma terlihat begitu sempurna. Sayangnya ...."

"Dia adalah anak seorang jendral." Suara tegas Eleanor membuat Peter mengalihkan pandangannya. "Kau sudah menceritakan gadis itu sepuluh kali."

"Kau bahkan mengingat itu? Wah! Menggemaskan sekali!" Gadis dengan alis tebal itu terus saja mengangkat kepalanya pongah. Tak ada seutas senyumpun di bibirnya yang merah. Bisik-bisik mulai terdengar dari berbagai sudut desa.

Sumur sudah berada di depan mata. Eleanor mempercepat langkahnya, diikuti Peter yang memegang ujung gaun gadis itu bak anak kecil yang taku kehilangan Ibunya. "Apa kau yakin jalan menuju selatan masih dipenuhi pemberontak? Aku harus kembali dan menikah."

Eleanor mengangguk dan segera menimbah air dari sumur yang dimaksud oleh Ibunya. Tangannya menarik tali tambang agar wadah berisi air dapat naik ke permukaan. Di sampingnya Peter tak melakukan apa-apa selain melakukan permohonan yang sama berulang kali.

"Apa tidak ada jalan lain untuk pergi? Tunjukkan padaku jalannya!" pinta Peter lagi.

"Eleanor!" Lelaki itu menarik kuat tangan Eleanor hingga tali tambang yang Eleanor tarik kembali terjatuh. Usaha gadis itu menjadi sia-sia dalam sekejap mata. "Bantu aku bertemu Emma."

"Tidak tahu! Pulang saja sendiri! Lagi pula aku tidak pernah mengundangmu kemari. Jadi, kenapa aku harus menunjukkan jalan itu padamu?" Suara tegas Eleanor adalah sebuah belati tak berwujud. Alis gadis itu terangkat sebelah, matanya menatap tajam ke arah Peter yang tak menundukkan kepalanya sedikitpun. "Kalau begitu aku akan melewati jalan yang penuh pemberontak itu. Kau tak apa?"

"Aku tidak perduli," putus Eleanor sekali lagi.

Gadis itu kembali meraih tali sumur, menariknya kuat-kuat hingga air kembali terlihat. Rahangnya semakin tegas saat wadah berisi air berhasil dipindahkan ke wadah miliknya. Dalam sepuluh menit Eleanor melakukan hal yang sama dan Peter hanya menonton gadis itu.

"Pria mana lagi yang kau culik? Kau memang mirip sekali dengan Ibumu." Seorang wanita tua mendekat ke arah mereka. Eleanor sudah menutup telinanya rapat-rapat saat memutuskan untuk pergi ke tengah desa. "Apa begitu caramu mencari kekasih?"

Wadah milik Eleanor sudah penuh saat wanita itu mulai meracau lagi. Eleanor menggaruk tengkuknya kasar dan melirik wanita tua itu. Matanya menyoroti tubuh renta wanita itu dari bawah hingga atas lalu berdecih pelan. "Jaga matamu!" Pekik wanita itu marah.

Sebelum kembali Eleanor kembali menyerang, Peter segera meraih wadah dari tangan Eleanor. Diraihnya tangan dingin gadis itu seraya berkata, "Kau tidak perlu menyahuti anjing yang menggonggong."

"Dan permisi, Nek. Bukan dia yang menculikku. Aku yang akan menculiknya untukku." Peter segera membawa tubuh kaku Eleanor untuk menjauh dari sana. Eleanor sendiri tidak mengatakan bisa mengatakan apapun saat tangannya terasa hangat di gengggaman Peter. Gadis itu mendongakkan kepalanya, menatap wajah serius Peter yang bersinar di bawah senja.

"Tidak perlu berterima kasih. Cukup tunjukkan jalan menuju selatan padaku." Eleanor segera menepis tangan Peter. Matanya memandang lurus pada Peter lalu berkata, "Aku tak tau apakah rute ini akan berhasil. Tapi bersiaplah. Malam ini aku akan membawamu pada Emma Charlotte."


Chabysunflow

25112021

EMENOSWhere stories live. Discover now