Chapter 10; Defenisi sebuah tawa

8 4 0
                                    

Nyatanya ada hal lain yang bisa menggambarkan kebahagiaan lebih baik dari sebuah tawa. Sudut mata yang lembab dan seutas senyum tipis yang tergambar di wajah orang tersayang misalnya. Sebuah tawa memang sangat menyenangkan, dengungan yang memacu debaran di hati. Ada kalanya Peter sangat merindukan tawa Emma, tapi ia lebih candu pada senyum haru dan segumpal air mata di sudut matanya.

"Kau bahagia?" tanya Peter begitu saja saat Emma selesai melepas simpul pada rambut panjangnya. Emma mendengkus seraya menatap pantulan wajah Peter dari cermin. Emma baru saja selesai membersihkan bekas luka Peter saat lelaki itu menanyakan hal yang sudah pasti jawabannya.

Emma berbalik, sebuah senyum manis menghiasi wajahnya yang bersinar di pagi hari. "Apa ada alasan untuk tidak berbahagia?" balas Emma dengan sebuah pertanyaan telak. Peter ikut tersenyum bersama mentari pagi yang mengusik kamar mereka. Sudah waktunya bagi Emma untuk melakukan pekerjaannya.

Peter meraih pinggang ramping istrinya. Ia tarik pelan hingga tubuh kurus Emma terduduk pasrah di tepi ranjang. "Bagaimana jika hari ini kau tidak pergi mengajar?" Peter merasakan pedih di pinggangnya saat Emma mencubit kulitnya. Tawa lelaki itu pecah begitu saja, menyamarkan rasa gugup yang sedari tadi singgah di hati Emma.

"Tapi para siswa membutuhkanku," kilah Emma. Wanita itu membiarkan tangan Peter mengepungnya dengan mudah. Emma tak terlalu ambil pusing, pasalnya Peter selalu saja mengatakan hal yang sama berulang kali. Kemudian, melepaskan Emma setelah wanita itu merajuk dengan wajah lucu.

"Memangnya aku tidak?" Emma terkekeh kecil. Wajahnya semakin terlihat cantik saat sinar matahari membuat matanya menyipit. "Baiklah, aku akan terlambat tiga puluh menit," putus Emma.

Kemudian, wanita yang sudah siap untuk bekerja itu ikut membaringkan tubuhnya di samping Peter, sang suami. Kepalanya bersender di dada bidang Peter dan tangan kanannya mulai meraba luka di pinggang Peter. "Apa masih sakit?" tanya Emma hati-hati.

Sudah dua bulan sejak Peter kembali dengan keadaan mengenaskan. Lelaki itu memang tidak pernah mengeluh, tapi tetap saja Emma merasa khawatir. Rasanya seperti mimpi saat pinggangnya masih dapat di rangkul oleh Peter. "Kau pikir aku ini bukan pria sungguhan? Sudah dua bulan sejak kejadian itu, Emma. Aku sudah sangat sehat sekarang."

"Ya, aku tidak tahu. Siapa tau kau ini bukan manusia?" Peter mendelik malas. Wanitanya itu senang sekali menggoda Peter yang masih kesusahan untuk memotong kayu. Selama ini, Peter meminta bantuan temannya untuk memotong kayu yang masih berukuran besar. Kemudian, ia sendirilah yang akan membagi kayu tersebut ke potongan yang lebih kecil. "Atau jangan-jangan, kau ini cuma Peter Hamilton yang menyamar, ya?" Emma tertawa lepas setelah menyuarakan lawakannya.

Sekali lagi Peter mendelik, lalu ia cubit gemas hidung mancung istrinya yang masih terkekeh. Emma menoleh, menghentikan tawanya sebentar lalu memberikan sebuah kecupan di pipi Peter yang merajuk. "Kalau benar ada dua Peter di dunia ini, kau pilih siapa?"

Emma melipat kedua tangannya di depan dada, keningnya berkerut seperti sedang mencari jalan keluar dari sebuah masalah. Emma menggigit bibir bawahnya ragu dan hal itu membuat Peter gemas setengah mati. Ditariknya tubuh Emma agar semakin rapat dengannya lalu berdesis, "Kau ini."

Emma semakin tertawa lebar. Wanita itu mengatur napsnya sejenak seraya mengusap air mata di sudut matanya dan berkata, "Pasti aku akan memilih Peter yang asli. Aku akan memilih seorang Peter Hamilton yang mencintaiku lebih dari dirinya sendiri. Aku akan memilih Peter Hamilton yang selalu keras kepala, tapi akan luluh untuk sebuah kecupan. Aku juga akan memilih Peter Hamilton yang menjanjikan seluruh hidupnya untukku."

"Peter seperti itu yang akan aku pilih," ujar Emma.

Lelaki yang mendekap Emma itu tersenyum pongah. Kepalanya terangkat begitu saja untuk menyombong. "Kalau begitu aku adalah pilihanmu." Peter menaik-naikkan alisnya seraya tersenyum manis. Tangan kanannya meraih pipi halus Emma untuk dicubit gemas.

"Benarkah? Berarti pilihanku sudah tepat? Kau tahu Pete, Peter Hamilton kecil selalu saja mencemohku yang tak pernah bertualang. Dia selalu bilang aku akan terkurung di sangkar emas selamanya. Dasar anak nakal."

Peter tertawa lebar mendengarnya. Lelaki itu membawa tubuhnya dan tubuh Emma untuk bangkit dari posisi tidur. Namun, Peter semakin mengencangkan pelukannya pada Emma saat mereka duduk. Lelaki itu semakin memperlancar aksinya saat Emma mengusap puncak kepalanya. "Oh sayangku ...."

"Tunggu!" Peter melepaskan pelukannya pelan-pelan saat Emma memekik. Lelaki itu mengernyit keheranan dalam hati Peter bertanya-tanya apa ia telah melakukan sebuah kesalahan tanpa disengaja. "Peter kekasihku tidak semanja ini."

"Aku memang bukan kekasihmu," ungkap Peter.

Kini Emma yang membelalakkan matanya tak percaya. Wanitu itu memiringkan kepalanya selagi menanti jawaban dari Peter yang menatapnya datar. "Aku suamimu bodoh!" Peter meraih pinggang Emma, memberikan sebuah gelitikan di sana hingga tubuh wanita itu melengkung kegelian.

"Hanya ada satu Peter Hamilton. Dan itu adalah aku."

Emma menganggukkan kepalanya pasrah mendengar jawaban pasti suaminya. Wanita itu lalu berusaha untuk turun dari tempat tidur saat jarum jam sudah menyapa angka delapan. "Tidak perlu pergi mengajar," pinta Peter sekali lagi.

Dengan pasti Emma menggelengkan kepalanya. Namun, tubuhnya semakin direngkuh erat. Peter bahkan memberikan kecupan-kecupan singkat di sekitar wajahnya saat ada celah. Lelaki itu lalu menahan wajah istrinya, mendekatkan diri untuk sebuah ciuman pagi hari. Semuanya pasti akan berjalan indah jika saja Alice, adiknya, tidak mengetuk pintu kamar sambil berteriak, "Permisi tuan dan nyonya, adik kalian ini harus segera sarapan!"


Medan, 29112021

Chabysunflow

EMENOSWhere stories live. Discover now