Chapter 4;Hidup untuk setiap rasa

15 9 3
                                    

Ada banyak rasa yang hadir di dunia ini. Di antara banyak rasa itu setiap orang akan merasakan hal yang berbeda. Katanya, dunia selalu adil perihla rasa dan asa. Ada kalanya manusia berpikir bahagia adalah rasa terindah. Ada juga yang berpikir aman menjadi hal utama. Namun, pada hakikatnya semua rasa itu akan menyentuh hati saat ia diterima lapang dada.

Emma bersyukur kepada Tuhan. Ia rapalkan ucapan terima kasih hingga mulutnya pegal. Rasa seperti terbangun dari mimpi buruk saat sosok Peter berhasil ia kukung dalam sebuah kehangatan. "Terima kasih. Terima kasih, sudah mengembalikannya padaku," gumam Emma sekali lagi.

"Aku sudah berjanji padamu 'kan?" Peter tersenyum tipis. Luka-luka di wajahnya belum mengering bahkan darah masih menggalir dari pundak sebelah kanannya. Emma mengangguk membenarkan, selanjutnya ia bawa tubuh ringkih Peter mendekati bibir sofa.

Kondisi lelakinya itu cukup mengenaskan. Wajah tampannya dipenuhi luka yang tertutup debu. Baju perangnya sudah terkoyak-koyak dan kotor sekali. Meski begitu, Peter terlihat semakin tampan di mata Emma. Gadis itu bahkan tak mampu menghentikan tangis haru yang mengiringi kegiatannya mengobati Peter. "Jangan menangis lagi." Emma mengangguk lemah lalu mengusap pipinya dengan punggung tanggan.

"Bagaimana bisa kau kembali?" tanya Ayah Emma yang baru saja memasuki ruang tamu. Lelaki itu bergegas memastikan keadaan Peter setelah kabar bahwa lelaki itu masih hidup sampai ke telinganya. Rasanya mustahil lelaki yang dicintai putrinya itu selamat. Belum lagi lelaki itu hanya mengalami luka ringan. Rasanya terlalu mustahil.

"Pertanyaan macam apa itu dad? Apa kau berharap Peter tidak akan pernah kembali?" Ayah Emma bergeming di tempatnya. Putrinya itu adalah seorang gadis kecil penurut. Meski acap kali keras kepala, Emma tidak pernah menaikkan nada bicaranya ketika berhadapan dengan orang tua.

"Bukan begitu, Emma." Sang Ayah berusaha menyanggah tuduhan yang diberikan putrinya dengan terbata. Lelaki tua itu mendekat ke arah putrinya yang duduk di samping Peter. Matanya mengamati luka-luka yang ada di tubuh Peter. "Tapi, bagaimana bisa ...."

"Berhenti mencari alasan, Tuan. Segera siapkan pernikahanku dengan Emma. Seperti yang kau janjikan," putus Peter. Lelaki itu meraih telapak tangan Emma yangg terasa hangat. Ia tautkan jari-jari mereka hingga gadisnya tersenyum lebar.

Ayah Emma tersenyum pasrah. Diliriknya wajah bahagia Emma yang kini dirangkul mesra oleh Peter. Dengan berat hati lelaki tua itu menarik kedua sudut bibirnya, menciptkan sebuah senyum tipis di antara guratan yang ada. Kemudian, Ayah Emma berkata, "Baiklah. Aku akan segera menikahkan kalian." Senja itu Peter dan Emma menjadi pasangan paling bahagia di dunia.

Cakrawala yang membentang luas petang itu terlihat semakin indah kala mendapatkan cahaya matahari yang membias. Warna jingga bercampur orange yang sedap dipandang mata. Langit menyaksikan banyak cerita hari itu. Selain kebahagiaan Peter dan Emma ada kisah lain di pelantara hutan.

Ranting pohon yang ia kumpulkan sejak tadi kembali berjatuhan ke tanah. Cahaya matahari mulai menghilang bersama senja. Namun, kegiatan mencari ranting pohonnya tidak juga selesai. Penyebabnya adalah setumpuk daun kering yang tiba-tiba bergerak dan mengeluarkan gumaman kecil.

Gadis itu melangkahkan kakinya pelan-pelan. Sesekali ia berjinjit untuk mengintip sosok di balik tumpukan daun kering itu. "Tolong ...." Suara gumaman itu kembali mengganggu pendengarannya.

"Siapa di sana?" Eleanor Dwayne menggulung rambutnya ke atas, menyelipkan sebuah ranting kering di antara gulungan itu agar lebih kokoh. Kakinya melangkah lebih berani dari sebelumnya. Di tangan kanannya kini ada sebuah tombak yang tajam.

Eleanor terkenal sebagai wanita tangguh yang tak kenal takut. Matanya tajam dengan alis runcing yang memantapkan kesan mendominasi dari gadis itu. Eleanor punya kulit putih dan bersih meski tinggal di dalam hutan. Rambut panjangnya bergelombang dan berwarna emas kecoklatan.

"Tolong aku ...." Sebuah tangan akhirnya muncul di antara tumpukan daun kering. Eleanor beregegas mendekati sumber suara. Langkahnya terdengar tegas terlebih hentakan tangannya ketika menyingkirkan dedaunan kering yang menumpuk.

"Sial –" Eleanor melangkah mundur karena terkejut. Setelah daun-daun itu disingkirkan yang Eleanor dapati adalah seorang pria dengan keadaan mengenaskan. Tubuhnya dipenuhi luka-luka, darah di baju perangnya beberapa mulai mengering. Eleanor itu bergidik ngeri, saat menyentuh luka di tangan kanan si pria yang masih basah.

"Bantu aku ...." Elelanor merasa ngilu saat lelaki itu berusaha menggumamkan sesuatu. Kemudian gadis itu ikut berjongkok di samping lelaki yang terbujur kaku itu. Setelah puas mengamati Eleanor bertanya, "Kenapa keadaanmu seperti ini?"

"Aku adalah salah satu prajurit yang memerangi pemberontak. Aku terluka saat peperangan dan teman-teman prajuritku yang lain tidak dapat menemukanku. Tolong bantu aku," pinta lelaki itu. Mata lelaki itu berkaca-kaca, napasnya terengah bercampur sakit dalam satu waktu.

Namun, di luar dugaan Eleanor malah membersihkan bajuinya yang kotor akibat menyentuh tanah. Ia juga meraih beberapa ranting kayu yang sudah ia kumpulkan lalu menegakkan tubuhnya begitu saja. "Hari sudah semakin larut. Ingin kulapisi dengan daun kering lagi? Setidaknya kau akan merasa hangat sampai prajurit lain menemukanmu."

Lelaki itu melotot tak percaya mendengar perkataan Eleanor yang begitu santai. Matanya kian melebar saat Eleanor benar-benar pergi tanpa dirinya. Lelaki itu segera menarik tangan Eleanor, mencegah wanita itu pergi meninggalkannya.

"Tolong selamatkan aku. Aku harus kembali. Adik dan kekasihku pasti menunggguku pulang. Aku mohon kepadamu, Nona. Aku harus sembuh dan kembali untuk menikahi gadis yang kucintai."

Chabysunflow

21112021

EMENOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang