Chapter 7; Bizarre

14 9 3
                                    

Sudah tiga puluh menit Peter dan Eleanor berjalan meninggalkan desa Liland, desa terpencil tempat Eleanor tinggal. Keduanya pergi menuju ke desa Selatan tempat tinggal Peter. Mereka melewati jalan yang berbeda dikarenakan masih banyak pemberontak yang berkeliaran di wilayah yang membawa Peter bisa sampai hutan Tenggara. Awalnya Eleanor membawa Peter memasuki hutan belantara yang berada di belakang rumah Eleanor. Hutan itu terletak di ujung desa. Kini mereka sudah masuk jauh ke dalam hutan belantara. Hutan itu lebih sempit dibandingkan hutan Tenggara yang sebelumnya Peter lewati. Tidak ada jalan setapak, hanya bermodalkan ruang ruang sela antar pohon untuk bisa berjalan. Ini lah hutan Tenggara yang ditakuti sebenarnya, hutan ini bukan hutan Tenggara yang pertama kali Peter datangi.

"Kau tidak sedang bercanda kan Eleanor?" tanya Peter sambil bergumam. Peter sedikit merasa sesak dikarenakan sempitnya ruang untuk mereka berjalan.

"Apa maksudmu?" Eleanor menatap sinis Peter sembari tangannya menepis ranting ranting pohon yang menghalangi jalan mereka.

"Tempat ini ... kau yakin tempat ini rute jalan menuju desaku? Darimana kau tahu? Hutan ini tidak terlihat seperti bisa dijelajahi."

"Kalau aku tidak yakin, untuk apa aku membawamu kesini bodoh," kesal Eleanor. Pria ini banyak Tanya sekali, pikirnya.

"Siapa tahu kau ingin membuangku."

"Kau ingin aku melakukannya? Jika aku membuangmu di sini, tak satupun orang bisa menyelamatkanmu tuan Hamilton." Eleanor tersenyum sinis melihat wajah tegang Peter.

"Tidak! Tidak! Tolong bawa aku kembali ke desaku." Peter menjawab dengan gagap. Entah kenapa Peter selalu merasa terintimidasi oleh perempuan di depannya ini saat ini. Apakah ini dikarenakan efek mereka yang hanya berdua di tengah tengah hutan belantara?

"Yasudah, berhenti protes dan ikuti saja aku."

"Tapi aku penasaran, apa yang membuatmu bisa tahu kalau hutan ini bisa membawa kita ke desa Selatan?" Peter membuka suaranya lagi. Sungguh ia ingin tahu mengapa Eleanor bisa terlihat begitu hapal akan hutan ini dan menjamin ia bisa kembali ke kampungnya.

"Aku sudah beberapa kali ke desamu melewati hutan ini," jawab Eleanor dengan nada yang tenang.

"Kau! Kenapa berani sekali? Maksudku, lihatlah hutan ini. Sama sekali terlihat tidak ramah."

Eleanor menghela napas, perempuan bermata tajam ini merasa tidak seharusnya menjawab pertanyaan Peter. Namun ia tidak bisa membiarkan Peter penasaran dan bertanya terus menerus.

"Aku suka berjelajah. Aku suka kesendirian. Dan aku selalu penasaran. Pertama kali aku masuk ke hutan ini saat usiaku enam belas tahun. Ya, karena rasa penasaran akan hutan yang berada di belakang rumahku. Awalnya aku hanya berjalan selama lima belas menit karena aku belum berani untuk berjalan lebih jauh ke dalam dan juga untuk memastikan apakah hutan ini aman. Seterusnya setiap hari aku mencoba masuk jauh lebih dalam dan dalam lagi hingga aku memasuki wilayah selatan. Dan, ya, aku dapat melihat desamu. Hanya beberapa orang dari desa kami yang pernah ke desamu. Saat pertama kali aku melihat desamu yang terlintas di kepalaku adalah desamu luas dan maju sekali." Eleanor menjeda sebentar ceritanya.

"Aku suka kesendirian. Kau tahu penyebabnya, saat kesekian kali aku memasuki hutan aku merasa hutan ini adalah tempat yang tepat untukku. Tidak ada orang yang berani masuk kesini selain aku karena hutan ini terlihat berbahaya"

"Hutan ini memang berbahaya, Eleanor. Kau tidak tahu hal berbahaya apa saja yang bisa mengancammu disini," sambar Peter.

"Tapi kau sekarang disini," jawab Eleanor dengan nada mengejek.

"Tidak ada pilihan lain." Eleanor mendengus mendengar jawaban Peter.

"Orang-orang takut memasuki hutan ini karena berbahaya. Takut jika ada binatang buas yang menyerang, jurang, atau kubangan dalam yang bisa membuatmu tenggelam. Atau bahkan hanya karena terlihat menyeramkan dari luar. Namun tanpa mereka sadari, mereka adalah makhluk paling berbahaya disini. Manusia bisa membawa benda apapun untuk melindugi diri sedangkan makhluk buas atau apapun itu selain manusia hanya memiliki tubuhnya sendiri untuk menjaga dirinya."

Elenanor melirik Peter yang mengangguk-anggukkan kepalanya sebentar. Kemudian, gadis itu kembali berkata, "Seperti kau yang membawa belatimu kemana mana. Karena itu. Karena aku tahu takkan ada manusia yang berani masuk kesini maka hutan ini aman. Bagiku, dan bagi makhluk makhluk yang ada di dalamnya." Peter terdiam mendengar penjelasan Eleanor yang terlalu jelas untuk dipahami logika. Maka, sisa perjalanan mereka ditemani oleh suara jejak kaki serta gesekan ranting dan dedaunan.

Satu jam lebih empat puluh lima menit perjalanan akhirnya mereka sampai ke desa Selatan. Namun, yang dilihat oleh mata Peter saat ini hanyalah kejanggalan. Desa mereka terlihat sepi, hanya bebrapa orang yang berlalu lalang dan mengabaikan mereka. Peter berjalan cepat menuju rumahnya. Eleanor hanya terdiam di belakang mengikuti Peter yang tergesa-gesa. Saat memasuki rumahnya keadaan tak jauh berbeda saat pertama ia menginjakkan kembali kakinya ke desanya, Sepi. Suara tegasnya memanggil adiknya sembari menyusuri tiap sudut rumahnya.

"Alice! Kau dimana?"

Mereka pun keluar dari rumah Peter. Peter melihat keadaan sekitarnya kembali. Mata Peter yang menyusuri sekitar lalu berhenti melihat gereja yang cukup berjarak dari rumahnya terlihat ramai. Peter yakin dua orang yang dikasihinya itu berada di sana. Peter pun berjalan menuju gereja itu diikuti oleh Eleanor. Entah kenapa semakin dekat jarak Peter dengan gereja itu semakin berdetak cepat pula jantungnya. Peter mengabaikan perasaan itu. Hingga sampailah mereka kehadapan pintu gereja yang terbuka lebar dan mereka berdua dapat melihat segalanya disana.

Di dalam, seorang wanita dengan rambut kecoklatan yang sanggul rapi mengenakan gaun putih sederhana. Terlihat begitu cantik dan anggun di tubuhnya yang berdiri di atas altar dan bergenggaman tangan dengan seorang Pria kurus Tinggi. Pria itu mengenakan Tuxedo hitam berwarna senada. Kemudian, keduanya mengucap janji suci dan berciuman. Peter memiliki terlalu banyak asumsi di kepalanya tentang betapa tak asingnya dua orang itu. Hingga kedua orang itu membalikkan tubuh mereka menghadap pintu yang terbuka, tersenyum bahagia sembari bergenggaman tangan. Peter tak tahu harus kaget karena apa, apakah ia harus kaget oleh kenyataan bahwa yang menikah di depannya itu adalah Emma, kekasih tercinta. Atau harus kaget bahwa Pria yang menikahi Emma terlihat sangat mirip dengannya. Tubuhnya kaku dan pikirannya berkecamuk, tidak tahu apa yang terjadi. Tak hanya Peter, Eleanor yang di sampingnya pun mengeluarkan ekspresi tak percaya dan berulang kali mengalihkan pandangannya pada Peter dan pengantin pria itu.

"Tidak mungkin," gumam Peter sembari menggelengkan kepalanya tanda tak percaya.

"Aku ... tidak punya kembaran," lanjutnya lagi. Eleanor menarik Peter dan membawanya pergi dari desa itu, Peter hanya terdiam dan mengikuti Eleanor yang membawanya kembali ke desa wanita itu. Peter sama sekali belum mengerti apa yang terjadi.


Nadeean

26112021

EMENOSWhere stories live. Discover now