Chapter 3; Desire and Destiny

16 8 3
                                    

"Peter, kumohon kau jangan pergi," ucap Emma dengan lemah. Wajahnya penuh air mata, tangannya yang dingin sebab angin musim gugur megenggam tangan Peter yang kokoh dan hangat. Peter menggeleng menolak permohonan kekasihnya. Dia jelas tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menikahi wanita yang dicintainya.

"Jangan seperti ini Emma. Kupikir kau juga ingin kita menikah."

"Dengan mempertaruhkan nyawamu? apa kau yakin kau bisa kembali dan menangkap para pemberontak itu? jawab aku Peter! Tidak segala hal bisa kau taklukan dengan mudah, pengalamanmu dengan alam tak dapat menjamin keselamatanmu. Aku tidak ingin kau kenapa-kenapa. Kita bisa bicara lagi dengan Dad dan meminta persyaratan yang lain. Kumohon Pete." Isakan Emma sudah berhenti, hanya derai air mata yang tersisa.

"Ayahmu sudah tidak menyukaiku dari lama dan kau tahu itu. Beliau tidak akan memberikan syarat lain mengingat betapa besar keinginannya untuk tidak melihatku bersmamu, Em. Inilah satu-satunya jalan agar beliau bisa melihat sebesar apa perjuanganmu untukmu. Aku akan pulang, aku janji. Aku takkan dapat membiarkanmu sendiri dan pergi bersama pria lain. Percaya padaku, Em." Peter mengecup dahi Emma penuh sayang lalu melepas genggaman erat mereka secara perlahan dan pergi meninggalkan Emma di depan teras rumahnya. Bukan dia tak peduli lagi dengan Emma. Namun, semakin lama ia menatap mata Emma yang penuh air mata dan pandangan memohon wanita itu dapat mengikis tekad bulatnya secara perlahan. Peter tahu sekali bahwa Ayah Emma sengaja membuat dirinya sendiri dan Peter terlibat dalam judi atas nyawa Peter. Syarat ini yang merupakan upaya Ayah Emma untuk menyingkirkannya sekaligus menjadi peluang Peter untuk menikahi Emma. Ada keuntungan dan kerugian berdiri di tempat yang sama bagi Peter dan Ayah Emma di atas syarat ini.

Keesokan paginya, Emma sudah di sekolah tempat dia mengajar. Ia terduduk di meja dan melamun setelah menjelaskan materi pelajaran pada muridnya. Suara ramai yang disebabkan oleh murid-muridnya tak dapat membuatnya pergi dari pemikirannya sendiri. Sepanjang malam dia menangis memikirkan bagaimana dirinya yang ditinggalkan oleh Peter, sosok yang begitu dia cintai. Dia percaya pada Peter atas janjinya. Namun, pemikiran rasional tentang manusia mana yang dapat menjamin nyawanya membuat Emma tak tenang. Para pemberontak terkenal sadis dan kejam, kerap mengambil harta berharga para warga, merusak lingungan daerah sekitar desa, bahkan tak segan membuhuh orang-orang tak bersalah. Emma ingin menangis sekarang tapi dia tidak mau membuat murid-muridnya khawatir.

"Emma!" Suara lantang memanggil namanya. Sebuah siluet gadis dengan rambut dikuncir dua terlihat di pintu masuk kelas. Emma mengenal anak ini di luar kepala.

"Alice," gumam Emma, dia tahu apa yang membuat gadis itu menghampirinya kemari. Emma berjalan mendekat kearah gadis itu lalu menuntun diri mereka berdua untuk menjauh dari pintu kelas.

"Emma, aku mohon cegah Peter untuk menjalani syarat dari ayahmu. Kau tahu aku hanya memilikinya, Emma. Dia satu-satunya anggota keluargaku. Jika dia pergi, aku tak memiliki siapa-siapa lagi." Entah sejak kapan gadis di depannya ini menangis. Rasanya Emma ingin menangis juga.

"Maafkan aku, Alice. Aku sudah mencegahnya, tapi dia tetap keras kepala. Aku juga tidak ingin dia menuruti syarat ayahku. Aku juga ingin dia tetap disini." Nada getar terdengar dari ucapan Emma.

"Setelah father dan mom, aku tidak ingin ditinggalkan lagi. Tidak dengan Peter, kakakku satu-satunya yang berharga. Tak bisakah kalian untuk tidak egois dalam hubungan ini? Tidakkah kalian memikirkan aku?" Air mata Emma turun mendengar ucapan menyakitkan dari bibir Alice. Ia memeluk gadis itu dan membiarkan Alice menangis di bahunya. Ia usap kepala Alice dengan lembut agar mengurangi gusarnya.

"Maafkan aku. Maafkan kami. Mari kita berdo'a agar Peter dapat kembali dengan selamat. Dia akan kembali, dia sudah berjanji padaku dan padamu juga, kan?" bisik Emma pada Alice.

Detik ke menit, menit ke jam, bulan pun berganti peran dengan matahari. Emma terbaring melamun di atas kasurnya. Ia baru saja bangun tidur, rasa pedih di matanya menjadi tanda sebanyak apa ia menangisi Peter yang telah pergi untuk menangkap pemberontak. Tidak satupun kabar tentang Peter sampai di telinganya.

Emma tengah membuat sarapan di dapur bersama ibunya. Hingga suara pintu utama rumahnya terbuka. Emma lekas beranjak dari dapur, ia tahu pasti bahwa itu ayahnya yang baru kembali dari perkemahan tentara. "Dimana Peter?" tanya Emma dengan nada tinggi pada ayahnya. Ayahnya hanya menghela napas lalu berkata, "Dia tidak ditemukan, semua prajurit sudah kembali ke perkemahan dengan beberapa tahanan. Mungkin kekasihmu itu sudah mati." Tuan Charlotte berbicara dengan begitu tenang seakan dia baru saja memberitahukan hal yang sepele. Emma merasa dunianya runtuh tak bersisa, hal yang ia takuti selama ini terjadi. Emma beranjak lari ingin ke hutan tetapi sang Ayah menahannya.

"Apa kau sudah gila? Tetap diam di rumah Emma Charlotte," ucap tegas ayahnya. Emma berbalik ke kamarnya setelah berbicara dengan nada yang kecewa pada ayahnya. "Aku tak pernah merasa sebenci ini padamu Dad." Emma terduduk di sudut kamarnya, menangis, meraung, menjambak rambutnya dan menggumamkan nama Peter berkali-kali. Telinganya mendengar teriakan penuh kekecewaan dan rasa sakit seorang gadis di depan rumah seraya memaki ayahnya dan bersumpah serapah. Ia tahu itu pasti Alice, adik perempuan Peter. Ia tidak bisa berbuat apapun selain menangis, mereka berdua sama hancurnya. Hingga suara pintu tertutup dengan keras terdengar, suara Alice tak terdengar lagi.

Berjam-jam Emma habiskan untuk menangis dan merenung. Ia mengabaikan panggilan ibunya, melewatkan jam makannya, dan tidak pergi ke sekolah untuk mengajar. Ia membenci segala hal di dunia saat ini, rasanya seperti seluruh dunia menginginkannya terluka seperti ini. Tubuhnya terasa kebas, air mata tak lagi keluar, bibirnya gemetar, tubuhnya meringkuk di atas kasur. Ibunya memaksa masuk kamar dan kemudian menangis melihat kondisi anaknya yang begitu terpuruk. Ibunya menyuapinya makanan kemudian memeluknya. Seketika Ia mengingat Alice, gadis itu harus melewati hal menyakitkan ini sendirian. Tangisan Emma kembali kelur, ia merasa menjadi orang paling jahat di dunia ini. Ibunya dengan sabar menenangkannya hingga ia jatuh tertidur karena kelelahan.

Pagi kembali menyingsing, Emma terbangun dengan tubuh lemas. Ia terduduk guna mengumpulkan kesadaran, mata perih akibat terlalu banyak menangis, tubuh lemas karena tak makan banyak, sakit kepala, dan tenggorokan yang kasar. Namun tak sedikitpn kondisi fisiknya membuatnya lupa akan Peter. Dengan gemetar ia memaksa dirinya untuk bangun. Berjalan dengan pelan memastikan ayahnya tidak di rumah karena ia tak ingin melihat wajah ayahnya. Untungnya kepala keluarga Charlotte itu sudah pergi. Dengan gerakan pelan ia mengambil gelas dan teh chamomile, ingin membuat teh chamomile guna meringankan berat di kepalanya. Melihat gerakan Emma yang sembrono ibunya yang baru memasuki dapur mengambil alih gelas dan teh itu dari Emma untuk diseduh.

"Biar ibu saja. Kau duduk, lah," titah Ibunya. Emma hanya mengangguk menuruti. Tak lama pintu rumahnya di ketuk. Emma berinisiatif untuk membuka pintu, tidak peduli jika ia harus menyambut orang bertandang dengan keadaan mengenaskan. Saat knop pintu rumahnya ia genggam dan daun pintu beregeser, tampaklah pria yang ia tangisi selama dua hari penuh dengan luka-luka yang masih basah di lengan dan wajahnya. Itu Peter, Emma tersentak bukan main. Tubuhnya yang lemas semakin lemas, ia juga bergetar. Peter yang penuh luka dan berantakan segera memeluk tubuh Emma yang limbung dan gemetar.

"Aku pulang. Aku menapati janjiku. Kita akan menikah, Em. Kau segera menjadi milikku seutuhnya," bisiknya di telinga Emma yang sudah menangis haru di bahunya. Emma hampir tak percaya, pria yang ia kira sudah tiada kini tiba-tiba menemuinya. Pelukannya terasa nyata dan karena itu Emma sadar bahwa ia tak sedang bermimpi. Emma benar-benar tidak bisa memikirkan apapun selain bersyukur dan lega karena tahu bahwa Peter di sini bersamanya. Seharusnya Emma percaya bahwa mereka memang ditakdirkan untuk bersama.  


Nadeean

21112021

EMENOSWhere stories live. Discover now