Chapter 1; Sparks

53 12 4
                                    

"Emma Charlotte. Maukah kau menikah denganku?" ucap seorang pria kepada wanita dewasa yang duduk di sampingnya. Emma, sebagai wanita yang dilamar oleh sang pria yang telah menjadi kekasihnya selama delapan tahun tersentak kaget. Peter kekasihnya itu menjemputnya seusai ia mengajar di sekolah. Kemudian Peter membawanya ke bukit dan duduk berdua di bawah pohon seri yang rindang sembari menatap desa tempat mereka tinggal dari tepian atas bukit yang tidak terlalu tinggi.

Di tangan pria itu terdapat cincin alumunium dengan ukiran Emma di atasnya sebagai simbol lamaran dari pria itu. "Untuk saat ini kubuatkan kau cincin dengan ukiran namamu di sini sebagai simbol lamaranku. Nanti, jika sudah menikah, akan kuberikan kau apapun yang kau inginkan Emma. Akan kuusahakan," lanjut Peter saat melihat kekasihnya belum menjawab lamarannya. Sebisa mungkin dia menunjukkan keseriusan pada ucapannya.

Emma mengontrol detak jantung dan ekspresinya demi dapat menjawab ucapan Peter. "But we're only twenty three pete." Peter sedikit menghela nafas mendengar jawaban Emma. Namun, ia hanya tersenyum dan mengungkapkan jawaban yang sudah Peter siapkan sedari awal karena ia mengetahui kekasihnya bagaimana.

"Tidak peduli kita masih dua puluh tiga tahun atau bahkan tiga puluh tahun, tugasku tetap sama, Em. Menjagamu. Kurasa ini waktu yang tepat, Emma. Aku hanya ingin memilikimu seutuhnya lebih cepat karena semakin lama aku hidup bersamamu semakin kuat rasaku ingin menjagamu dan semakin kuat pula rasa takut kehilangan. Aku tahu aku hanya seorang tukang pemotong dan pengrajin kayu. Namun, aku berjanji aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk membahagiakanmu Em, tolong percaya padaku."

"But my dad ...." Peter tahu, kalimat itu akan terucap dari bibir Emma.

"Aku akan lakukan apapun perintah dari ayahmu demi kita bisa bersama selamanya," ujar Peter berusaha menyakinkan. Emma tersenyum haru lalu mengangguk.

Kilas balik sepuluh tahun yang lalu.

"Hati-hati, Emma," ucap seorang anak laki-laki dengan nada peringatan kepada seorang anak perempuan di sampingnya yang baru saja tersandung oleh akar pohon,

"Iya, Peter, kau cerewet sekali!" Anak laki-laki itu menghela napas mendengar balasan dari seseorang yang diperingatinya tadi. Karena faktanya anak perempuan yang sekarang menatapnya dengan tatapan polos itu sudah hampir jatuh tersandung oleh akar pohon dua kali. Kedua anak itu kembali berjalan masuk ke hutan.

Sinar matahari yang menyelip masuk di antara pepohonan yang tinggi menemani perjalanan mereka. Mereka berjalan beriringan sambil bergenggaman tangan seolah saling menjaga. Tiada dari mereka merasakan takut oleh remangnya hutan dan pohon-pohon tinggi yang bagaimanapun terlihat begitu berbahaya bagi anak seusia mereka. Tinggal di sebuah desa yang dikelilingi oleh hutan dan danau membuat mereka terbiasa oleh hal-hal yang mungkin terkesan liar oleh orang-orang kota. Namun hutan dan danau dengan segala keautentikannya membuat mereka dengan jiwa yang polos bersyukur dilahirkan di tempat ini.

Peter, seorang anak laki-laki dari keluarga sederhana Hamilton menemukan sesuatu yang menarik mata coklat gelapnya. Ia menurunkan tangan satunya yang membawa sebuah ember berukuran sedang dengan jaring ikan di dalamnya ketanah. Kemudian ia mencoba meraih sesuatu yang menempel pada ranting pohon di depannya tetapi, sebelum menyentuh makhluk hijau itu tangan lain menepis tangannya.

"Jangan dipegang! Kau ingin tanganmu terasa gatal?" seru Emma, anak perempuan yang dibawa Peter. Peter hanya menurut, ia tentu tak mau tangannya menjadi gatal hanya karena rasa penasaran pada ulat gendut berwarna hijau yang sedang berjalan di sebuah ranting pohon.

Melihat Peter menurut, Emma melanjutkan kalimatnya, "Kau tau? Ulat bulu ini asal mula dari kupu-kupu yang cantik." Raut penasaran sekaligus tidak percaya tergambar di wajah muda Peter.

"Bagaimana bisa?" Emma tersenyum mendengar nada antusias itu.

"Tentu saja bisa. Sebelum menjadi kupu-kupu mereka harus melewati beberapa tahap perubahan bentuk fisik. Jadi, pertama larva kupu-kupu yaitu ulat menetas dari telur. Kemudian mereka akan memakan dedaunan hingga menjadi gemuk seperti ulat ini. Setelahnya, mereka melepas kulit luar mereka dan bergantung terbalik di atas pohon menjadi kepompong. Nah ,saat dalam kepompong itulah ulat mengalami proses perubahan sebelum menjadi kupu-kupu. Proses ini yang dinamai metamorphosis kupu-kupu. Jadi, pada dasarnya ulat ini hanya bagian dari proses perubahan kupu-kupu saja," jelas Emma. Terlihat percikan kekaguman dalam mata Peter selama ia memperhatikan Emma berbicara, menjelaskan sebuah hal dengan begitu sederhana.

"Bagaimana kau tahu? Ibu guru di sekolah bahkan tidak menjelaskan hal ini."

"Dari membaca buku Pete. Sudah kubilang, kau akan mengetahui banyak hal dari membaca buku. Kalau kau mau, kau bisa meminjam buku-buku ku."

"Tidak. Membaca buku itu membosankan." Peter melanjutkan langkahnya. Emma otomatis terikut dengannya mengingat tangan mereka yang masih bergenggaman.

"Dad bilang dengan membaca buku kau bisa sukses di masa depan," ucap Emma. Ambisi anak perempuan itu untuk membuat teman laki-lakinya tertarik membaca buku tidak juga padam.

"Emma, we're only ten," balas Peter dengan nada jengah.

"Tapi ...."

"Sudahlah Em, ayo jalan lebih cepat danau sudah dekat. Kita harus kembali sebelum hari gelap." Emma menurut, sadar mereka harus menyebrangi hutan ini untuk sampai ke tujuan mereka yaitu danau yang terletak di ujung hujan. Mereka tidak mungkin bisa kembali jika hari sudah gelap karena hutan akan sulit ditaklukan tanpa cahaya.

Tak lama, mereka sampai di pinggir danau yang lumayan luas. Danau tersebut dikelilingi oleh hutan. Hanya di sini lah sinar matahari membakar kulit mereka dengan leluasa tanpa ranting-ranting pohon yang menghalau sinarnya. Peter mengamati danau tersebut lalu membawa dirinya beserta Emma untuk mendekat ke salah satu sisi danau yang dipenuhi oleh tumbuhan air. Menurut Emma, tumbuhan itu bernama 'water Hyacint'.

Peter memasuki danau tersebut dengan jaring ikan yang ia bawa dan membiarkan Emma di pinggir danau untuk tetap kering. Langkah kecilnya kian mendekat lalu ia mengarahkan jaring ikannya ke bawah tumbuhan itu seakan mengorek banyak hal yang ada di sana. Peter mengangkat jaring ikannya yang terlihat menampung banyak isi di dalamnya keudara. Potret seorang anak laki-laki tinggi berusia 10 tahun yang terlihat bak memiliki pengalaman menangkap ikan selama 15 tahun membuat Emma tersenyum. Peter kembali ke daratan dan meletakkan isi jaring ikan. Dibawanya ikan itu itu ke ember yang sudah berisi air. Ikan-ikan dengan jumlah banyak menggelepar di ember itu dan mengundang pekikan Emma.

"Wah! Banyak sekali! Bagaimana bisa?" tanya Emma antusias. Ia baru pertama kali ikut Peter menangkap ikan di danau. Sebelumnya ia tak pernah tahu kalau Peter bisa mendapatkan ikan lebih dari separuh ember dengan ukuran kecil hingga dua kali lipat dari tangannya.

"Ikan-ikan danau biasa bersembunyi di bawah tumbuhan air itu. Ikan-ikan kecil ini memakan serangga air. Lalu ikan-ikan besar akan memakan ikan-ikan kecil ini," jelas Peter. Emma hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Aku berani bertaruh! Pasti kau baru mengetahui hal ini. Bukumu yang lagi ataupun sudah kau baca pasti tidak menjelaskan hal ini, kan? Kau harus berpetualang dengan ayahku jika kau ingin tahu banyak hal yang tidak dijelaskan di buku-buku pelajaranmu." Entah mengapa Emma tidak merasa terprovokasi oleh ucapan dengan nada congkak yang Peter lontarkan.

Emma mengakui kalau ia bisa menjelaskan banyak hal dari buku pelajarannya yang dia baca. Namun tak satupun hal yang Peter kuasai dapat ia jelaskan, seperti bagaimana memotong kayu pohon yang benar, menangkap ikan dengan hasil yang melimpah, membuat perangkap rusa, menggunakan pisau, memanjat pohon, membangun rumah, membuat perabotan dari kayu atau bahkan hal sederhana seperti memasak."


Nadeean

Medan, 20112021

EMENOSWhere stories live. Discover now