BAB 15

7K 582 133
                                    

Ayasha

Semangat untuk bekerja. Semoga harimu selalu Senin!

Kutipan itu nggak salah. Sebagai manusia yang masih membutuhkan uang dan pekerjaan yang cuma atasan dan Tuhan yang tahu kapan habisnya, aku selalu merasa kalau hari-hariku adalah hari Senin. Hari di mana aktivitas dimulai dengan berbagai kehebohan se-Indonesia karena baru saja datang deadline pekerjaan sudah tersimpan manis seolah menyapa hangat di bawah sinar lampu kantor meminta untuk diselesaikan.

Biasanya, aku selalu mengeluh akan hal itu. Tetapi untuk hari Senin di akhir bulan Januari ini, aku semangat. Bukan karena lagi cari muka di hadapan Wirya supaya mendapatkan kenaikan gaji atau loyal kepada perusahaan. Melainkan untuk mengalihkan pikiranku tentang hubungan tanpa kejelasan antara aku dan Wirya. Apalagi, setelah mendengar kalau Wirya akan mencoba menjalin hubungan lagi sama mantan istrinya, membuatku kepikiran. Dan satu-satunya cara untuk nggak terlalu memikirkannya adalah dengan bekerja. Menyelesaikan target yang harus dicapai, lalu mengajukan cuti seminggu untuk healing.

Hahaha, memangnya aku siapanya Wirya sampai harus merasa tersakiti padahal sejak awal, dia nggak pernah memberi kejelasan apa hubungan di antara kami ini, kan?

Baru juga sampai ciuman bibir, belum sampai pelaminan. Nggak seharusnya aku merasa kalau Wirya telah menyakitiku.

“Pagi semuanya....”

Sapaan datar itu menggema di lantai tempatku bekerja. Tak lain dan tak bukan adalah Wirya. Menyapa karyawannya dengan nada datar seperti biasanya sambil bermain ponsel.

“Laporan keuangan bulan ini bisa diserahkan ke saya sekarang juga, ya,” perintahnya yang dibalas anggukan oleh Mbak Karen. “Udah selesai kan, Ren?”

“Udah, Pak,” jawab Mbak Karen semangat. Benar-benar semangat seperti kucing yang baru saja selesai diberi hidangan mewah. “Mau minta laporan keuangan bulan depan pun, udah siap semuanya.”

Wirya terkekeh seadanya. “Mana bisa. Ada-ada aja kamu ini, Karen. Capek ngurusin anak sama suami, ya?”

“Hehehe... nggak juga, Pak. Cuma butuh hiburan aja buat menghibur diri.”

Wirya manggut-manggut kecil, kemudian berlalu menuju ruangannya. Sama sekali nggak menyapaku atau melirikku seperti biasanya. Entah marah atau apa, aku nggak mau memikirkan segalanya.

“Duh, ada rumor yang katanya mau ngajuin cuti nih selama seminggu.” Marsel kayak biasanya selalu menyindir orang kantor yang akan cuti. Sudah jelas lah apa alasannya dia bisa begitu.

Ya, karena dia yang akan kena batunya.

“Setahun ini, gue belum pernah cuti. Giliran mau cuti, ada aja yang cutinya barengan sama gue,” dumel Marsel membuatku dan Mbak Karen terkekeh geli. “Atau takdir gue emang buat mengabdi di perusahaan ini, ya? Si Raka aja mudah banget dapat cuti tahun kemarin. Karen dapat cuti lahiran...”

“Yeuuu... lahiran mah emang diwajibkan buat cuti kali, Sel,” sela Mbak Karen.

“Ya bukan itu sih poinnya.”

“Sel, kalau lo iri sama cuti lahiran Mbak Karen, mending lo hamil, terus lahiran deh,” candaku yang membuat Mbak Karen terbahan dan Marsel cemberut sembari menatap layar komputer. “Tenang aja, Sel, gue nggak akan tumpahin semua kerjaan gue ke elo, kok. Sebelum bener-bener cuti minggu depan, gue bakal kelarin semuanya sampai nggak ada bekasnya. Biar lo tetep bisa pulang seusai jam kantor.”

“Mmmm...” Marsel tampak memicingkan kedua matanya sambil menatap ke arahku. “Bau-baunya gue menangkap kedustaan yang nggak pernah selesai.”

“Beneran, Marselllll....” balasku gregetan sembari menahan tawa karena melihat tatapan curiga darinya. “Gue bakal selesain semua kerjaan gue. Kalau harus lembur hari ini pun, gue jabanin biar nggak numpuk. Lo kira enak apa ya cuti seminggu tapi masih ada kerjaan yang belum dikelarin? Yang ada malah kepikiran.”

Really Bad Boss!Where stories live. Discover now