BAB 2

9.6K 639 24
                                    

"Aya..."

Aku mendongak begitu mendengar panggilan dari Mama. Beliau turut duduk bersamaku di sofa ruang tengah. "Kamu kapan mau dilamar sama Kale? Inget lho, Ya, jangan kelamaan. Kamu sama Kale kan udah pacaran selama empat tahun. Nggak ada gitu di pikiran kalian buat ngomongin hubungan yang lebih serius?"

"Mama kira aku pacaran sama Kale selama empat tahun nggak serius?" tanyaku sambil mengerutkan kening, mengalihkan pandangan dari layar ponsel ke Mama.

Kale Andrea. Pacarku selama empat tahun ini. Dia seorang banker di salah satu bank negara yang punya banyak nasabah di seluruh penjuru negeri. Pertemuan kami bisa dibilang unik karena kami bertemu ketika aku sedang di wisuda dan Kale datang sebagai salah satu teman yang kebetulan hari wisudanya sama denganku.

Waktu itu dia tersesat karena bukan dari kampus yang sama denganku. Bertanya mengenai letak gedung Fakultas Kedokteran dan dari sana aku berkenalan lebih jauh dengan Kale. Dia yang pertama kali meminta nomorku, dia juga yang pertama kali mengenalkan diri. Setelah tiga bulan saling mengenal, kami memutuskan untuk berpacaran saja karena banyak sekali kecocokan antara lagi. Terlebih lagi, sebagai penganut dan percaya dengan ramalan zodiak, aku yakin Kale adalah pasangan yang tepat untukku.

Leo dan Sagitarius.

Sangat cocok bukan?

Karena Leo dan Sagitarius itu memiliki tingkat kecocokan yang sangat tinggi. Tak jarang juga pasangan dengan zodiak tersebut, berakhir ke pelaminan. Semoga saja aku dan Kale bisa berakhir dengan pernikahan. Menikah dengannya itu dream wedding banget. Kesempurnaanku berada pada kesempurnaan Kale. Dan kami saling melengkapi keduanya.

"Sabar lah, Ma. Kale juga lagi sibuk sama karirnya," jawabku kembali memainkan ponsel yang menampilkan salah satu website brand setelan jas terkenal. Aku berniat membeli salah satu koleksinya sebagai hadiah ulang tahun Kale. "Aku juga masih sibuk karir, Ma. Jadi, harus ngerasa sampai puas dulu. Baru setelah itu, kami menikah," sambungku. "Nggak usah takut, Ma. Kale beneran serius sama aku. Aku juga yakin kalau dia adalah jodohku. Kale sama aku tuh kecocokannya sampai seratus persen, bukan lagi sembilan puluh sembilan persen kayak kebanyakan pasangan lain."

"Kale udah dua tahun lebih kan kerja di bank? Artinya kontrak dia buat jangan dulu menikah udah selesai. Kenapa coba nggak milih langsung nikah aja sama kamu? Nunggu apa lagi? Kayaknya posisi dia dan kamu juga udah enak, deh. Gaji kalian kalau disatukan udah bisa ambil rumah di Senopati, Ya. Jangan kelamaan lagi, lah."

Aku mengerti sih maksud Mama barusan. Ada kekhawatiran yang bisa aku rasakan darinya. Memang, menjadi anak tunggal selalu membuat orangtuanya khawatir perihal masa depan dengan pasangan. Tapi nanti, kalau waktunya sudah menikah, orangtua akan bawel dan sedikit protes akibat rumah bakal sepi atau apa pun itu yang terkesan nggak rela melihat anaknya hidup dengan pasangannya.

"Nggak perlu khawatir Mama Sayang. Kale pasti ada pikiran ke sana, kok. Dia juga pernah ajak aku ke toko perhiasan buat milih cincin yang aku suka."

"Terus sekarang mana cincinnya?"

"Masih di tokonya," aku terkekeh geli. "Waktu itu kan cuma lihat-lihat doang dan nggak ada maksud buat beli langsung, Ma. Lagian kan, ngelamar dan dilamar juga bukan suatu perkara tinggal bilang iya atau tidak. Ada yang harus dipersiapkan masing-masing, Ma. Persiapannya juga bukan sekadar materi aja, batin juga."

Mama berdecak pelan. "Katanya udah yakin kalau Kale itu jodoh kamu. Harusnya batin kamu buat milih dia udah mantap, kan? Nggak harus pakai mikir-mikir lagi."

Hmmm... agak susah juga menjelaskan ke Mama yang dulunya dilamar sama Papa setelah tiga bulan mengenal satu sama lain dan menikah enam bulan kemudian setelah lamaran. Nggak sampai setahun mereka pacaran, tapi memutuskan untuk menikah. Kira-kira Mama pakai pelet apa ya sampai bisa bikin Papa seyakin itu menikahi Mama?

Really Bad Boss!Où les histoires vivent. Découvrez maintenant