BAB 5

6K 532 15
                                    

"Morning guys..."

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi dan Wirya baru datang. Intonasinya terdengar semangat dan wajahnya begitu cerah saat tak sengaja kulirik kehadirannya. Hari ini dia mengenakan kemeja abu muda lengan panjang dan celana bahan warna hitam. Tak lupa sepatu pentofel mengkilatnya memberikan kesan rapi pada dirinya. Rambut cokelatnya disisir rapi ke belakang dan jambang tipis di sekitar dagu serta rahangnya yang selalu menjadi daya tariknya.

Bukan hal yang aneh juga sih karena memang biasanya dia datang ke kantor jam segituan. Selain sebagai pemilik dari perusahaan supplier untuk ke hotel-hotel, dia juga harus menjalani rutinitas lebih dulu sebagai single parent. Membangunkan anaknya, memandikannya, membuat sarapan, sampai mengantarkannya ke sekolah. Wirya melalukan itu sendiri.

Semua orang kantor tahu akan rutinitasnya tersebut. Karena Wirya pernah berkata—bahkan meminta maaf kalau dia datang ke kantor telat. Bos mana yang bersikap seperti itu kepada anak buahnya?

Mungkin, bos di perusahaan lain nggak akan pedulikan hal itu. Tapi Wirya beda. Dia masih sering kelihatan sungkan untuk menyuruh atau memberi kerjaan seabrek ke Mbak Karen atau karyawan lain yang umurnya sedikit di atasnya.

"Maaf ya saya telat lagi." Nah, kan. Wirya kalau datang telat sukanya minta maaf.

"Santai aja, Pak," tanggap Mbak Karen—salah satu marketing senior yang kayaknya sudah kerja bersama Wirya dari lama. Sempat ditawari naik jabatan jadi manager, dia menolak dengan alasan takut nggak bisa fokus pada kehidupan rumah tangga dan keluarganya. Apalagi, dua bulan yang lalu, Mbak Karen baru saja melahirkan anak perempuan. "Oh iya, Pak. Kata Maudy—kepala gudang slipper, harga bahan baku mulai naik, ya?"

"Oh iya?"

Mbak Karen mengangguk. "Soalnya, waktu kemarin dia ambil spons dari pabriknya, harganya beda sama yang bulan lalu. Bapak nggak ngecek?"

"Saya belum ketemu sama Maudy." Wirya menggeleng kecil. Keningnya mengernyit dalam. "Kapan bahan bakunya datang?"

"Kayaknya baru tadi pagi deh, Pak."

"Oh ya udah. Biar saya ketemu sama Maudy setelah ini," jawab Wirya. "Thanks ya, Mbak, udah kasih tahu ke saya."

Mbak karena tersenyum ramah dan Wirya pun masuk ke ruangannya.

"Berapa kali gue bilang ke dia, jangan panggil gue pakai sebutan mbak," cerocos Mbak karena setelah duduk di kursi kerjanya. Aku terkekeh kecil. "For god sake, umur gue lima tahun di bawah dia."

"Biar sopan aja kali, Ren. Lo kan senior banget di sini," seloroh Raka—staf pemasaran yang lebih sering nagih hutang ke hotel. Pegawai dengan jobdesk paling nggak sesuai.

"Lo aja panggil gue pakai nama. Laknat emang! Umur lo aja di bawah gue!" omel Mbak Karen sambil memelototi Raka.

Raka cuma tertawa kecil dan akan tetap panggil mbak Karen seperti itu.

"Eh, Aya. Gue baru sadar, bengkak banget mata lo. Habis nangisin siapa?" tanya Raka ketika melewati kubikelku yang kubalas dengan senyum samar.

Dia nggak salah. Aku kembali nangis akibat masih memikirkan hubungan empat tahunku dengan Kale.

Mau tahu apa yang membuatku tambah menangis sesenggukan?

Bisa-bisanya Kale nggak menghubungiku! Sekadar kirim chat saja nggak ada. Padahal, aku masih menyimpan kontaknya dengan nama "My Kale". Terkesan lebay memang, tapi ya aku senang saja ketika ada telepon darinya yang membaca nama yang kukasih.

Rasanya, seperti dia benar-benar milikku.

Sialannya itu dulu sebelum kejadian dua hari lalu di supermarket menjadi mimpi buruk tak kunjung usaiku.

Really Bad Boss!Where stories live. Discover now