BAB 8

4.8K 519 7
                                    

"Yuk...."

Aku terkejut begitu keluar dari ruang ganti dan Wirya mengulurkan tangan kanannya sambil memasang senyum tipis khasnya. Menawan dan memberikan kesan nakal.

"Yuk.... apanya?" tanyaku bingung sembari menatap uluran tangannya dan wajahnya secara bergantian.

"Ikut sama saya."

"Pak, tapi saya—"

"Jangan bohong, Aya," potongnya cepat. "Saya tahu kamu nggak bawa mobil sendiri. Rara yang kasih tahu saya."

Rara sialan!

"Kenapa?" Wirya masih betah mengulurkan tangannya yang belum aku terima itu. "Mau nolak saya lagi? Oh come on Aya...." Dia pun mendesah pelan, "... ajakan saya harus kamu tolak juga? Sesensi itukah kamu sama saya? Atau kamu malu kalau jalan bareng orangtua kayak saya?"

Mendengar celotehannya barusan, membuatku menahan senyum geli. Dia mengaku sendiri bahwa dirinya sudah menjadi "orangtua" dan bukan aku juga yang mengatakannya. Tetapi, meskipun Wirya memang bisa dikatakan sebagai orangtua, di umurnya yang sekarang dia nggak akan terlihat seperti itu kalau sedang jalan sendiri. Orang-orang pasti akan mengira dia laki-laki single yang belum pernah nikah dengan siapa pun.

Termasuk Mama sendiri. Tidak percaya bahwa Wirya sudah mempunyai anak.

"Saya emang udah jadi orangtua, tapi jiwa saya masih muda." Dia berbangga diri dan itu nggak salah. "Jadi, kalau kamu jalan sama saya, kita nggak akan kelihatan kayak anak dan bapak."

"Terus kelihatannya apaan dong, Pak?"

"Mancing-mancing ya kamu." Lagi, Wirya melakukan hal serupa kala beberapa jam yang lalu. Mengacak-ngacak lembut puncak kepalaku yang mana membuatku diam mematung selama beberapa saat. "Mau saya jawab sekarang?"

Kali ini dia nggak langsung menjauhkan tangannya dari puncak kepalaku. Malah mendiamkannya di sana dan sesekali jemarinya mengusap bagian ubun-ubunku.

Ya Tuhan... dia lagi ngapain sih? Dan kenapa juga debaran jantungku menggila? Padahal sebelumnya aku selalu menganggap apa yang dia lakukan itu hanya sebagai candaan semata.

Ya, kan?

Karena yang aku lihat juga, Wirya ini memang sering bercanda kepadaku dan juga—eh, apa cuma ke aku saja ya bercandanya?

"Mau nggak?"

Aku menelan ludah terlebih dahulu akibat tenggorokanku yang tiba-tiba kering atas perlakuannya barusan.

"Ikut sama Bapak?"

Dia menggeleng tegas. Membuatku kebingungan.

"Terus apa?"

"Membina rumah tangga sama saya."

Detik itu juga aku tersedak oleh ludahku sendiri. Merasakan sakitnya tenggorokan dan nggak henti-hentinya batuk di hadapan Wirya. Sedangkan dia, tertawa renyah sambil menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku padahal itu nggak membuat batukku dan salah tingkahku berhenti.

Yang ada, jantungku sudah merosot akibat tindakannya barusan.

"Sori, sori...." Sekali lagi, Wirya menepuk-nepuk puncak kepalaku dengan pelan. "Saya nggak ada maksud buat godain kamu." Terus tadi apaan, Bapak Wirya? "Saya cuma pengin lihat reaksi kamu aja, Aya. Soalnya, kemarin-kemarin kalau saya ngomong hal-hal kayak begini, kamu bisa banget ngelesnya. Tapi sekarang, kok malah kelihatan salah tingkah, ya?"

Aku menepis pelan tangan Wirya dari kepalaku.

"Sampai merah gitu mukanya," godanya dengan tatapan super jail. "Kenapa sih, Ya? Udah ada rasa sama saya?"

Really Bad Boss!Where stories live. Discover now