◖ part 16 ◗

80 15 0
                                    

★»»-->𝕳𝖆𝖕𝖕𝖞 𝕽𝖊𝖆𝖉𝖎𝖓𝖌<--««★

Malam tadi saat Luvia menanyakan sesuatu yang keras, Tirta menjanjikan akan mengajak gadis itu ke bukit dan memetik mangga di kebun miliknya, untuk mengalihkan pertanyaan nyeleneh istrinya. Laki-laki itu meminta Luvia untuk tidur kembali agar besok tidak mengantuk di perjalanan. Luvia pun menyanggupi hal itu, dengan syarat Tirta harus tidur disampingnya.

Seperti janjinya, saat ini Tirta sedang memanjat pohon mangga yang lumayan tinggi. Setelah sekiranya cukup, laki-laki itu turun dari pohon, lalu menghampiri Luvia yang berdiri tidak jauh dari pohon. Senyum gadis itu melebar saat melihat sekantung penuh buah mangga yang masih segar dan kelihatan sangat menggiurkan.

"Pia mau makan mangganya sekarang?" tanya Tirta membuat gadis itu mengangguk. Dengan keuletannya mengupas mangga, laki-laki itu menyerahkan kupasan mangga kepada Luvia, dimakan dengan rakus oleh gadis itu. Dulu, Tirta mengupas mangga menggunakan gigi. Namun, sekarang ia menggunakan pisau, karena takut Luvia jijik memakan mangga dengan kupasan menggunakan giginya.

"Enak?" Luvia mengangguk. Ia memakan mangga dengan rakus membuat Tirta geleng-geleng kepala.

"Pelan-pelan makannya, aku nggak akan minta, kok."

"Ata, mau lagi."

"No! Kamu belum sarapan! Nanti kita makan lagi di rumah. Katanya mau ngasih Monik." Luvia mengangguk pasrah, lalu mengajak Tirta untuk melanjutkan perjalanan mereka. Tidak ingin kerepotan membawa, seplastik mangga itu ia letakkan di saung ladang yang dulu pernah digunakan untuk mereka bermain.

"Ata, ayo cepetan!"

"Bentar, Pia."

Luvia mengrnyitkan dahi menatap orang-orangan sawah yang berada disamping saung. Perasaan, dulu ia belum pernah membuat orang-orangan sawah bersama sahabat kecilnya. Ia berjalan mendekat dan tersenyum melihat ukiran nama mereka bertiga di tempurung kelapa yang digunakan sebagai kepala.

"Kamu ngapain di situ?" tanya Tirta membuat Luvia menoleh, kemudian tersenyum.

"Kalian yang buat ini, ya?"

"Iya. Dulu kita pernah punya rencana mau buat orang-orangan sawah bertiga, kan. Tapi kamunya keburu pergi, jadinya cuma aku sama Bayu aja yang buat."

"Lucu banget. Tapi, kayaknya aku nggak liat Abay di pernikahan kita. Om Johan sama Tante Melisa juga nggak keliatan. Mereka ke mana? Pindah juga?" Senyuman di bibir Tirta hilang saat menanyakan hal yang sangat sensitif untuknya.

"Nanti, ya aku ceritain kalau udah sampai bukit."

✤✤✤

Luvia menghirup dalam udara sejuk di sekitarnya. Pemandangan indah dari atas bukit membuatnya betah berlama-lama di tempat ini. Meskipun telah tersentuh oleh teknologi yang kini semakin maju, desa ini tetap dipertahankan kelestarian alamnya sehingga menjadi daya tarik wisatawan, apalagi dengan air terjun yang terletak tidak jauh dari bukit. Selain itu, luasnya kebun teh di bagian barat daya bukit juga menjadi tujuan destinasi wisata yang menjanjikan.

"Desa ini nggak berubah, ya. Semuanya masih sama seperti ketika aku pergi dari sini," ujarnya membuat Tirta memusatkan atensinya ke arah wajah cantik istrinya.

"Semua yang indah, sudah sepantasnya dijaga. Lagian, aku pesimis banget kalau kamu akan kembali lagi ke desa ini. Dulu, aku sama Bayu hampir setiap hari datang ke kantor pos untuk ngecek, kamu ngirim surat atau enggak. Tapi, hasilnya nihil." Luvia tersenyum, lalu meneguk air mineral dari botol yang dibawanya dari rumah mereka. Ya, mereka tinggal di rumah yang Tirta buatkan khusus untuk Luvia, tidak jauh dari rumah orang tua mereka. Rumah berlantai dua itu bisa dibilang sebagai rumah paling megah di desa.

"Dulu aku nulis beberapa surat untuk kalian. Karena aku nggak paham gimana caranya kirim surat, akhirnya aku minta tolong sama Om Anton buat kirimin surat-surat itu dengan imbalan, aku ngasih dia semua uang jajanku. Ternyata, aku cuma ditipu," ujarnya dengan mata berkaca-kaca membuat Tirta menyeka air mata itu sebelum mengalir di pipinya.

"Udah, jangan diinget-inget. Lagian, yang penting sekarang kamu udah kembali lagi ke sini, kan?" Luvia mengangguk, lalu berkata, "iya. Ata katanya mau cerita Abay sekarang di mana."

Bukannya menjawab, Tirta malah mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya, lalu memberikannya pada Luvia. Sebuah gelang perak, dengan tiga bandul berbentuk awan yang masing-masing bandulnya terukir nama Tirta, Bayu, dan Luvia. Gelang yang sangat cantik, tetapi sepertinya sudah tidak muat lagi dipasang di pergelangan tangannya.

"Gelang itu Bayu titipkan sepuluh tahun yang lalu untukmu, tepat sehari sebelum kecelakaan mobil yang menewaskan satu keluarga dalam perjalanan menuju ke rumah neneknya," ungkap Tirta membuat Luvia membelalakkan matanya tak percaya dengan informasi yang baru saja dituturkan oleh sang suami. Gadis itu menggeleng saat melihat mata laki-laki itu juga basah oleh air mata, tetapi segera diseka agar istrinya tidak melihat.

Diusapnya lembut gelang perak itu, lalu ia memasukkan ke dalam dekapannya. Ia tidak menyangka, perpisahan mereka dua belas tahun lalu, menjadi hari perpisahan terakhirnya pula bersama Bayu untuk menjalankan kehidupan dengan alam yang berbeda.

"Kenapa Abay ninggalin Pia sama Ata? Abay udah janji, kan suatu saat akan pergi ke bukit ini lagi bareng seperti dulu. Kenapa Abay ingkar janji?"

"Pia juga belum sempet ngucapin terima kasih buat Tante Melisa dan Om Johan atas semua perhatian mereka sama Pia dulu."

Tidak tega melihat Luvia menangis, Tirta membawa tubuh kecil gadis itu ke dalam pelukannya. Tangannya tak tinggal diam mengusap lembut punggungnya, tidak lupa membisikkan kata-kata penenang.

"Pia, suatu saat nanti kita pasti akan ketemu lagi sama mereka, kok. Ikhlasin mereka, ya. Biarkan mereka tenang di sana."

"Iya, Ata, terima kasih."

Tanpa diduga, hujan tiba-tiba mengguyur deras kawasan desa, membuat Luvia terkaget. Tangan gadis itu mulai gemetar ketika tubuhnya basah kuyup. Gadis itu melepaskan pelukan mereka dan meringkuk menutupi telinga menggunakan kedua tangannya.

"Pia, liat aku!" Sekuat tenaga, Tirta meluruskan kaki Luvia dan melepaskan tangan dari telinga gadis itu, lalu menggenggamnya erat.

"Pejamkan matamu, rasakan tetes demi tetes air hujan yang menimpa tubuhmu, dan lupakan semua yang membuatmu terluka." Luvia mengangguk lalu mulai melaksanakan perintah sang suami. Lima menit berlalu, Luvia masih saja memejamkan matanya, tetapi sudut bibirnya mulai tersungging ke atas membentuk senyuman manis, lalu menatap Tirta.

"Ata, Pia berani sama hujan. Terima kasih," ucapnya memeluk tubuh tegap sang suami dengan erat. Bertahun-tahun ia hidup dalam trauma bersama hujan, dan kini ia bisa mengendalikan traumanya sendiri dengan bantuan orang-orang yang tulus menyayanginya. Ia bersyukur pada Tuhan telah mengirimkan orang-orang terbaik berada di sisinya, sebagai ganti Tuhan telah mengambil orang yang ia sayangi dari sisinya.

.

.

.

.

.

Magelang, 16 Januari 2022

Salam

Dita Lestari

Jumkat : 997

bougenvilleap_bekasi
AraaaaKyuddd
AulRin_09
LintangPansavialysan

Bitter in the Rain (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang