◖ part 13 ◗

72 16 0
                                    

★»»——>𝕳𝖆𝖕𝖕𝖞 𝕽𝖊𝖆𝖉𝖎𝖓𝖌<——««★

Mentari mulai menampakkan dirinya dari ufuk timur, efek dari rotasi bumi yang berputar pada porosnya, disertai revolusi kepada matahari ditemani oleh bulan. Suara kicauan burung-burung yang terbang mencari pangan pun menambah lengkap suasana pedesaan yang asri tak tersentuh udara polusi. Langit biru yang bersatu padu dengan hijaunya pepohonan melengkapi indahnya ciptaan Tuhan, membuat siapa pun betah berlama-lama berada di suasana seperti itu.

Luvia memejamkan mata menghirup udara segar yang lama tidak ia rasakan. Semuanya masih sama seperti dulu, sebelum ia meninggalkan desanya. Sawah-sawah yang membentang luas, dengan orang-orangan sawah yang ada di setiap petak, serta saung di beberapa tempat yang sepertinya tidak dirubah posisinya. Ia jadi ingat, dulu pernah berlarian di lumpur bersama dua sahabatnya karena dikejar oleh kerbau. Ah, bagaiamana kondisi mereka saat ini? Mungkin mereka telah melupakannya.

Baginya, mengetahui kabar bahwa mereka baik-baik saja sudah cukup. Memang mau apa lagi? Bergaul dengan mereka pun tidak ada gunanya lagi. Mereka telah dewasa sekarang, bahkan mungkin memiliki kesibukan dan pasangan masing-masing. Lagi pula, dengan trauma yang selalu menghantuinya saat ini, tidak akan mungkin membuatnya bahagia bersosialisasi dengan orang lain.

"Kak, itu apa?" tanya Monika mengalihkan atensinya, lalu menatap benda ciptaan Tuhan yang ditunjuk oleh sang adik.

"Itu bukit. Kakak pernah sekali ke sana. Nggak tau masih ingat apa enggak sama rute jalannya," jawabnya sambil menyeret koper yang berada di belakangnya, berjalan menyusul Melin yang sudah beberapa langkah berjalan di depan sana.

"Emang, dulu Kak Pia ke sana sama siapa?"

"Abay sama Ata."

"Minta tolong sama mereka buat nunjukin jalannya aja, Kak. Mereka pasti mau." Luvia mengembuskan panjang napasnya, lalu sedikit mengangguk.

"Bisa aja, sih. Tapi, kan nggak tau mereka masih inget sama Kakak atau enggak. Lagian, Kakak nggak bisa mengendalikan diri ketika bersosialisasi dengan orang lain."

"Bukan nggak bisa, Kak, tapi belum. Gimana Kakak mau bisa kalau nggak mau keluar dari zona aman? Dicoba, ya, Kak pelan-pelan. Pasti Monik bantu, deh. Mau, ya?" Luvia mengangguk samar, membuat Monika bersorak senang. Gadis itu mengoceh panjang lebar dengan suara yang keras, sehingga menarik perhatian para petani yang sedang menanam padi di sawah. Tak ayal, hal itu membuat Luvia malu sekaligus tidak enak hati karena mereka menjadi pusat perhatian saat ini.

✤✤✤

Air mata Monika menetes dengan derasnya, disertai isakan-isakan kecil yang keluar dari bibirnya. Hidungnya yang memerah, terkadang mengeluarkan ingus yang diseka menggunakan punggung tangannya. Setengah jam lamanya, sejak keduanya tiba di pemakaman itu, Monika hanya menangis tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Melin sengaja tidak ikut, karena sedang membereskan barang-barang bawaan mereka.

Tidak tega melihat kondisi sang adik, Luvia menyentuh pundak Monika, membuat gadis itu langsung menghamburkan diri ke dalam pelukan kakaknya. Luvia tersenyum, lalu mengusap lembut punggung adiknya. Biasanya, ia yang akan menangis di dalam pelukan Monika, tetapi saat ini keadaan berbanding terbalik tidak seperti biasanya. Baru satu kali ia melihat Monika menangis hingga keluar isakan hebat seperti ini.

"Monik, ungkapkan apa aja yang mau kamu katakan," ucap Luvia membuat Monika sekuat tenaga menghentikan tangis dan isakannya. Setelah tangisannya berhenti, gadis itu kembali menatap nisan ayahnya dan mengusapnya lembut.

"Ayah, ini Monika, putri Ayah. Ayah nggak kangen sama Monik?" tanyanya sambil mengusap lembut air mata di pipinya.

"Maaf, Monik baru bisa nengokin Ayah. Ayah tau? Kak Pia selalu ceritain semua tentang Ayah. Bagaimana sikap tegas, penyayang, dan kelembutan Ayah."

Bitter in the Rain (TAMAT) Where stories live. Discover now