◖ part 10 ◗

66 15 0
                                    

★»»-->𝕳𝖆𝖕𝖕𝖞 𝕽𝖊𝖆𝖉𝖎𝖓𝖌<--««★

Luvia berjalan tertatih dari ranjang menuju ke sudut ruangan, dengan air mata yang tidak berhenti menetes di pipinya. Keadaannya kali ini kacau balau, sehingga ia tidak yakin bisa menutupi semua ini dari ibunya. Akankah keadaannya saat ini bisa dikatakan baik-baik saja, jikalau pelipis dan kepalanya mengeluarkan darah kering? Belum lagi lebam bekas tamparan keras di pipi yang pastinya tidak dapat ia tutupi menggunakan baju berlengan panjang.

Langkahnya bukan tanpa alasan, ia ingin mengambil sesuatu yang menjadi incarannya beberapa jam yang lalu. Diraihnya cam milik Luky yang beberapa hari lalu tidak sengaja ia temukan di atas nakas. Awalnya ia ragu untuk memasangnya, tetapi setelah kembali merenungkan ucapan gurunya dulu, ia menjadi yakin untuk mengakhiri semua ini.

Mungkin, ia tidak bisa mengungkapkan apa yang terjadi di dalam hidupnya, karena belum tentu semua orang akan percaya dengan apa yang dia ucapkan, termasuk ibunya. Namun, apakah mereka akan meragukannya jika ia memberikan bukti? Tentu, jawabannya tidak. Berbohong sepintar apa pun pasti akan kalah jika ada yang namanya bukti.

Luvia menggenggam erat cam itu dan memasukkan ke dalam saku bajunya, sebelum Anton melihat benda kecil itu dan menghancurkannya. Sejak menyiksanya semalam, laki-laki itu pergi begitu saja dari rumah dan belum kembali sampai pagi hari ini. Hal itu biasa Anton lakukan saat Melin sedang tidak ada di rumah, pergi untuk urusan pekerjaan ke luar kota.

"Pia mau serahin bukti ini ke siapa? Pia takut, bukti ini jatuh ke tangan orang yang salah," ujarnya menatap langit biru dari balik jendela kamar. Seketika, ucapan Rafa kemarin saat berada di kelas terngiang-ngiang di kepalanya.

"Aku mau jadi polisi, karena polisi itu hebat."

"Tugas mereka nangkep semua penjahat dan memasukkannya ke dalam penjara."

"Selain itu, mereka punya pistol hebat untuk melawan penjahat."

"Polisi, semoga mereka bisa bantu Pia. Pia dengar, ada kantor polisi nggak jauh dari sini," gumamnya, lalu berjalan mendekati lemari dan mengambil beberapa pakaian yang akan menutupi seluruh tubuhnya. Tangan mungilnya mengambil hoodie milik ayahnya yang pastinya kebesaran di tubuhnya, lalu mengambil celana panjang dan kacamata hitam serta masker, untuk menutupi wajahnya.

Dengan mengendap-endap, Luvia keluar dari rumahnya melalui pintu belakang. Meskipun di rumah tidak ada siapa-siapa, ia takut jika saat ia keluar rumah, ayah tirinya itu akan memergokinya, sehingga rencana untuk melaporkan kepada pihak berwajib sirna. Sudut bibir Luvia tersungging ke atas saat ia berhasil keluar dari kawasan rumah tanpa ketahuan sedikit pun oleh tetangga-tetangganya.

"Ini Pia harus ke mana, ya? Pia nggak tau di mana tempatnya," ucapnya memperhatikan sekitar, mencoba mencari tahu di mana letak bangunan kantor polisi. Satu jam lamanya, Luvia hanya berputar-putar di kawasan itu, sebelum matanya berbinar saat melihat mobil polisi melintas di depannya.

Tidak ingin mengeluarkan suara, Luvia memilih berlari mengejar mobil polisi itu, meskipun ia tidak tahu ke mana mobil itu melaju. Ada dua kemungkinan, yaitu mobil berasal dari suatu tempat untuk pulang ke kantor polisi, atau mobil itu berasal dari kantor polisi untuk menuju ke suatu tempat. Ia optimis, bahwa tujuan mobil itu seperti pada opsi yang pertama, yakni berasal dari suatu tempat untuk menuju ke kantor polisi.

Apa pun itu, yang penting saat ini adalah berusaha sekuat tenaga, karena ia yakin bahwa Tuhan akan selalu bersama dengannya di setiap langkah. Luvia fokus berlari, tak sadar jika ada sebuah lubang di jalan, sehingga tubuhnya kehilangan keseimbangan dan berakhir jatuh di tanah. Perih, itulah yang ia rasakan di bagian lutut. Namun, ia kembali berdiri dan berlari mengejar mobil itu, takut nantinya kehilangan jejak.

Bitter in the Rain (TAMAT) Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora