◖ part 17 ◗

119 16 0
                                    

★»»——>𝕳𝖆𝖕𝖕𝖞 𝕽𝖊𝖆𝖉𝖎𝖓𝖌<——««★

Tidak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Tanaman padi yang semula ditanam saat Luvia pulang ke desanya, kini telah panen. Gadis itu menatap dari balko rumah, para petani yang sedang menyakitkan batang-batang padi sehingga bulir-bulir gabah rontok seketika dari tangkainya. Berkali-kali ia mengembuskan kasar napasnya. Sungguh, ia bosan dan tidak tahu akan melakukan apa saat ini.

Tirta pergi bekerja mengawasi kebun teh milik keluarga, bersama dengan mertuanya. Ibunya pergi ke kota untuk mengurus bisnis, dan Monika pergi ke sekolah yang berada di perbatasan desa. Tadi, ia sempat merengek pada Tirta untuk ikut ke kebun teh, tetapi laki-laki itu menolak dengan dalih cuaca panas dan banyak orang yang memetik pucuk daun teh di sana. Alasan itu tidak sepenuhnya benar, karena para pemetik daun, bekerja setelah subuh dan akan merampungkan pekerjaan mereka ketika waktu telah menunjukkan pukul delapan, untuk menjaga kualitas teh nantinya.

"Pia bosan banget. Ata kapan pulang, sih?"

"Ciee, nungguin, ya? Ini udah pulang," ucap seseorang membuat Luvia membalikkan badan dan mencebik kesal.

"Bukannya nungguin, tapi aku bosen di rumah sendirian, Ata."

"Terserah kamu, lah. Mau ikut aku jalan-jalan nggak?" tanya Tirta membuat Luvia membelalakkan girang matanya. Gadis itu berjalan mendekati sang suami, lalu memeluk mesra lengan laki-laki itu.

"Mau, dong. Kita mau ke mana?"

"Ke kota."

"Ngapain? Ngemall, nonton bioskop, atau mau ke pasar malam?"

"Siang-siang gini mana ada pasar malam, Pia. Udah ikut aja, cepetan mandi terus ganti baju." Tanpa bertanya apa pun lagi, gadis itu dengan cepat masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan badannya. Tirta pun melakukan hal yang sama di kamar mandi yang berada di lantai satu. Tidak membutuhkan waktu hingga dua puluh menit, keduanya telah siap dengan setelan baju masing-masing. Tirta dengan celana levis panjang dan kaos putih polos ditutupi dengan jaket berwarna navy, dan Luvia dengan celana levis, serta baju blouse panjang berwarna senada dengan jaket yang Tirta kenakan.

Saat ini, keduanya telah berada di dalam taksi yang mereka pesan sepuluh menit yang lalu. Luvia menatap tajam suaminya, saat laki-laki itu menarik lembut ikat rambut yang menyatukan rapi helai demi helai rambutnya.

"Ata, kenapa dilepas, sih?!"

"Cantikan gini, Pia. Buat nutupin leher kamu juga."

"Kenapa?"

"Karena nggak semua laki-laki bisa menahan nafsunya, termasuk aku."

✤✤✤

Luvia menatap tak percaya pada bangunan yang berada di depannya saat ini. Ia tidak menyangka, Tirta akan membawanya ke tempat yang pernah membantunya keluar dari sebagian penderitaannya. Andai dalam perjalanan tidak tertidur, sudah pasti ia akan menolak untuk datang ke sini.

"Kamu ngapain ajakin aku ke sini, Ata?! Aku nggak mau ketemu dia lagi!" pekik Luvia menghentakkan tangannya yang digenggam oleh Tirta, sehingga genggaman tangan itu terlepas. Luvia hendak pergi, tetapi laki-laki itu lebih dulu mencekal pergelangan tangannya.

"Pia, kamu percaya sama aku buat bantu melawan semua trauma kamu, kan? Ini tahapan akhir kamu buat lepas dari trauma itu, dengan cara maafin dia dan ikhlasin semuanya. Aku jamin, kamu nggak akan kenapa-kenapa di dalam. Aku akan ngelindungin kamu."

Ia pernah berjanji kepada ayahnya untuk berusaha menghilangkan trauma ini dari dalam dirinya. Mungkin, dengan mengikuti saran Tirta, akan membuatnya terbebas dari segala penderitaan yang selama ini bersarang dalam hidupnya. Dengan ragu, Luvia mengangguk membuat Tirta tersenyum tulus kepadanya.

Bitter in the Rain (TAMAT) Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu