Prolog

586 426 238
                                    

Suara langkah tapak-tapak kaki itu terdengar bergemuruh, bergerak cepat memenuhi seisi ruang koridor Rumah sakit yang suasananya terasa mencekam. Dengan langkah amat tergesa, para perawat sibuk mendorong brankar di mana terdapat seorang anak laki-laki terbaring tak berdaya di atasnya. Dengan tubuh yang terkulai lemas, mata terpejam tak sadarkan diri, serta darah yang menutupi sebagian wajahnya. Seakan tak peduli dengan sekitar, mereka terus memacu langkah. Menyebabkan orang-orang yang tengah berlalu lalang di sekitar lantas segera menepi memberikan jalan.

"Jun Pyo! Sadarlah! Kakak di sini. Kau dengar aku?!" Di sela-sela langkahnya mensejajarkan tubuh agar tetap di sisinya, Im Jin Yoo terus mencoba menyadarkan adiknya. "Buka matamu!"

Hingga kemudian langkahnya harus terhenti kala seorang perawat wanita menghalanginya karena brankar yang kini telah masuk ke dalam ruang Instalansi Gawat Darurat. "Mohon menunggu di sini dan biarkan dokter menangani," ucap sang suster, lantas menyusul memasuki ruangan.

Menemukan itu, Jin Yoo hanya bisa berdiri kaku. Sembari menatap kosong ke arah pintu yang tertutup rapat tersebut dengan lampu berwarna merah yang menyala diatasnya. Dirinya masih sangat terkejut. Pandangannya masih sama—menatap kosong. Pikirannya penuh, tak mampu memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi setelah ini. Bahkan telinganya tak bisa mendengar gusak-gusuk suara apapun di sekitarnya. Seakan tuli begitu saja.

Sesaat, Jin Yoo menghembuskan nafas beratnya. Lantas mendudukkan tubuh pada kursi hitam panjang di sebelah kanan, dengan arah pandangan yang tak kunjung beralih. Kedua pundaknya perlahan menurun. Jin Yoo memejamkan mata seraya mendongakkan kepala. Menyandarkan kepalanya pada permukaan dinding yang terasa dingin di belakangnya.

Tak pernah sedikitpun terlintas dalam pikirannya, bahwa adiknya, Im Jun Pyo, akan menerima semua perlakuan tidak adil ini.

--First love--

Sudah sekitar satu setengah jam berlalu, namun pintu ruangan itu masih belum terbuka sedikitpun. Berulang kali Jin yoo menghela napas sembari merapalkan do'a dalam hati. Berharap tak terjadi hal serius yang menimpa adik semata wayangnya.

Dia menundukkan kepala, menempelkan keningnya pada kedua telapak tangan yang menyatu saling bertautan. Lalu kembali memejamkan mata, dengan ujung sepatu yang terus bergerak cepat ke atas dan bawah, tak bisa diam.

"Anda keluarga pasien?"

Kedua matanya sontak terbuka. Jin Yoo mendongak, mendapati seorang pria paruh baya berpakaian serba putih berdiri menjulang di hadapannya. "Benar. Aku kakaknya!" ucapnya setelah berdiri. "Bagaimana keadaannya?" tanyanya kemudian, terdengar tidak sabar.

Dokter itu menganggukkan kepalanya singkat. Lantas menjawab, "Anda tidak perlu khawatir. Tak ada luka dalam yang cukup serius. Dia hanya mengalami cidera kepala ringan akibat benturan dari benda keras yang mengenai kepala bagian depannya."

Mendengar itu, Pupil Jin Yoo kembali bergerak melirik pintu ruang Instalansi. "Apa setelah ini, tidak ada gejala atau efek samping yang akan di alaminya?"

Sejenak, Dokter tersebut terlihat berpikir. "Dari luka yang di alami pasien, sepertinya gejala yang akan dialaminya setelah ini adalah mudah pusing dan sakit kepala. Namun tidak seburuk itu. Hanya dengan melakukan pengobatan rutin setiap dua minggu sekali, kurasa itu akan membaik. Cukup jangan bebani dia dengan hal-hal yang bisa memberatkan pikirannya, itu saja."

Mendengarnya, membuat Jin Yoo menghembuskan napasnya. Ia lantas menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Baiklah ... Apa sekarang aku bisa menemuinya?"

"Tentu. Hanya saja, pasien masih dalam kondisi tidak sadarkan diri. Mungkin sekitar beberapa jam lagi, dia akan kembali siuman."

Jin Yoo mengangguk. "Terima kasih, Dokter." Dokter tersebut mengangguk, lantas berbalik badan dan berlalu.

Jin Yoo membuka pintu perlahan, sedikit mengintip kedalam. Hatinya mencelos ketika mendapati Jun Pyo terbaring lemah di atas brankar, dengan mata senantiasa terpejam beserta kepalanya yang dibalut perban.

Dengan pelan, ia melangkahkan kakinya mendekat. Lantas menggenggam tangan yang pucat nan terasa dingin itu. Ditatapnya wajah itu lamat-lamat, wajah yang masih sangat muda untuk menerima kekejaman dunia.

Lagi-lagi, ia memejamkan matanya erat. Disusul dengan kepalanya yang menunduk, Jin Yoo berucap lirih. "Ibu, Nenek... Maafkan aku."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
The First Love | Lee Taeyong (Hiatus)Where stories live. Discover now