7. Penjual Sate

123 3 0
                                    

Keseringan makan instan, malam ini Ayra ingin sesuatu yang beda. "makan malam sate mbak malam ini?" tanya Adit.

"Ya, bosan makan mie instan mulu." jawab Ayra.

Sudah tiga hari Mbok Tum bepergian. Katanya saudaranya sedang sakit, tidak ada yang mengurus, jadi Mbok Tum yang harus turun tangan mengurusnya. Letaknya di desa seberang. Karena urusan makanan selalu di lakukan Mbok Tum, mau tidak mau, sekarang makanan harus di urus oleh mereka berdua.

Sibuknya mengurus toko membuat Ayra tidak bisa memasak banyak. Paling cuma bisa memasak nasi, menggoreng tempe dan memasak mie instan. Beneran bahan masakan itupun keduanya peroleh dari toko, mengingat belanja di pasar membuatnya risih bertemu dengan penduduk desa yang begitu tertutup.

"Kapan sih semua ini berakhir? gue udah capek banget." keluh Ayra

"Sabar mbak, sebulan lagi." ujar Adit menenangkan dirinya.

"Gue sih sebenarnya gak apa orang-orang desa pada cuek, ya terserah, tapi plis kenapa sinyal disini jelek banget. Gue tuh butuh hiburan, mau ngobrol sama nyokap, benar-benar sial."

"Bukannya sinyalnya bisa yaa mbak?"

"Mana? aku coba enggak bisa? padahal dulu kalau pagi bisa."

"Tapi tiap hari aku main medsos bisa kok mbak."

"Hah? masa?"

Adit kemudian memperlihatkan sinyal di ponselnya yang memang terisi penuh. "lah iya. kok aku enggak bisa sih?"

"Kartu mbak kali yang gak di dukung sinyal disini."

"Ah, iya benar juga. Kenapa aku gak kepikiran yaa?"

Adit hanya bisa tertawa melihat kelakuan Ayra.

Menjelang senja, keduanya menutup toko. Sampai di rumah bersih-bersih badan dan siap-siap menunggu penjual sate untuk makan malam mereka.

"Mampus kita mbak kalau tukang satenya gak jualan."

"Hush, jangan bilang begitu, nanti jadi doa, beneran gak datang mau kamu?"

Adit tertawa kecil. Biasanya di jam selepas maghrib, penjual sate itu sering lewat wisma. Ayra sering melihatnya menjual sampai jalan besar. Pernah sekali Ayra membeli karena begitu lapar dan malamnya harus lembur jadi memutuskan untuk membelinya, rasanya enak dan murah, untuk itu Ayra ingin membeli lagi.

"Duh, lama banget. Dah lapar." ujar Ayra sambil memegangi perutnya yang sudah bunyi-bunyi seperti sedang berperang.

"Jangan-jangan doa kamu beneran lagi?"

"Hah? kan aku gak doa, cuma mengira aja mbak."

"Ya sama aja."

"Ya udah terpaksa masak mie instan lagi."

Saat ingin melangkahkan kaki masuk menuju dapur, suara penjual satenya terdengar, harum dari wangi bakaran satenya mulai tercium di indera penciumannya. "mbak, udah datang nih." panggil Adit.

"Iya, aku liat kok."

"Udah sana pesan lima puluh tusuk. Aku mau ambil piring dulu." ujar Ayra sambil berjalan masuk ke dapur mengambil piring lalu menuju kamar mengambil uang.

"Pak satenya lima puluh tusuk ya." pesan adit

"Siap mas." sahut Kang Didit

Kang Didit si penjual sate pun langsung bergerak cepat mengambil lima puluh tusuk sate daging ayam di baskom tempat satenya yang sudah di usapi dengan bumbu rahasia. Pertama meletakkan dua puluh lima tusuk sate dulu untuk bakaran pertama. Aromanya benar-benar sedap. Sembari menunggu satenya matang, Adit mengajak Kang Didit berbincang sedikit.

THE RUNICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang