2. Wisma

156 3 0
                                    

Beruntung bu RT orang yang begitu ramah. Selesai mandi, beliau sudah selesai menyajikan makanan untuk Ayra di meja makan.

"Makan dulu mbak, baru habis itu istirahat."

Ayra menyambut dengan senyum malu-malu. "terima kasih bu." balas Ayra yang lalu duduk di kursi meja makan.

Ayra pikir, bu RT akan meninggalkannya sendirian di meja makan, taunya Bu Dewi, si bu RT ikut duduk di depannya sambil menemaninya bercerita.

"Bu RT asyik juga." batin Ayra

Ayra benar-benar nyaman, dia makan dengan lahap seperti sedang di temani ibunya makan kalau lagi di rumah.

Ah, iya, hampir saja Ayra lupa, dia belum memberi kabar pada kedua orang tuanya.

Namun, karena sinyal yang tidak mendukung, Ayra hanya mengirim pesan pada ibunya.

📨 "Bu, bilang ayah aku sudah sampai. Aku baik-baik aja. Nanti aku kabarin lagi kalau sinyalnya sudah bagus yaa." tulis Ayra di kotak pesannya dengan nomor penerima ibuk.

Sudah hampir masuk subuh, Ayra segera menarik selimutnya dan bergegas tidur.

Belum lama menutup mata, suara kokok ayam sudah terdengar nyaring di telinga membuat Ayra harus bangun dengan terpaksa. Ayra segera membuka jendela, dan sinar matahari langsung menyeruak masuk dengan segarnya. Di luar jalan desa, para penduduk sudah terlihat sibuk dengan aktivitas masing-masing.

Suara pintu terbuka, membuat Ayra yang sedang memandang keluar jendela langsung berbalik sedikit kaget.

"Loh, sudah bangun ternyata." ujar Bu Dewi dengan senyum ramahnya.

"Iya nih bu."

"Tidur aja lagi, masih jam tujuh kok, bapak lagi keluar, nanti jam sembilan ibu bangunin lagi kalau bapak udah mau nganter mbak Ayra ke wisma. Atau mau sarapan dulu?" tawar Bu Dewi dengan keranjang cucian di tangannya.

Sebenarnya Ayra masih mengantuk, berhubung semalam tidurnya setengah tiga. Tapi malu lah kalau tidur lagi, apalagi di rumah orang. Mau tidak mau Ayra harus memaksakan kedua matanya untuk terus terbuka.

"Saya sarapan aja dulu bu, terus menunggu Pak RT."

"Ya sudah, mbak Ayra cuci muka dulu, habis itu keluar ke meja makan yaa."

"Iya bu."

Setelah sarapan, Ayra kembali masuk ke kamar. Taunya rasa kantuk tidak bisa dia tahan dan akhirnya jatuh tertidur kembali. setengah jam terlelap, suara sayup-sayup Pak RT mulai terdengar di telinganya, membuat Ayra dengan malas harus membuka kedua matanya lagi.

Suara pintu kamar terbuka, langkah kaki terdengar memasuki kamar, Ayra tahu itu Bu Dewi. Tepukan halus tangannya membuat Ayra terbangun. Uapan kantuknya tidak bisa ia sembunyikan.

"Bapak sudah datang, mbak Ayra siap-siap yaa, saya tunggu di luar."

Masih setengah sadar Ayra menyahut sopan. Ayra berdiri dengan linglung, masuk ke kamar mandi dan membasuh wajahnya. Menyiapkan dan merapikan koper dan tempat tidur yang sudah ia tempati sebelum akhirnya keluar menemui Pak RT yang sedang asyik menyeruput kopi hitamnya dengan sepiring pisang goreng yang baru Bu Dewi angkat dari wajan.

"Ngemil dulu sini neng." panggil pak RT

Ayra menghampiri dengan malu-malu.

"Bu, buatin teh hangat buat neng Ayra."

"Eh, gak usah repot-repot Pak, tadi udah sarapan kok, jadi gak enak nih."

"Gak apa-apa toh, masa makan pisang goreng gak ada minumannya." ujar Pak RT di iringi tawa kecil yang ikut Ayra sambut dengan senyum kecil juga.

Bu Dewi akhirnya tiba dengan tangannya yang memegang nampan dengan dua gelas teh hangat. Langsung ia sajikan di depan Ayra dan satu lagi untuknya.

"Makasih ya bu atas tumpangannya." ucap Ayra pada saat berpamitan.

"Duh, apaan sih mbak Ayra, gak apa-apa. Lagian besok-besok juga kita ketemu lagi."

"Ya udah saya pamit."

"Ya, hati-hati."

Suasana Desa Muji terbilang tenang, tidak ada kebisingan kendaraan seperti di Kota. Hanya ada sepeda dan becak yang di kayuh oleh tenaga manusia. Tidak ada polusi udara dari kendaraan beroda empat, karena mayoritas penduduk sini lebih senang berjalan kaki menuju tujuannya.

"Disini gak ada mobil atau motor ya Pak?" Ayra bertanya karena begitu penasaran karena sedari tadi jarang melihatnya.

"Ada kok neng, tapi jarang. Paling sesekali aja klo ada beberapa orang yang mau ke kota buat belanja."

"Ah, begitu."

"Tapi kayaknya makin kurang lagi, kan sudah ada toko mbak Ayra."

Ayra menyambut dengan senyuman ucapan Pak RT.

"Memangnya disini jarang toko-toko yang jualan seperti saya ya Pak?"

"Jarang neng, paling warung dekat rumah saya. Itu saja barang-barangnya tidak begitu lengkap, jadi penduduk sini sangat bersyukur karena bos neng Ayra mau mendirikan toko kebutuhan sehari-hari di desa ini."

Selama perjalanan menuju wisma, Ayra memang hanya melihat rerumputan, pepohonan, ilalang dan pohon bambu. Jarang sekali terlihat toko atau warung jualan. Jarak rumah penduduk pun saling berjauhan tidak terbayang bagaimana sunyinya di malam hari. Di tambah lampu jalan yang sudah usang pun. Tidak banyak anak-anak kecil yang terlihat, kebanyakan sudah bapak-bapak, ibu-ibu dan tetua, anak muda pun hanya dua tiga orang yang terlihat.

"Apa karena sedang jam sekolah jadi tidak terlihat banyak anak-anak?" batin Ayra

Perjalanan mereka pun terhenti saat keduanya sudah sampai di depan sebuah wisma. Sebuah wisma dengan bangunan yang tampilannya sedikit kuno.

Pak RT terus berjalan menuntun Ayra hingga ke depan kamarnya. Di dalam terdapat tiga kamar, dua sejajar, satunya tersendiri dengan sebelahnya kamar mandi umum.

"Ini kamar neng Ayra."

Kamar Ayra di bagian depan. Sebelahnya masih kosong, di depannya sudah di tempati oleh penjaga wisma, namanya Mbok Tum.

Ayra melihat-lihat dalam kamar, ruangannya bersih, meski perabotannya masih kuno dan seperti ketinggalan jaman. Tapi cukup nyaman untuk di tinggali selama tiga bulan ke depan.

Selesai melihat-lihat sekeliling wisma di temani pak RT, pak RT pun ijin pamit karena pekerjaannya masih banyak yang menanti. Ayra pun mengantarnya hingga depan rumah. Pak RT juga tidak lupa menyampaikan kalau butuh apa-apa bisa bilang ke Mbok Tum. Kebetulan Mbok Tum sedang ke pasar, jadi nanti baru bisa saling ketemu.

"Ya sudah sama pamit yaa neng Ayra. Nanti kalau sempet bapak main-main kesini atau boleh neng Ayra yang main ke rumah."

"Iya, Pak. Makasih yaa."

Selepas mengantar Pak RT, Ayra kembali masuk ke kamar. Dia mulai merapikan pakaian-pakaiannya ke dalam lemari, meletakkan alat-alat riasnya di meja rias, membersihkan debu-debu halus pinggiran jendela dan lantai kamar.

Selesai beberes, Ayra berbaring sejenak, lalu ia teringat sesuatu kalau dari tadi dia belum mengabari orang tuanya lagi.

Kesalnya, sinyal masih saja jelek. Ayra hanya bisa mengirim pesan. Berharap ibunya segera membalas.

To be continued.

THE RUNICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang