"Kau ini siapa sebenarnya? Keluarga Dae Lonan?!" Satu pria kurus menyentak Alaia.

"Bukan urusanmu aku ini siapa," cetus Alaia.

"Kalau gitu, jangan cari gara-gara!" omel mereka.

"Kalian yang lebih dulu cari gara-gara. Aku minta keadilan atas kematian Dae Lonan. Aku enggak mau kalian bebas." Alaia berkata.

Lantas Alaia ditertawakan. Mereka menganggap omongan Alaia konyol bagai lelucon kuno. Ucapan Alaia dianggap angin lalu yang tak akan mungkin terjadi. Mereka mempunyai kekuasaan sehingga aman dari incaran polisi. Membunuh orang bukanlah perkara sulit bagi mereka.

"Not that easy, Baby girl." Mereka mengulang ucapan Alaia, hanya mengganti sebutan di akhir.

Di dermaga, Langit memincingkan mata mendengar ucapan itu. "O asu," umpatnya.

Alaia tak membiarkan kepalanya tunduk seolah ada mahkota di sana. Ia maju selangkah lagi. Kata Alaia, "Kalian yakin setelah ini masih bisa berkeliaran bebas?"

"Sayang, kami enggak takut apa pun! Siapa yang berani lawan kami?" kekeh mereka.

"Bahkan para penyidik yang menangani kasus Dae Lonan tutup mulut setelah tau siapa otak dari pembunuhan itu. Tiga orang yang menembak dia memang berhasil ditangkap dan diberi hukuman mati. Tapi, lihat, kan, kami berempat masih ada di sini. Bebas hirup udara segar sambil bercanda tentang Dae Lonan! Hahahaha!"

"Kami berencana merusak makamnya, atau sekalian hancurkan jasadnya? Itu akan menjadi kisah menyenangkan sepanjang masa." Pria jahat itu bertutur antusias.

"Sebenarnya saya belum puas dia hanya ditembak," cetus pria bertumbuh tambun.

"Jangan biarkan Dae tenang." Mereka terus-menerus berkata tidak baik.

Alaia bungkam sebentar. Ia melirik langit pekat di atas sana dan menjadi sedih karena Dae harus meninggal akibat rencana busuk orang-orang ini. Alaia tak akan membiarkan mereka bersenang-senang.

"Kalian pikir itu hebat, ya?" Alaia memiringkan kepala.

Mereka kembali tertawa. "Sangat hebat. Hehehehe."

"Apa rasanya nembak orang semudah itu?" tanya Alaia.

"Menakjubkan!" Mereka masih terus meremehkan kematian Dae.

"Terus, apa rasanya ditembak sampai mati?" Alaia melangkah maju dua kali.

Tawa mereka perlahan sirna, berganti senyuman nakal dan menyeramkan bak psikopat yang akan menyiksa korban. Mereka menatap Alaia seperti itu. Bukannya takut, Alaia malah tambah geram, tapi masih menahan diri.

"Kau mau merasakan?" Mereka menawarkan.

Senyum Alaia muncul lagi sembari ia menjawab, "Seharusnya aku yang bilang begitu."

Dengan gerakan cepat, Alaia mengeluarkan kekuatannya yang membanting mereka ke pasir. Empat pistol itu Alaia rebut dan ia remuk menggunakan tangan kosong. Hanya dua pistol yang tersisa di genggamannya dan sengaja ia biarkan tetap utuh.

"Ini Revolver dan Raging Bull, ya? Dua pistol yang dipakai buat bunuh Dae." Alaia bertutur sambil mengangkat pistol sejajar dengan perutnya.

"Kalian mau coba?" Alaia mendekat dan mereka segera beranjak.

Satu pria menghubungi rekannya untuk datang, tapi hal itu ketahuan Alaia dan satu tembakan langsung meluncur ke udara. Kaget, pria itu sontak melempar ponselnya. Mereka tidak bisa lari karena Alaia menyodorkan dua pistol sekaligus ke arah mereka.

"Mau peluru atau nyebur ke laut?" Alaia memberi pilihan.

Mereka memikirkan cara untuk merebut pistol tersebut agar bisa menyelamatkan diri. Akan tetapi, Alaia tak membiarkan itu terjadi. Ia memaksa mereka untuk memilih satu dari dua opsi tadi.

ALAÏA 2 Where stories live. Discover now