8. Rendahan 👍

34 17 117
                                    

"Ada satu pertanyaan saya untuk bapak," Vio memandang wajah Papa datar.

"Iya?" sahut Papa.

"Sudah beberapa hari terakhir, bukankah Leo sama sekali tak pulang ke rumah? Kenapa Bapak terlihat sangat biasa saja?"

Papa tersenyum, "Ah itu. Leo memang sering menginap di rumah temannya. Bukankah begitu Leo?"

Aku mengangguk. Memang nyatanya aku seperti itu. Aku lebih sering menginap di rumah temanku. Biasanya sih aku nginap di rumah Jero. Mereka takkan mungkin menolakku. Mau ngapain lagi kalau ngak Mabar.. hehe.

Vio menatapku datar.

Lah emang kenapa?

Ck. Sulit sekali membaca apa yang di pikirkannya, jadi kesel sendiri aku.

Kemudian dia kembali melihat ke arah Papa dan mengangguk, "Oh.. Bapak sangat percaya pada anak bapak ini ya?"

Papa tersenyum ramah, "Tentunya." Papa berjalan ke arahku dan merangkul bahuku, "Dia satu-satunya inti dari kebahagiaan kami."

Aku senang mendengarkan Papa membanggakanku di depan orang.

"Em," dia menganguk, "Tapi ingat pak. Suatu yang paling ditakuti datang dari orang yang paling di percayai," ucapnya singkat namun mampu menusuk hati.

Aku terhenyak. Terasa tertampar dengan kalimatnya. Sialan..

Papa terkekeh, "Vio Vio... Pikiran kamu sangat saya suka. Di luar perkiraan saya."

Dia hanya tersenyum tipis sangat datar sambil menatapku tajam.

Papa tampak menulis sesuatu dan mengambil suatu kunci. "Ini cek gaji kamu bulan ini dan ini kunci apartemen yang saya janjikan tadi. Semua telah lengkap di sana," ucap Papa sambil menyerahkan barang-barang itu.

Papa melihat ke arahku, "Dan Leo, nanti antar Vio ke apartemen yang baru Papa beli ya. Di pondok indah."

"Lah, kok Leo?" Aku menunjuk diriku tak terima.

"Leo," Papa menatapku tajam.

Ck. Terpaksa aku harus mematuhinya.

"Iya iya. Ah elah, nyebelin banget."

"Vio. Hari ini Mama Leo akan masak masakan spesial. Kamu mau kan makan malam di sini?" Papa menawarkan hal yang sangat menjengkelkan. Untuk apa mengajak wanita menyebalkan ini makan bersama?

"Apa sih pa? Langsung aja lah dia pulang. Makan di rumahnya lah. Ngapain juga lama-lama di sini." Aku menoleh ke arahnya, "Bilang juga sama orang tua mu kalau kau udah berhasil nipuin Keluargaku,"  Cetusku.

"Leo!" Sentak Papa padaku.

Aku melihat Papa kesal, "Lah kan emang iya." Aku menoleh ke arahnya, "Dasar gembel."

"Leo!" Sentak Papa lagi membuat aku membuang wajahku kesal dan kembali melihat ke arah Vio.

Vio melihat ke arahku datar. Namun tampak berbeda, seperti ada kekosongan di sana. Sakit hati huh? Aku tersenyum miring. Aku sengaja melakukannya agar nyalinya ciut dan tidak jadi menerima tawaran Papa.

Tak tau apa yang ada di pikirannya. Dia kembali melihat Papa, "Terimakasih Pak. Besok saya akan laksanakan tugas saya." Ucap Vie santai. Dia bangkit berdiri yang membuat Papa pun ikut bangkit berdiri, dia menyalam Papa, "Saya izin balik Pak. Dan mengenai tawaran makan malamnya lain kali saja pak, saya harus segera berbenah di tempat baru yang bapak berikan."

Aku mendesis, cih! Kenapa ni orang tetap biasa aja sih?! Kenapa ngak marah atau tersinggung kelihatannya?!

Kayanya aku harus segera cari cara yang tepat untuk menyingkirkan dia.

"Iya nak. Mengenai kata kata Leo tadi.." jawab Papa tak enak hati.

Dia tersenyum kecil, "Tak masalah Pak. Saya sudah terbiasa dengan perilaku kekanak-kanakan anak bapak." Ucapnya santai.

What?! Kenapa jadi dia yang merendahkanku?!

Dia menatapku datar, "Cepatlah. Banyak yang harus kukerjakan." Dia bahkan berjalan mendahuluiku setelah mengangguk sopan pada Papa.

Aku mendesis dan bangkit berdiri, aku melihat ke arah Papa meminta izin pergi, "Pa, Leo pergi dulu."

Papa mengangguk, "Hati-hati."

***

Aku sesekali menatapnya tajam sembari menyetir mobil, "Ngapain sih kau terima tugasnya?!"

Dia hanya diam acuh.

"Ish! Kalau di tanya di jawab! Nyebelin banget sih!"

Tiba-tiba dia sontak menatapku tajam, membuat aku kaget. "Diem."

Satu kata itu mampu membuatku terdiam dan kembali fokus melihat ke arah Jalan di depan. Seriusan, dia serem njir.

Beberapa menit terjadi keheningan yang mencekam ini aku meliriknya sekilas,

Deg!

Ternyata dia sedari tadi menatapku datar.

Kenapa jadi horor gini anjim..

"Ng-ngapain lihat-lihat," ucapku dengan keberanian sebesar-besarnya. Kurang lebih sebesar biji kacang hijaulah.

Dia menggedikkan bahunya acuh dan membuang pandangannya ke arah jalanan, "Wajahmu burik," ucapnya santai.

Rasanya seperti tercekat di tenggorokanku,
Brengsek nih cewe! Bisa bisanya ngatain!

Aku menepikan mobilku cepat dan berbalik menghadapnya, "Apa kau bilang?!"

Dia menatapku datar, "Wajahmu burik."

Mulutku ternganga, "Wah... Ngajak gelut ni orang."

Dia menaikkan salah satu alisnya, "Gelut samaku? Emang mampu?"

Damn! Skak mat!

Aku menghembuskan nafas berat dari hidungku seperti seekor banteng yang marah.

"Noh kan, makin burik," hinanya lagi.

WHAT?!

"Kau tuh ya!.."

"Apa? Mau ku kutuk sekarang?" Dia tersenyum miring.

Cih! Tampaknya dia balas dendam padaku karena kata-kataku yang merendahkannya tadi di depan Papa.

Aku tau dia takkan bisa terima di hina seperti itu.

Dia tersenyum miring dan duduk bersender menatapku datar, "Belikan aku hp. Jenis terbaru."

Ingin rasanya memakinya, tapi aku tak dapat berbuat banyak sekarang.

Aku kembali melajukan mobilku dan mengendarainya menuju Mall untuk membelikan permintaannya tadi. Cih! Sungguh menyebalkan menjadi bawahan seperti ini!

Overthinking Of Babi NgepetWhere stories live. Discover now