H-7 Festival: Bertemu Kembali

Start from the beginning
                                    

"Terus?"

"Terus," Rain terbatuk sok, "dia ngebocorin beberapa hal ke gue."

"Apa tuh? Hal penting, kah?"

"Hal penting." Rain menarik sudut bibir. "Salah satunya soal, kalian harus datang berpasangan nanti."

Sontak para gadis berteriak nyaring. Para lelaki menutup telinga mereka. Walau sudah terbiasa dengan over reacted gadis-gadis itu, tetap saja tidak ada manusia yang tahan mendengar suara keras yang mirip terompet sangkakala itu memekak!

Tidak butuh waktu lama, kelas ramai dengan berbagai macam komentar atas informasi yang Rain sampaikan tadi.

"Hei, serius lo? Ga bohong 'kan?"

"Enggak la⸻"

"Aduh, kalau harus berpasangan, gue ama siapa, ya?"

"Iya, mana gue jomblo, siapa yang mau sama gue?"

"Rain." Seorang pemuda mengangkat tangan, Rain menaikan dagu meresponnya. "Kalau cowok sama cowok, cewek sama cewek, boleh ga?"

"Lo gay?" Rain berekspresi akan muntah, beberapa gadis berteriak jijik menatap pemuda yang menanyakan hal itu, namun beberapa lainnya nampak sangat berharap jawabannya 'boleh'. "Ga boleh, lah! Pasangan itu ya ama cowok dan cewek, udah kodratnya Tuhan menciptakan roti sobek dan⸻"

"Stop! Gue yakin selanjutnya lebih menjijikan! Semuanya tolong skip Rain! Jangan ada yang mau jadi pasangannya!"

Sorakan itu menimbulkan rasa panik pada Rain. Pemuda itu sebenarnya cukup tampan, tapi sayangnya, mulutnya yang tak pernah berhenti bicara itu terkadang mengganggu dan menjijikan. Rain nampak pasrah, ketika para gadis memboikot namanya dalam daftar calon pasangan ke festival.

Gagal ia menarik perhatian dan cinta.

"Eh, Eternal Evans, kamu nanti sama siapa ke festival?"

"Panggil Evans aja, biar mudah." Gadis-gadis bermarga buayawati itu meleleh mendengar suara dan melihat senyum ganteng Evans. "Saya belum tau soal festival, mungkin masih mikir-mikir dulu, ya? Apalagi, saya anak baru, kayaknya ga ada yang mau jadi pasangan saya nanti."

"Ah, gue mau kok, Vans! Gue bakal jadi pasangan lo dan jelasin apa yang lo mau tau!"

"Iya, gue juga! Apapun, asal calon suami gue seneng!"

"Halunya gausah berlebihan, plis." Fika menggelengkan kepala. Melihat Rain yang tertunduk lesu sambil duduk bersandar pada sisi meja membuatnya tak tega. Tak tega untuk menendang wajah sok tertekan itu sesekali. "Mending, kalian pada nyarinya nanti aja, karena bel yang rusak itu seharusnya udah bunyi. Pasti bentar lagi Mr. Antonio datang dan ngeprek kalian semua."

"Apa itu ngeprek, Safika Aryani?"

Suara berat itu mengagetkan semua anak. Kebetulan yang sangat mengerikan, Mr. Antonio berdiri dengan kumis hitam lebatnya itu di depan kelas. Sontak semuanya berlari menuju bangku masing-masing. Nyaris ada yang terjatuh kalau bukan Roni menggenggamnya.

Rain melirik sinis pada pemandangan di belakang. Roni tersenyum, sementara wajah gadis yang ia tolong memerah. Cih, rekannya itu masih sempat-sempatnya berekting. Jangan sampai dia yang seorang majikan kalah pada budaknya yang satu itu.

"Rain Adnaesta." Rain menoleh. "Mau sampai kapan kamu duduk di situ? Mau saya keprekin? Cepet pergi ke bangku kamu!"

Rain bangkit. Wajah malasnya menguap. "Baik, Mister."

Mr. Antonio geleng-geleng. Setelah menyadari situasi kelas sudah rapih dan tenang, guru tambun itu meletakan buku-buku yang ia pegang di atas meja miliknya. Kemudian, melangkah kembali pada posisi guru seharusnya berada. Menjadi pusat perhatian, Mr. Antonio berdehem dan memulai pembicaraan.

"Selamat pagi semua, saya hari ini akan mengajar matematika, pelajaran kesukaan kalian." Semua murid berpaling dengan wajah berubah hijau, sementara Mr. Antonio tersenyum tak peduli. "Dan, hari ini juga, ada murid baru di kelas 11-B. Tapi, mungkin dia belum datang."

"Mister, dia udah datang!" Seorang gadis berteriak, gadis lain mengiyakan kompak, para lelaki melirik sinis. "Tuh, di belakang Anjani!"

Anjani memberikan tanda peace, ketika Mr. Antonio melotot ke arahnya, lalu ke belakang gadis itu. Seorang pemuda dengan wajah tulen menatap balik sang guru. Mr. Antonio memberi isyarat agar pemuda itu maju ke depan kelas.

Evans yang sadar dirinya dipanggil akhirnya bangkit dan menghampiri posisi Mr. Antonio. Ketika sudah dekat, Mr. Antonio merangkul pemuda itu. Tinggi mereka yang kontras, membuat Evans harus sedikit menunduk agar Mr. Antonio mampu merangkulnya.

"Namamu Eternal Evans?"

"Iya, Mister."

"Silakan perkenalkan dirimu. Jangan terlalu lama, singkat saja."

Evans mengangguk, Mr. Antonio beranjak dan duduk dengan tenang di bangkunya, menaruh perhatian pada Evans yang menarik napas tenang.

"Halo, ini perkenalan kedua kita. Nama saya Eternal Evans, panggil saja Evans. Menjadi bagian dari 11-B mungkin akan terasa menyenangkan, jadi mohon kerjasamanya."

Lolos, untuk kedua kalinya, ia membuat semua orang meleleh, kecuali tentu saja, para lelaki yang auranya menguar makin gelap.

Sudahlah, aura Evans yang memang ramah dan good looking itu tak bisa dikalahkan.

"Oke, kalian sudah kenal siapa dia, 'kan, mari kita tak usah berlama-lama dan memulai pelajaran. Evans, silakan kembali pada bangkumu."

Evans mengangguk, ia melangkah kembali menuju bangkunya berada.

Tepat saat itu..

Klik.

Pintu dibuka. Semua pandangan mengarah pada seorang sosok yang muncul duluan. Azarea berdiri di ambang pintu. Wajahnya yang putih itu pucat. Di sebelahnya ada Nadya dan Nala. Nadya yang sedang mengorek upil kaget dan nyengir. Nala geleng-geleng, mengurut pangkal hidungnya dengan sedikit menunduk, berpura-pura sedang bersin padahal malu berat. Kelas berubah senyap.

"Kenapa kalian terlambat?"

"Maaf tidak, Mr. Antonio." Azarea menjawab, suaranya merangsang para lelaki yang mendengar. Terdengar mendam dan lemah, seolah meminta untuk dilindungi dan dihangatkan saja. Bruh, dasar halu! "Mr. Antonio bisa liat tas kami ada di bangku masing-masing. Saya tadi dari UKS dan mereka menemani saya."

Mr. Antonio mengecek kejujuran putri gubernur ini. Pria itu menurunkan alisnya, lalu mengangguk. "Baik, silakan pergi dan duduk di bangku masing-masing." Azarea mengangguk, ia melangkahkan kakinya. "Azarea."

Merasa terpanggil, gadis itu menoleh.

"Jika sakit, jangan dipaksakan, silakan ke UKS. Mengerti?"

Azarea mengangguk. Nadya mengekor dan duduk di bangkunya. Nala menutup pintu perlahan dan rapat.

Eh, ralat, nyaris rapat.

BRAK!

Pintu didorong kuat, Nala menghindar dengan mulut setengah terbuka, kaget. Nyaris dia terpentok dan terhimpit daun pintu itu. Para penghuni kelas menoleh jantungan. Mr. Antonio menghela napas.

Gebrakan pintu sekeras itu hanya bisa dilakukan satu orang saja.

"Gheena Alya Athalia, kenapa kamu terlambat, kali ini?"

Seorang gadis bertopi melangkah masuk. Hoddienya ia turunkan, menampakan semburat wajah merah dan terengah. Gadis itu menaikan pandangan, mengintip wajah Mr. Antonio dari balik pundak Nala yang berada di hadapannya.

"Wah, sori Mister, saya terlambat untuk kesekian kalinya." Alya mengedarkan padang pada tengah kelas, tersenyum manis. "Sori teman-teman, atas keriuhan pintu tadi."

Evans menunduk.

Itu gadis yang ia temui di gerbang tadi. Gadis mawar.


🚒.🚔

Be Continued

Sudut Pandang [On-Going]Where stories live. Discover now