Memori

35 6 4
                                    

"Lupakan. Masih ada yang menunggu di masa depan."


🚒.🚔


Tak pernah Evans lupakan, bagaimana keluarganya hancur dalam semalam.

Pemuda itu sangat mengingat bagaimana situasi kacau saat itu. Papa dan Mama bertengkar hebat di lantai bawah, sementara Evans ketakutan dan sedang menemani kakaknya, Grace, yang sedang demam tinggi di kamar. Pembantu dan para pelayannya sudah pulang dan Evans tau pasti, Papa dan Mama bertengkar tanpa peduli bagaimana keadaan Grace yang masih panas sejak 2 hari yang lalu.

Walau dia masih berusia 10 setengah tahun, pikirannya yang dewasa membuat dirinya selalu dipercaya menjadi pemimpin di kelasnya.

Maka, dia juga harus menjadi 'pemimpin' untuk meredakan situasi kacau ini.

Setelah memastikan napas Grace masih normal, Evans meletakan handuk hangat di kening gadis itu, mencium lembut kening kakaknya yang bersembunyi di balik handuk, kemudian dia segera beranjak dari tempat duduknya, mendekati pintu.

Pintu perlahan terbuka, menampakan cahaya terang di luar sana, sangat kontras dengan kondisi kamar Grace yang gelap-gulita. Matanya beradaptasi, telinganya mendapati 2 suara yang saling bersahutan dengan nada tinggi di bawah sana.

"Aku udah kecewa sama kamu!"

Suara Mama. Teriakan Mama, lebih tepatnya.

"Kecewa? Atas dasar apa kamu kecewa?? Apa kamu buta, anak-anak di atas dan ini sudah malam! Kamu ingin membuat kita jadi bahan gosip tetangga??"

Suara Papa. Terdengar sangat marah.

"Aku ga peduli!"

PRANK!

Evans berjengit kaget. Dia meremas dadanya. Sakit. Mendengar pertengkaran kedua orangtuanya dan bagaimana Mamanya menangis tak karuan di sela teriakan, membuat Evans otomatis merasakan kesedihan dan kepedihan yang dirasakan kedua orangtuanya.

Pemuda itu berjalan mendekati jalur tangga menuju bawah. Diam-diam dia mengintip, mendapati Papa sedang di ruang tamu dengan mata memerah, sedangkan Mama tak terlihat namun suaranya terdengar. Sepertinya, Mama sedang ada di ruang keluarga, tepat di bawah lantai Evans berpijak.

"Bisa ga, sekali aja kamu ga cemburu?? Aku itu sama dia cuman sebatas rekan kerja! Kemarin itu kami cuman pergi ke kafe untuk bahasa kerjaan!"

"Ga! Kamu bohong! BOHONG!" bentak Mama keras. "Aku baca semua sms kamu dan aku tau, kamu... " Suara Mama tercekat, disertai wajah Papa yang memerah padam. Evans tau, Papa sudah sangat marah terhadap Mama. "Kamu.. kamu udah berhubungan kan... sama wanita itu.."

PLAK!

Kejadian yang sangat cepat, Evans melihat Papa berlari, seperti hendak 'menerkam' Mama, lalu terdengar suara tamparan keras. Tak sampai di situ, suara pukulan keras terdengar kembali, kali ini lebih keras. Bukan rintihan Mama yang terdengar, melainkan rintihan Papa.

PRAAKK! PRAANK!

Mama melawan.

Evans takut-takut menuruni tangga. Kakinya bergetar hebat, jantungnya terpacu cepat. Berhenti tepat sebelum tangga terakhir, Evans mengintip apa yang terjadi pada kedua orangtuanya dari tangga.

Papa sedang terbaring di lantai.

Mama yang terdiam tanpa suara.

Tetesan darah menggenang.

Di sekitar badan Papa dan berlumuran di tangan Mama.

Mata Evans membulat.

Matanya menatap jelas sesuatu di atas lantai.

Pecahan pot kaca.

"Pa.. Ma.."

-Sudut Pandang-

"Hah... Hah..."

Evans terbangun dengan wajah berkeringat dan pucat. Menyentuh dadanya, dia meringis merasakan jantungnya lagi-lagi berpacu terlalu cepat. Ini sudah biasa. Mimpi buruk tentang memori lama itu selalu berhasil membuat Evans ketakutan di saat tidurnya.

Masih berada dalam pikiran yang berkelana, tiba-tiba pintu kamar terbuka.

Klik.

Lampu kamar dihidupkan. Pandangannya segera teralih pada seorang gadis remaja yang baru saja memasuki kamarnya tanpa permisi. Dalam diam, dia memperhatikan gadis itu membuka gorden jendela.

"Kenapa merhatiin?" Evans terdiam. Otaknya yang masih tak bisa bekerja sempurna, setelah bermimpi buruk tadi, tak bisa memahami pertanyaan sederhana yang diajukan kakak perempuannya, Grace.

Grace tau hal itu, dia menoleh, menatap adiknya. Mimik wajah lembut dan tegas, manis dan cantik, namun guratan lelah nampak jelas di sana. Siapapun tau bahwa Grace adalah sosok kakak penyayang adik dan akan melakukan apapun demi adiknya bahagia. 7 tahun mengurusi dirinya sendiri serta Evans memang tidaklah mudah.

Langkah gadis itu mengarah pada ranjang Evans. Ketika mendekat, dia melihat mimik wajah Evans yang tergugu, seperti akan menumpahkan kesedihan. Merasa tak tega, Grace akhirnya meraih tengkuk Evans, memeluknya, menenangkannya.

"Mimpi lagi?"

"Hm."

"Udah gue bilang, jangan pernah mikirin itu lagi."

. . .

. .

"Maaf."

"Lo tau, 'kan, kalau sampai kapanpun, cuman ada kita berdua." Grace melepaskan pelukannya, menatap sang adik yang masih saja tak berbicara lebih. Perlahan ia mengusap rambut ikal adiknya lembut, lalu tersenyum.

Evans menatap senyum itu nanar.

"Mama dan Papa udah pergi, Vans." Suara Grace kecil, nyaris berbisik. Mungkin karena dia sedang menahan sakit dalam dadanya, mengingat kembali memori yang sama dengan Evans. "Udah saatnya kita relain mereka."

Tak berkata apa-apa, Evans hanya menunduk. Grace kembali memeluk Evans, mengusap punggungnya. Evans tak membalas. Hanya menaruh pandangannya pada sosok di luar jendela.

Evans terdiam.

Dia sudah terbiasa melihat pemandangan itu.


🚒.🚔

Be Continued

Sudut Pandang [On-Going]Where stories live. Discover now