23.Sekuat racun peptisida

Mulai dari awal
                                    

"Kenapa lo anjing."

Tangan Major merambat ke leher, mencekik perlahan-lahan, Nesya sampai tahan nafas merasakan sensasi getaran takut yang sudah melewati batas.

Demi sumpah Major berkali lipat menyeramkan mode seperti ini ketimbang mode ibu tiri jahanam.

"Ulang sekali lagi," dingin suaranya mengintrupsi detak jantung Nesya untuk berhenti seperkian detik.

"Maaf... maaf, jor...." terbata menjawab nyaris seperti bisikan. "Terserah mau hukum gue apa asal lepasin."

Dua puluh menit menimang barulah hukuman untuk Nesya terlaksana. Di depannya Major duduk tenang, memantau Nesya agar tidak lengah lagi.

Memaksakan diri menelan selada mentah satu baskom untuk ditelan, enek, pait, mual bercampur menjadi satu rasa.

"Lo udah muntah tiga kali, sekali lagi muntah gue kunciin di kamar, telen!" perintahnya bersedekap dada.

Mata Nesya memanas, terus membayangkan apa yang kini ia makan adalah sajian paling lezat, pengalihan agar tidak melakukan kesalahan seperti yang major larang tadi.

Sang penjaga malam telah menunjukan pari purnanya, bintang gemintang menghiasi langit. Kamar Nesya hanya berisi temaram penerangan lampu tidur, terduduk di pojok kamar sambil memeluk kakinya erat-erat, menenggelemakan wajah ke pelukan kaki.

Dalam keadaan tubuh terbalut switer milik Mama Jaendra, Nesya terisak kecil, menangisi Raga-nya, teman-temannya, sekolahnya dan menangisi diri sendiri yang sepertinya tidak pantas bahagia.

Tapi setidaknya switer ini mampu menghangatkan tubuh Nesya. Aroma switernya juga wangi parfum Jaendra, membuatnya merasa di pojok kamar ini, di kehampaan jiwa kosong...

....Jaendra menemani.

********

Keesokan hari Aurora sudah bergaya, membangunkan Raga yang malas-malasan menutupi telinga menggunkan bantal guling di ranjangnya.

"Ra masih pagiiiii," decak Raga menguap.

"Lo mau kuda-kudaaan gak SIHHH?!"

Raga terbangun dari posisi tiduran. "Astagfirullah, Ra. Salah begaul lo?"

"Hah?" Arurora menggaruk rambut hasil mengepang dua. "EH ANJING---MAKSUD LO? GUE ADUIN BUNDA, YA."

"LAHHH?" Raga mengejar Auora yang sudah mengotak-ngatik posel mencari nomer bunda. "RAA GUE DIEM YA?"

"PIKIRAN LO TUH!"

Dua tangan Raga angkat tanda menyerah. "Iya, ampun. Mandi gue mandi," katanya mengambil handuk.

Pagi ini hari pertama masa skorsing Raga dihitung. Auora bilang dia dapat uang dari langit, berbaik hati mengajak Raga belanja baju di distro langganan, muter-muter mal plaza hingga barang bawaan setumpuk, Raga jelas diberatkan untuk kurir membawa barang.

"Ujung-ujungnya tetep aja lo nyopet hodie gue, Ra. Sia-sia, numpukin baju doang di lemari," cerocos Raga tahu kebiasaan sepupunya.

"Bukan nyopet ya, pinjem," tegas Auora.

"Kalo minjem dibalikin."

"Lah gue balikin, dih?" misuh Auora tak terima.

"Kalo inget," lanjut Raga, Auora menyengir minta maaf.

Melewati toko buku Raga memandang nanar, dulu dua anak SMA yang baru mengenal beberapa hari berjalan bersebelahan kesana.

*****

Testudines:AmongragaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang