22.Jalan main setiap karakter

Start from the beginning
                                    

"Kalo mau nambah yang lain jangan sungkan," ucapnya yang kini sudah duduk berhadapan. "Jaendra, lo lupa nama gue? napa bengong terus?"

Nesya mendengkus, baru sadar ini kali kedua ia ditimpa musibah dan memilih lari kompleksnya di Jaendra. "Iya ka ae, gue denger."

"Ae?"

"Ya, nama tengah lo lah ka. J-AE-ndra?"

Si pipi bolong tertawa kecil, harusnya lesung pipi sih, tapi entah, pipi bolong terdengar pas menurut Nesya.

"Oke, panggil gue itu."

Dia nampak gembira diberikan nama panggilan baru. Wajahnya makin tampak bercahaya saja bagai bulan purnama.

Lagi, diam menyelimuti, Jaendra sibuk pada laptop sedangkan Nesya memperhatikan jalan lewat pembatas kaca, beberapa ban mobil menghantam keras kubungan air sisa hujan. Wangi sajian sefood terus menyeruak ke indera penciuman. Omong-omong switer biru yang Nesya kenakan nyaman, hangat juga wangi minyak telon.

"Lo kuliah ngambil jurusan apa, ka?" suasana hati Nesya sedikit membaik jadi ia memilih membuka obrolan.

"Kedokteran, lo kelas tiga kan?" pernyataan Jaendra mendapat anggukan. "Mau kuliah juga?"

"Gak mau, nanti banyak kerutan keningnya kaya lo," balas Nesya mengedikan bahu.

Merekah senyum mahasiswa kedokteran itu. Kerutan kening pertanda seseorang sering berpikir. "Nanti kalo udah jadi dokter beneran kerutannya gak bakalan sebanyak ini lagi."

"Gue mau jadi yang punya gedung rumah sakitnya aja," ucap Nesya. Jaendra tertawa sambil tepuk tangan dan memperlihatkan jari jempolnya.

"Siap, nyonya direktur."

Tawa Jaendra bukan maksud sindiran merendahkan, dia hanya tertawa karna lucu saja pada gaya nada bicara Nesya yang---ternyata bawaannya galak, namun wajahnya menggemaskan. Terlebih pipi bulatnya itu.

"Gue engga kepikiran kuliah bukan karna dalil 'banyak kok orang gak sekolah tinggi jadi sukses', tapi karna---lo suka kue?" Nesya membanting stir topik, lupa, jangan terlalu mudah cerita pada orang meski dia berlaku baik, Monica dan seluruh anak warbes sudah membuktikan busuknya.

"Suka, cupcake. Udah ini kita beli, mau?"

"Enggak, gue kerja paruh waktu di toko kue," jelas Nesya, mulut Jaendra ber-oh paham.

"Apa yang lo suka dari tokoh kue?" tanya Jaendra memanjangkan topik, dia sebenarnya mudah saja cari bahan obrolan, berhubung mood Nesya tidak baik jadi diam tadi.

"Nulis harapan costumer di kue yang mereka pesen."

Tubuh gagah Jaendra menegak. "Wuahh, ada harapan paling unik yang pernah lo tulis?"

"Ada! eummmm.... semoga enggak ketemu lagi."

"Eh?"

"Iya? yang pesen perawat rumah sakit jiwa. Katanya buat pasien yang paling lama disana, itu artinya perawat berharap pasiennya sembuh dan gak balik lagi."

"Ah, iyaaa. Kenapa menarik?"

"Diberatus-ratus kue kebanyakan, panjang umur terus harapannya. Sedangkan itu umurnya udah lama tapi enggak dikasih sembuh, lilinnya angka lima puluh enem."

Sudah lama hidup tapi jiawanya hilang. Jaendra mematung di tempat.

"Ka Ae!" panggil Nesya.

******

Alice mengatur nafas, merah padam wajahnya. Masa bodo dengan tetesan hujan yang masih berlanjut.

"Kamu Raga, gara kamu gara itu Nesya kena jadi bully anak-anak semua!" ucapnya menyeka air di muka.

Testudines:AmongragaWhere stories live. Discover now