21.Siapa, takdir? that bullshit.

Start from the beginning
                                    

"BUKAN SALAH BAPAK? TERUS SALAH SIAPA?" tanya Raga menaikan satu kaki ke meja, membungkuk sedikit tubuh.

"Raga seriusan nanya itu?" Castor ikut bingung beserta anak lain.

"Ingetin tor, pamali udah tua tu kepsek jangan diajak debat, langsung sikat aja," saran Aelius jenaka. Mereka sedari dulu sulit memamahi tindakan Raga.

"KAMU PIKIR APA, SAYA MELAKUKAN RITUAL TURUN HUJAN? MENYAMBAH RATU AWAN? TIDAK, ANARKIS SAJA DITEGAKAN TAPI OTAK SANGAT KUNO!"

Sekali lagi Raga menyeringai. "Terus...." rendah suaranya. "Siapa, pak? Seandaikan ada yang bisa disalahin atas turunnya hujan hari ini, siapa?"

"Jam mapel bologi mu dipakai untuk tidur?" ketus Bapak menyeringai lebih lebar. "Atau apa, ingin jawaban di luar ilmu pengetahuan? TAKDIR!" lantang kata di ujung, kembali mengulang. "TAKDIR YANG BISA DISALAHKAN!" jarinya bengis menunjuk nyalang wajah Raga. "Tidak ada yang bisa disalahkan selain takdir. Asal kamu tau takdir sudah tidak bisa diganggu gugat lagi keputusannya, mau baik ataupun buruk tetap harus dijalani, juga sekalipun berkali-kali kamu menyalahkan saya, tidak akan saya akui! saya bukan manusia culas yang mau disalahkan atas apa yang bukan salah saya. Coba pikir, siapa orang yang mau disalahkan atas kesalahan orang lain, JELAS?!"

Belum puas dia kembali mencudah sembarang kemudian berkata sengit. "Dasar pelajar yang tidak terpelajar!"

Keduanya diam untuk sepuluh detik, senyum kemenangan terpancar di ukiran bibirnya.

"Dan sekalipun sepanjang jalan selama hidupnya Nesya nyalahin dirinya sendiri atas hadirnya dari hasil perselingkuhan tetep bukan salah dia kan, pak?" dingin ucapannya telak menembak logika benak Pak Abinaka. "Siapa pak, siapa anak yang minta punya keluarga hancur? emang Nesya bisa minta mau lahir dari keluarga harmonis?" naik lagi nadanya. "MIKIR ENGGA? BAPAK AJA GAK MAU DISALAHIN ATAS TURUNNYA HUJAN, APALAGI NESYA, DIA JUGA KALO BISA MILIH GAK MAU DISALAHIN ATAS KEBURUKAN KELUARGANYA! GAK MAU DISALAHIN ATAS APA YANG BUKAN KEHENDAK DIA, APA, HAH, APA? SEMUA MIMPINYA BAHKAN IKUT HANCUR, PAK!"

Netra berkilat tajam Raga berkaca-kaca, terputar senyum Nesya tempo itu kala dia meminta sekali saja untuk egois, untuk bahagia yang telah hancur atas kejamnya jalan hidup.

"DAN TADI BAPAK BILANG, SEANDAIKAN ADA YANG BISA DISALAHIN ITU TAKDIR KAN? CIH, THAT BULSHIT!" nafasnya tercekat. Kepala terasa berat. "MATI-MATIAN PAK, MATI-MATIAN SAYA BUAT DIA SENENG, BUAT DIA NGERASA KITA SAMA, KITA LAYAK BAHAGIA. LAYAK DAPETIN APAPUN TANPA NYINGGUNG KE ARAH SANA, KE ARAH YANG DIA HARUS NYAKITIN DIRINYA SENDIRI BERKALI-KALI DEMI BISA NERIMA!"

"Sialan, anying jadi melow," kata Aelius menyeka sudut mata. Begitu pula anak lain, Raga benar, Nesya... tidak pernah merasa baik kecuali setelah lomba di umumkan, bahagianya hanya sebentar---pergi begitu saja.

"BAPAK SEBARIN RUMORNYA DEMI NGEJATOHIN DIA, APA UNTUNGNYA? SAYA YANG HAMPIR SEMUA GURU TAU BUSUKNYA LEBIH TAU CARA NGEJAGA PERASAAN WANITA, GAK MALU, PAK? GAK MALU SAMA ANAK OTAK WARKOP INI?" mengetuk-ngetuk pelisnya, tengil.

BRAK!

Kursi ditendang lagi, mengeram lebih keras. "Dasar kepala sekolah gak punya kepala!" umpat Raga sebagai penutup.

Tidak punya kepala artinya tidak punya otak, Raga... Castor tahu dalam kendali emosi pun logikanya jitu melesatkan lawan.

Sementara Pak Abina mengantupkan mulut, pintar sekali membuatnya tinggi kemudian dijatuhkan ke dasar jurang terdalam.

Sebetulnya Nesya belum bisa dikatakan sembuh tapi dia ngeyel minta izin masuk pada Bi Fitri, dua hari setelah kejadian buruk dengan Major, si tubuh bertato itu ditugaskan ke luar kota seminggu, leluasa Nesya bernafas lega.

Testudines:AmongragaWhere stories live. Discover now