Halaman 11

9 3 5
                                    

Mungkin ini karena kebiasaan merokoknya sebelum pacaran

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Mungkin ini karena kebiasaan merokoknya sebelum pacaran. Mungkin juga karena sempol dan jajanan pinggir jalan yang mengandung banyak radikal bebas. Mungkin ayah atau ibunya—satu bekerja di firma hukum dan satunya redaktur koran lokal—mengoleh-olehinya penyakit terkutuk ini dari tempat kerja. Namun, di balik sungkup oksigen rapat, dalam ruang high-care sebuah rumah sakit umum, Jona tidak menemukan jawaban pasti.

Jona pikir ia sudah cukup menderita karena dikurung situasi yang mewajibkannya stay at home. Ia kira tak ada yang lebih memuakkan dari cuci tangan 20 detik beberapa kali sehari. Betapa Tuhan tak tertebak; dalam keluarga yang ketat menjalankan prokes, COVID-19 masih saja menyusup. Terpangkaslah napasnya, meningkatlah suhu badannya, dan tiga penghuni rumahnya pun positif putus asa.

Awal masuk bangsal karantina, Jona masih sering marah dalam hati. Ayahnya merokok lebih berat, ibunya lebih sering bepergian, tetapi mengapa dia yang dipasangi selang hidung dan diinfus? Masa bodoh dengan ponsel yang dititipkan ibunya ke ruang isolasi agar ia bisa menelepon; bencinya kepada orang tuanya berakar sampai ke dasar hati.

Kemudian, gelombang kesepian menyapa. Ia kangen main voli saat istirahat siang, membicarakan hal-hal tidak penting dengan duo maut, dan ngojob. Semuanya mustahil dilakukan sejak pandemi, lebih-lebih saat ia sendiri menjadi korban. Jona ingat menyembunyikan wajah sembapnya dari seorang perawat yang kelak ia akrabi, pada suatu malam yang sunyi. Perawat itu menawarkan untuk mengisi daya ponselnya yang tak tersentuh, lalu menyerahkannya setelah penuh.

Yang pertama kali ia lakukan? Menelepon sang mama—dan kesepiannya terobati serta-merta.

Walaupun menelepon kelak menjadi kebiasaannya di bangsal isolasi, ia cuma mengecek aplikasi pesan sekali. Notifikasi grupnya beragam: dari kelas, jurnalistik, grup bersama duo maut, dan grup pertemanan lainnya. Cuma satu jendela obrolan yang dibukanya, tidak ia balas pula karena jemarinya tidak membuahkan balasan yang memuaskan.

[Lovely: Cepet sembuh, ya, Yang ....]

"Ma, Pa, tulung ojok ngabari arek-arek neh, terutama Keisha."

Orang tua Jona tak setuju dan berdebat panjang dengan putra sematang wayang mereka di telepon, lupa kalau itu melelahkan sang putra. Esok paginya, Jona mengenakan masker berkantung lantaran selang hidung tak lagi meredakan sesaknya. Tak lama berselang, ia dipindah ke ruang high care—dan Tante Mura kontan memutuskan komunikasi dengan semua teman putra mereka. Setiap permintaan Jona setelah itu diperlakukan seolah-olah permintaan terakhir: seluruhnya dipenuhi.

Dan, Jona berterima kasih untuk itu.

Keluhan yang naik-turun selama 3 hari di high-care mencapai puncak tanggal 8. Atmosfer Jona hanya selebar ranjang, habis hanya dalam beberapa tarikan napas. Sungkup yang lebih rapat dipasangkan ke wajahnya. Darahnya diambil entah untuk keberapa kali. Ia tergempur nyeri dari segala sisi dan bahkan orang-orang yang harusnya 'merawatnya' tak dapat berbuat apa-apa. Berpindahlah lagi ia ke ruang intensif, di mana ia dibius dan dipasangi selang napas langsung ke tenggorokannya.

Happy Hypoxia ✅Where stories live. Discover now