Halaman 7

19 2 0
                                    

10 Februari 2021

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

10 Februari 2021

Mimpi buruk yang sama terputar lagi di alam bawah sadar Keisha. Respons gadis mungil itu pun sama dengan hari-hari kemarin: bangun sebelum waktunya dengan perasaan yang buruk. Kali ini, ia memilih bergolek-golek saja di ranjang, memejam dan berusaha kembali tidur. Sudah dua hari ia bangun lebih awal dan berkutat di dapur; pasti runyam kalau ketahuan Ibu.

Ketika alarm berbunyi pada pukul enam, Keisha beranjak dari ranjang tanpa merasa segar. Ia sepertinya sempat tertidur beberapa menit tadi karena bermimpi bertemu Jona.

Padahal wis seneng, tapi ternyata cuma mimpi, batinnya saat membangunkan Yeyen, lalu beringsut ke kamar mandi. Bapak pernah bilang jika sebuah mimpi masuk akal, yang terjadi di dunia nyata adalah kebalikannya. Mengingat itu, Keisha jadi enggan berharap karena takut dikecewakan.

Benar saja. Dari tiga serangkai, Josh datang paling pagi hari ini dan langsung menyodorkan selembar amplop ke sekretaris kelas.

"Na, Panjul."

Keisha yang baru memberikan kembalian kepada seorang pembeli dessert box-nya kontan menoleh pada Josh. Pemuda berkulit putih itu tampak kaget sekilas, bahkan sampai menahan tangan Nana—sekretaris kelas—dari membuka map absensi dan mencatat izin Jona. Seakan-akan, Josh ingin merahasiakan hal ini dari Keisha, tetapi buat apa?

Tas dessert box telah kosong. Keisha melipatnya, menyimpannya, dan mendekati Josh yang tersenyum rikuh.

"Kenapa, Sha?"

Pertanyaan Josh konyol, tetapi Keisha tetap menyenyuminya balik. "Nggak. Itu surat izinnya siapa?"

"Uh, ini surat—surat dispen," jawab Josh lirih dan ragu-ragu. Keisha pasti percaya saja andai tidak mendengar nama panggilan Jona—'Panjul'—dari mulut Josh tadi. Josh memang kadang ikut lomba paduan suara dan harus izin tidak mengikuti pelajaran.

"Surat dispenmu?"

"Iya," tapi sesaat kemudian, senyum Josh hilang dan ia mendesah pasrah. Disodorkannya surat itu pada Nana sambil meralat ucapannya. "Bukan, ini suratnya Jona."

Nana membuka amplop dan mengeluarkan selembar surat berukuran A5. Kop dan stempelnya milik rumah sakit daerah, bertanda tangan seorang dokter. Judulnya diketik dalam huruf kapital, ditebalkan dan digarisbawahi: 'Surat Keterangan Sakit'. Tertulis 'Jonathan Suharyadi' dan '16 tahun' di kolom identitas, diizinkan tidak mengikuti kegiatan sekolah selama 1 hari karena diagnosis yang panjang. Keisha hanya mengenali dua kata terakhir dalam diagnosis itu yang ditulis dalam bahasa Indonesia.

[Gangguan panik.]

Rasanya sekujur tubuh Keisha mendingin. Pada zaman ini, media sosial gencar membahas tentang masalah kejiwaan, terutama terkait kecemasan dan depresi. Bahkan Keisha yang kolom explore-nya dipenuhi inspirasi bisnis makanan pun masih sesekali menemukan infografis atau video tentang itu. Hingga detik ini, bagi Keisha gangguan mental adalah sesuatu yang jauh. Tidak; Jona terlihat begitu baik kemarin, tidak sedikit pun gelisah, sampai-sampai Keisha merasa pemuda itu sangat tumpul.

Happy Hypoxia ✅Where stories live. Discover now