Jejak Pertama

24 8 6
                                    

Setelah mengalami gejolak batin yang luar biasa, akhirnya Hana sampai juga di tempat dia sekarang berada, bandara Incheon, Korea Selatan, sendirian. Ia mengingat bahwa bukan hanya dia satu-satunya penerima beasiswa PT. Xx itu, ada empat lainnya. Tiga di Australia dan seorang lagi di Jepang.

Penyelenggara beasiswa itu menyediakan fasilitas yang cukup lengkap untuk para penerimanya termasuk ponsel yang sudah dikonfigurasikan sedemikian rupa hingga ketika dinyalakan, bisa langsung terhubung dengan internet di negaranya masing-masing. Hana mengambil ponsel tersebut dari tasnya dan menyalakan ponsel tersebut. Entah untuk apa. Hanya ingin mencoba saja.

Hana duduk di ruang tunggu. Mentornya, Han Eul-ssaem sudah memberitahukannya jauh-jauh hari bahwa Hana akan dijemput oleh sepupunya untuk mengantarkan dia menuju rumah singgahnya. Rumah yang akan Hana tinggali selama bersekolah di sini.

Hana melihat ponsel barunya yang akan ia gunakan disini. Tiba-tiba ponsel itu berbunyi. Ada panggilan masuk ke ponsel barunya. Nomor tidak dikenal. Nomor Korea pertama yang menghubunginya. Hana merasa sangat terkejut dan heran karena ponsel ini kelihatannya baru, tapi mengapa bisa ada orang yang menghubunginya?

“Ha… Hallo?” Sapa Hana ragu ketika menerima panggilan itu.

“Ya, Hallo. Kenapa baru dijawab sih? Kamu dimana sekarang?” Tanya suara di ponsel itu dalam bahasa Korea yang terdengar seperti orang yang marah. Hana tidak mengerti sama sekali apa yang dia ucapkan.

“Hallo? Kau mendengarku tidak?” Tanyanya lagi, masih dalam bahasa Korea.

“Ha… Hallo?”

“Haaaa…” suara helaan nafas terdengar keras di dalam ponsel Hana. “Kamu gak ngerti bahasa Korea?” Tanya suara itu dalam bahasa Inggris.

“Yes. I don’t”.

“Baiklah, coba jelaskan perlahan padaku, kau ada dimana sekarang?”

“Dengan bahasa Inggris?”

“Iya, pelan-pelan”.

“Oke. Aku ada di ruang tunggu, sepertinya, dekat dengan toko souvenir. Ah, bukan, toko fashion? Ah, gimana bilangnya ya. Aku bingung”.

“Ya ampun! Cepat dong! Yang bener ngasih petunjuknya”.

“Valenciaja! Ada toko Valenciaja di depanku. Aku duduk di sebrangnya. Ada toko makanan yang tutup. Tokonya dalam bahasa Korea. Aku gak bisa baca itu apa”.

“Oke, oke, tunggu di sana! Jangan bergerak!”

“O..ke. Baiklah”.

Sambungan itu terputus secara tiba-tiba. Setelah itu, Hana hanya melihat-lihat sekitar. Orang-orang yang tinggi dan berkulit putih berlalu-lalang di sekitarnya. Mereka sangat cantik seperti boneka hidup. Semua orang tampak serupa di matanya. Kecantikan yang sedikit menakutkan karena mereka terlihat begitu sempurna secara fisik. Tinggi, langsing dan putih. Tiga kata itu yang paling bisa mendeskripsikan mereka dengan tepat.

Sambil menunggu, Hana mengeluarkan ponsel yang biasa ia gunakan di Indonesia dan menyambungkannya ke Wi-Fi bandara. Dan mendadak, banyak sekali pesan masuk ke WhatsApp-nya. Ponselnya tak henti-hentinya bergetar sampai membuat hang sebentar.

Tiba-tiba Hana mendapat panggilan video dari Sinta. Hana terlihat terburu-buru menjawab panggilan itu.

“WOY HANA!!! Akhirnya on juga ya! Udah aku coba panggil kamu dari tadi, tapi kamu ga aktif-aktif! Aku chat juga ceklis satu! Bener-bener ya tega banget mengabaikan sahabatmu yang lucu ini! Tahu deh, mau ngediemin tapi gak bisa!”

Hana tersenyum. “Ciiieee yang marah~”

“Ngeselin banget sih pake senyum segala!”

“Hahaha”.

Gurauan Musim GugurWhere stories live. Discover now