lembar ke-duapuluh enam : Raksa, ayo pulang?

8.1K 926 153
                                    

"A-yah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"A-yah... Sakit..."

Telapak dinginnya meraih tangan Lendra dengan pelan. "Kak... Sakit..."

"K-kak Lendra... Sakit..." Sang empu mulai terganggu dengan gerakan Raksa. Matanya mulai terbuka. Namun pemandangan di hadapannya benar-benar membuat Lendra membeku beberapa saat.

Kini, Bayu yang sama terganggunya mulai membuka mata. Langsung membelalak kala melihat Raksa yang tengah kesakitan di ranjang. Juga menangkap Lendra yang masih tertegun di tempat.

Dengan cepat Bayu mendekat kearah si anak, memegang tangan dingin Raksa untuk menenangkan Raksa, juga dirinya. "Hey, Mana..? Mana yang sakit? Ayo, bilang ayah..."

Tatap keduanya bertemu. Raksa menggeleng, rasanya sangat sakit. Dadanya sesak, kepalanya pun pusing.

Demi Tuhan, Raksa ingin menangis.

"Sa-kit ayah... Kepala... Dada... Semuanya sakit..." Bayu mengangguk paham. Memijat pelan dahi bungsunya perlahan.

Bayu takut. Takut Raksa akan meninggalkannya detik ini juga.

Sementara Bayu yang sibuk menenangkan Raksa, Nendra bangun dan langsung menekan tombol nurse call. Berterima kasih kepada otaknya yang langsung bisa memproses keadaan.

"Ayah..." Suara Raksa berubah lirih. Sangat lirih.

Raksa, apakah se-sakit itu rasanya?

"Iya, sabar ya. Tunggu dokter sama perawatnya dulu..."

"Ayah... Maaf... Raksa capek..."

....

Bagai devaju. Ketiganya kini duduk di kursi yang sama. Menunggu kabar baik dari seseorang yang sama.

Lendra melamun. Pikirannya masih memutar memori buruk yang baru saja terjadi. Rasanya sakit, namun ia tak bisa menangis. Tak ada air mata yang keluar.

"Ayah, tenang ya? Raksa baik-baik aja... Raksa kuat..." Nendra yang berbicara. Setelah sekian lamanya ia menenangkan si kepala keluarga.

"Raksa sakit Ndra. Dia sakit... Dia capek..." Nendra kembali mengusap lembut pundak sang ayah.

Pundak yang tadinya kokoh, kini berubah layu. Bayu terus-menerus menangis. Tubuhnya pun terlihat kurus. Ia hanya fokus mengurus Raksa, tapi tidak dengan dirinya sendiri.

Katanya, "Ayah mau ngurus bungsu ayah dulu. Dia jadi prioritas utama ayah sekarang."

Nendra menghela napas. Ia juga sama rapuhnya. Tapi sekali lagi, dirinya sulung di sini. Harus bisa menggantikan sang pemimpin. Walau pada kenyataan, Nendra masih manusia biasa, yang bisa terjatuh kapan saja.

"Ayah... Kenapa gak coba lepasin Raksa..?"

"Nendra, kamu—"

"Pertama, maaf, Nendra gak sopan, motong perkataan ayah."

Dear AyahWhere stories live. Discover now