lembar ke-lima ; tolong jemput Raksa, bunda

8.6K 1.2K 84
                                    

Lakshya tentu terkejut kala diberitahu Raksa akan diantar ke rumah sakit dengan mobil ambulans

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Lakshya tentu terkejut kala diberitahu Raksa akan diantar ke rumah sakit dengan mobil ambulans.

Tanpa menunggu lama Lakshya cepat-cepat mengeluarkan kunci motornya, lantas mengendarai kendaraan roda dua itu, mengikuti ambulans dari belakang dengan kecepatan sedang.
Bagaimanapun, dirinya tak boleh kalut jika sedang berkendara. Akan fatal akibatnya.

.....

Tubuh lemah Raksa terbaring di ranjang rumah sakit. Dengan baju kotor yang sudah dipenuhi bercak darah, belum diganti.

"Sa...." Langkah Lakshya mendekat kearah brankar. Dengan tubuh yang sedikit bergetar.

Matanya sedikit terbuka dengan tatapan sayu. Menandakan Raksa masih sadar namun kondisinya sangat lemah. "R-raksa... Lo di apain sama bang Lendra..?" tanya Lakshya menguap begitu saja. Tak mendapat balasan apapun dari si lawan bicara.

"Udah enakan..?" tanya Lakshya lagi. Kali ini mendapat jawaban, Raksa mengangguk lemah.
Setidaknya Raksa bisa bernapas lebih baik, dibantu dengan masker oksigen yang hampir menutupi setengah wajahnya.

Lakshya paham, bahkan kelewat paham.
Pasti kondisi Raksa saat ini pasti karena anak itu juga kena imbas Lendra yang tengah kacau tak karuan. Tapi Lakshya pikir tak akan separah ini.

"Istirahat, tidur," perintahnya. Raksa menggeleng. Membuat Lakshya mengerutkan keningnya.

"Ada apa? Lu mau minum? Mau ke toilet?"

Lagi, Raksa menggeleng. "Pu-lang." Setidaknya itu yang Lakshya tangkap dari gerak bibir si sahabat.

Sadar akan permintaan Raksa yang akan menyakiti dirinya sendiri. Kini Lakshya yang menggeleng kukuh. "Gak gak gak. Kondisi lo kayak gini, masih pengen pulang? Jawabannya tetep, gak."

Tatap Raksa berubah memohon. Namun tetap ditolak mentah-mentah oleh Lakshya.
Enak saja ingin sepuasnya meminta pulang. Kondisinya sekarang pun tak memungkinkan anak itu untuk sekadar berjalan seimbang.

.....

"Ayo, cepet!"

Raksa turun dari motor si sahabat. Lalu menerima uluran tangan dari Lakshya. "Sabar atuh, masih lemes."

"Makanya! Udah dibilangin jangan pulang dulu. Ngeyel." Lakshya sudah ber-misuh. Sedangkan Raksa yang sedang dinasehati hanya diam, sesekali tertawa kecil.

Iya, saat di rumah sakit tadi, Raksa terus-terusan merengek untuk pulang, seperti anak kecil yang ingin meminta balon pada ibunya.
Dengan berat hati, Lakshya mengiakan.

Setelah bertanya kepada dokter, katanya Raksa sudah bisa pulang. Namun menunggu terlebih dahulu air infusnya habis.
Raksa bukan hanya mendapat misuh dari Lakshya, tapi dokter juga memberinya wejangan yang panjangnya melebihi kepala sekolah yang sedang memberi amanat ketika upacara.

"Dibilangin malah ketawa. Gue khawatir sama lo!" Lagi, Lakshya sedikit menaikkan nada bicaranya. Namun respon Raksa kali ini lain. Anak itu malah tersenyum. "Makasih, udah nge-khawatirin gue."

Lakshya bungkam, tak ingin berbicara lagi. Terkadang kalimat yang Raksa keluarkan bisa menusuk hatinya telak.

Setelah sampai di depan pintu, Lakshya mulai melepaskan rangkulannya. Lalu beralih memegang pundak sahabat kecilnya. "Udah, diem! Mending sekarang lu istirahat. Sana, masuk." Raksa tersenyum, merasakan hangat atas perlakuan cuek namun peduli, si Lakshya.

Detik kemudian Raksa mengangguk. "Gue masuk dulu, lu juga pulang sono."

"Setelah lu masuk," sahut Lakshya. Raksa menghela pasrah, kemudian mengangguk untuk kedua kalinya.

Kaki jenjang itu mulai menapaki rumah. Namun baru saja menutup pintu, suara Bayu langsung menggema di seisi rumah. "Kemana aja kamu, Diraya?" Tubuh Raksa seketika bergetar takut. Jika Bayu memanggil nama aslinya, sudah dipastikan, si kepala keluarga tersebut sedang sangat marah.

Namun nada kelewat tenang dari ayah membuat Raksa semakin bergetar. "G-gak kemana-mana, ayah..." tuturnya.

"Tadi juga kamu berantem sama Lendra?" Nada ayah masih dingin, namun benar-benar menginterupsi Raksa saat ini.

"B-bukan gitu ayah—"

"Ikut ke kamar, sekarang."

"Tapi—"

"Masuk ke kamar, sekarang!" Bayu menaikkan nadanya beberapa oktaf, membuat Raksa tak bisa berkutik.
Dengan langkah takut, si bungsu mendahului ayah untuk pergi ke kamar. Diikuti oleh Bayu yang mengekori putranya.

'cklek.'

"Ayah—"

Bayu menghiraukan panggilan sang putra. Tak mengindahkan getar yang sedari tadi tak luput dari suara Raksa.

Bayu masih fokus dengan gesper yang dirinya pakai. Berusaha melepaskan dengan tenang, sementara Raksa dilanda panik bukan main. "A-ayah, Raksa minta maaf... Raksa mohon, jangan ayah—"

"Diam."

"Tengkurap."

"Raksa mohon ay—"

"Tengkurap saya bilang!" Bayu terus memotong ucapan mohon dari Raksa.

Menghela napas pasrah, Raksa mulai melakukan apa yang ayahnya suruh.
Dengan ragu, bungsu itu memposisikan tubuhnya menjadi tengkurap.

'CTAKK!'

"Akhh—"

Sabuk keras itu berhasil mendarat tepat pada punggungnya. Membuat Raksa merasakan nyeri sekaligus perih di waktu yang bersamaan.

"Diam, atau saya tambah hukuman kamu." Nada tenang itu, membuat Raksa benar-benar bungkam.

"Bunda... Tolong jemput Raksa sekarang..."


















Makin sini makin..
Ah, sudahlah💀

Sorry kalau sering bgt ngecewain kalian sama tulisan ku..
Aku ngga janji bisa fast-up, biar bisa nge-revisi lebih detail dan bikin kalian puas...
Ettt tapii, jgn berharap lebih jg sama cerita ini. Ku msh penulis amatir, blm tentu juga alurnya bagus dimata kalian.

So.. ya! Jgn berharap lebih ya sama cerita ini😷🙏🏻
And see ya, hehe!

Dear AyahWhere stories live. Discover now