lembar ke-delapan ; Raksa ditengah-tengah keluarga bahagia.

8K 1.1K 62
                                    

Hari ini Raksa bangun dengan pening juga darah di hidung yang sedikit membekas

Rất tiếc! Hình ảnh này không tuân theo hướng dẫn nội dung. Để tiếp tục đăng tải, vui lòng xóa hoặc tải lên một hình ảnh khác.

Hari ini Raksa bangun dengan pening juga darah di hidung yang sedikit membekas.
Semalam, sesaat setelah pulang, dirinya mimisan kembali. Cukup lama anak itu membereskan darah-darah yang terus-menerus keluar.

Dan sekarang, sang surya kembali menunjukkan eksistensinya. Dengan langkah pelan Raksa beranjak dari ranjang.

Sebenarnya, jika bisa— hari ini Raksa ingin pergi keluar rumah seharian ditemani oleh si sahabat. Karena kedatangan sang nenek yang tak pernah menyambut si bungsu satu ini dengan baik.
Juga, Raksa belum siap dengan semua cacian yang mungkin akan menusuk, lebih dari apa yang diucapkan oleh Bayu.

Ibu dari Kirana itu juga sama bencinya seperti Bayu. Yang selalu mengatakan bahwa Raksa adalah pembunuh, dan anak hasil pemerkosaan Kirana dahulu.

.....

"Assalamualaikum, nenek dateng~!" Lendra dan si sulung dengan cepat menghampiri sang nenek, lalu detik kemudian memeluk perempuan tua itu dengan erat.

Sementara Raksa berdiri diam didekat sofa. Ia tak memiliki cukup keberanian untuk sekedar menyapa dan memeluk hangat tubuh paruh baya itu.

"Gimana kabarnya kalian?" Kedua kakak-beradik itu saling pandang sejenak, lantas menganggukkan kepala bersamaan.

"Pinterrr! Yuk, masuk dulu. Kita makan siang bareng-bareng!" Saat Bayu, Khirani —sang nenek— Nendra, dan Lendra lenggang dari sana, Raksa masih membeku.
Bahkan, keberadaannya sekarang tak dianggap ada. Ia hanya bayangan di sekitar orang-orang bahagia itu.

Raksa menghela samar. "Gapapa, Raksa. Niat kamu udah baik untuk nyapa nenek. Ya... Walau gak disapa balik, sih." Raksa sedikit meringis kala kata-kata itu keluar dari bibirnya.

Kendati suara, raut wajah, juga nada bicara Raksa yang kelewat tenang, tak menutup kemungkinan jika anak itu merasa sakit di lubuk hatinya yang paling dalam. Di tengah-tengah keluarga bahagia tersebut, Raksa merasa dirinya adalah seseorang yang hina, tak pernah diinginkan juga tak pernah dianggap.

Lagi, helaan napas keluar, seraya bibir pucatnya membentuk kurva tulus nan manis. Senyum andalan Raksa, walau rautnya saat ini benar-benar kontras dengan hatinya yang masih terasa nyeri.

Pemuda itu lalu berjalan ke arah kamarnya. Ia hanya ingin istirahat, sebentar. Iya, hanya sebentar. Karena pasti— setelah ini nama Raksa akan diteriaki oleh Khirani untuk mencuci piring bekas makannya, berserta cucu juga menantu tampannya itu.

.....

Tubuhnya langsung direbahkan di kasur kecil yang terlihat tak terlalu nyaman. Tapi bagi Raksa ini lumayan, daripada dirinya tak sama sekali mendapat alas tidur.

Maniknya mengamati setiap inci plafon putih di atasnya. Fokusnya tertanam kearah lampu yang sedang mati.

Sebenarnya Raksa belum ingin tidur sekarang. Lagipun, ia berencana akan mengerjakan beberapa tugasnya yang masih terbengkalai. Tak banyak, deadline-nya pun masih lama.

Tapi sial bagi dirinya. Saat baru sampai di kamar, seluruh tenaganya seperti menguap begitu saja. Badannya oleng, dan jatuh tepat pada kasur lusuh tersebut.

Raksa melirik pigura yang terpajang di nakasnya. Dengan lembut, si bungsu mengambil bingkai berisikan satu foto wanita cantik disana. Itu foto Kirana, yang tengah tersenyum cerah.

Foto itu, Raksa dapatkan dari Bi Diah. Pembantu yang cukup akrab dengan Raksa itu memberikan pigura dengan foto sang ibunda saat dirinya duduk di kelas delapan.

Perlahan, Raksa mendekap pelan pigura sang bunda. Matanya masih fokus menatap plafon putih diatas.

"Raksa udah jenuh sama hidup Raksa, bunda. Capek, pengen pulang. Pengen peluk bunda. Pengen liat wajah cantik bunda secara langsung. Pengen—" Jedanya membuat keheningan di seisi kamar.

"Pengen mati," lanjut Raksa pelan. Kini nadanya lebih pelan. Bisa dibilang, ucapan Raksa tadi hanya sebuah gumaman.

"Ah, Raksa banyak banget mintanya, ya, Bun? Nanti Allah ngira Raksa serakah, terus marah sama Raksa."

"Kalau gitu. Raksa minta satu aja deh."

"—Raksa cuma pengen pulang. Raksa, pengen pulang ke dekapan bunda. Itu aja, hehe." Senyumnya benar-benar cerah. Senyum yang sama, dengan senyum seseorang yang ada di foto tersebut.

Saat kantuknya mulai menyerang, Raksa semakin erat mendekap foto berbalutkan bingkai kaca itu. Detik kemudian, Raksa sudah mulai masuk ke pintu alam mimpinya.

Mungkin saja, di mimpi kali ini ia bertemu dengan bunda. Lagi.

.....

'Byurr!'

Tanpa rasa bersalahnya, Khirani mengguyur tubuh sang cucu dengan air dingin.

Raksa tentu terkejut, dan langsung bangun dalam sekejap. Menatap sang nenek dengan takut.

"Jangan leha-leha. Beresin rumah. Saya nggak sudi liat anak kotor seperti kamu bisa beristirahat dengan tenang di rumah ini."

Ah, lihat 'kan? Meskipun bukan yang pertama kali, namun rasanya tetap sama. Rasanya sakit, kendati dirinya sudah menyiapkan hati untuk hal ini.

"M-maaf nek..."

Khirani berdecak malas, memutar bola matanya kemudian beranjak dari sana. Ia sudah malas menatap raut wajah tak bersalah milik Raksa. Padahal, anak itu yang sudah membunuh anak semata wayangnya.

Setelah tubuh Khirani tak terlihat— Raksa dengan cepat turun ke bawah. Benar, dirinya tak boleh bermalas-malasan.
Zaman sekarang hidup tidak ada yang gratis. Termasuk dirinya yang tinggal satu atap bersama Bayu saat ini.















Huhuu, kayakny mulai sekarang bakal slow-up (walau g slow bngt).
Idenya belakangan ini sering macett, harus begadang, ngelamun, or nonton sesuatu dulu biar dapet ideee:"(

Jadi sorry yaaa...😷😷

Anyway, thankyou udah mau mampir ke book aku! Huhuu, seneng banget dapet respon baik dari kalian semuaa:(

Hope y'all enjoy yaa! Sorry for typo(s)!

Dear AyahNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ