-31-

250 85 4
                                    

Di tengah keramaian alun-alun kota, Marien memilih melipir dan mengasingkan diri dari teman-temannya yang sibuk bersorak seraya bermain kempang api dengan semangat.

Angin malam berhembus kencang, membuat gadis yang tumben-tumbenan tidak memakai kacamata bulat bening kesayangannya itu sedikit menggigil. Marien tak pernah keluar malam, kecuali sedang benar-benar ada keperluan. Dan malam ini dia terpaksa berada diantara orang-orang heboh tersebut karena ajakan—tepatnya diseret—Sera juga Yuna.

"Pendek," celetuk seseorang dari arah belakang Marien.

Spontan Marien menoleh, jantungnya berdetak kencang ketika beradu pandang dengan mata tajam Doyoung. Sama sekali bukan debaran seperti orang kasmaran, Marien justru terlihat sangat syok seolah baru saja bertemu setan.

"Kenapa, Kak?"

"Lo pendek," sahut Doyoung enteng. Kakinya melangkah mendekati Marien, lalu berhenti tepat disebelah gadis tersebut. "Kenapa jauh-jauh dari kawan lo? Entar ngilang."

'Ini ceritanya lagi menghina?' batin Marien bingung. Dia tak berani membuka suara, lagipula bagi Marien berurusan dengan Kim bersaudara hanya akan memperpanjang jangka permasalahan dalam hidup.

"Najis, mulai gila itu anak!" Doyoung mencibir saat pandangannya jatuh pada Milenka yang memeluk Renjun dengan ekspresi—uwooh—berbahaya sekali.

Mengikuti arah tatapan Doyoung, seketika Marien bergidik ngeri begitu melihat Milenka si tukang pukul mendadak bertingkah sok manis. Memang ya, Milenka itu paling ahli dibidang akting dan drama-dramaan.

Belum tuntas rasa terkejut Marien, tiba-tiba sebuah jaket disampirkan ke bahunya. "Jangan lupa dicuci sebelum lo balikin," pesan Doyoung yang entah sejak kapan melepas jaket tersebut. Kemudian Doyoung berjalan menghampiri Milenka yang cengengesan, tanpa menoleh pada Marien sedikitpun.

"Dek! Ngapain lo nempelin Renjun segitunya?!"

"Biar nggak kedinginan tau, Bang!"

"Kalo mau panas di neraka!"

Seruan saling menyahut adik-kakak itu terdengar jelas. Marien tak mau ambil pusing, dia cukup berterima kasih karena meski dikenal galak setidaknya Doyoung peka terhadap situasi sulit orang lain. Ya, sejak tadi Marien kesulitan sebab malam ini dinginnya benar-benar terasa menusuk tulang.

"Cieee~ yang berdiri nggak sampe satu jam udah dapet perhatian plus jaket cogan," ledek Jaemin sembari membawa dua cup kopi hangat untuknya dan Marien. "Sengaja gue nggak langsung nyemperin elo, takut ngeganggu. Tapi, Bang Doyoung malah cuma nemenin lo sebentar."

"Dia hanya berusaha bersikap manusiawi, nggak seperti elo yang setanawi sejak lahir," balas Marien. Tangannya menerima satu cup kopi yang Jaemin sodorkan.

"Gue mah udah jadi tuan muda sejak dalam kandungan!" sanggah Jaemin menyombongkan diri. "Betewe, cari tempat duduk, yok? Pegel 'kan kaki lo?"

Marien mengangguk, kakinya sudah mulai kesemutan gara-gara terus berdiri. Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk duduk di kursi panjang yang tersedia di sekitar alun-alun.

"Menurut lo ... Yeonhee cantik nggak?" Pertanyaan Jaemin membuat Marien meliriknya.

"Cantik."

"Tapi, cantikan elo tau Mer!"

Wajah Marien yang tampak datar tertekuk masam. Dua minggu berlalu setelah tim basket putra menang melawan SMA Harapan, Marien pikir mulai saat itu sikap Jaemin menjadi semakin tak masuk akal.

"Dulu lo bilang kalo gue jelek banget, Jaem!"

"Kan gue nggak merhatiin!"

"Sekarang lo merhatiin gue? Gak sopan!"

Jaemin tertawa. Belakangan ini dia berteman baik dengan Marien, makanya paham betul kalau perempuan itu tidak akan tersinggung ketika dikatai jelek dan sebagainya, tetapi akan terlihat sangat kesal sekaligus ilfeel kala Jaemin menggoda.

"Keknya Yeonhee ada rasa deh sama gue. Apa gue pacarin aja ya?"

Menyesap kopi miliknya dengan khidmat, Marien lantas menatap ke tempat di mana Milenka bersama Renjun asik bergurau.

"Na Jaemin, hubungan pertemanan lo dengan Mark sama Renjun masih renggang 'kan? Ketimbang pacaran, apa nggak sebaiknya lo memperbaiki ikatan yang udah sekian lama terjalin?"

"Gue pengennya gitu, tapi di deket Milen—"

"Lo jadi nggak bisa ngelepasin dia?" potong Marien. "Terus lo malah mau mencoba pacaran dengan cewek lain, walaupun lo tau perasaan lo masih untuk Milenka?"

"Gue salah, ya?"

"Salah."

Jaemin menghembuskan napas kasar. Apa yang diucapkan Marien memang benar, jahat sekali kalau Jaemin sampai memacari seorang gadis hanya karena ingin melupakan Milenka.

"Mer, bijak amat lo. Jadi, deg-degan nih gue," ucap Jaemin terkekeh seraya menyentuh dadanya sendiri dengan tangan kanan, sementara tangan kiri Jaemin memegang kopi.

"Kumat!" sungut Marien, lalu menenggak kopinya hingga tersisa setengah.

"Jangan-jangan selama ini lo suka sama gue, Mer?" tuduh Jaemin membuat Marien menatapnya dengan pandangan sulit diartikan.

"Iya, gue suka."

"Tuh 'kan! Udah gue duga!"

"Suka pengen nabok!" ketus Marien. "Lo ngomong aneh-aneh lagi gue siram pake kopi, ya?" lanjutnya datar, sedangkan Jaemin merengut sambil menggerutu pelan dengan bibir tipis yang dimonyong-monyongkan.

Meletakan kopinya di kursi, Jaemin mengambil ponsel, membuka beberapa pesan lama yang tak kunjung ia hapus seiring telah banyak waktu bergulir.

Salah satunya dari Unknown, nomor lama Milenka yang sempat digunakan saat mendekati Jaemin. Masih tersimpan dengan nama yang sama, sekalipun Jaemin sudah mengetahui kalau itu adalah Milenka.

Kini nomor Unknown tidak aktif lagi. Tepatnya tak dipakai kembali oleh Milenka setelah pesan terakhir yang menyatakan jika Milenka menyerah dan akan berhenti mengejar Jaemin.

Jaemin :
Hai, lo inget gue? :)
20.21

Jaemin :
Gue kangen elo.
20.21

Jaemin :
Tapi, gue sadar lo udah bahagia banget sekarang.
20.22

Jaemin :
Syukurlah senyuman lo gak pernah luntur. Itu artinya pilihan lo tepat ya, Nami?
20.22

Jaemin :
Begini ternyata rasanya dilanda rindu, tapi nggak punya hak.
20.23

Jaemin :
Dulu, lo pasti juga segalau gue saat ini :(
20.24

Jaemin :
Seandainya gue bisa putar ulang waktu. Gue bakal balik ke detik di mana gue masih sepenuhnya jadi tempat untuk hati lo bersinggah.
20.24










🥀  Miss Pervert  🥀

Marien Curley / Curley Gao

[END] Miss Pervert || Hrj [Tikung S2]Where stories live. Discover now