-30-

254 87 5
                                    

Pertandingan basket putra berlangsung di SMA Harapan. Setelah kemarin anggota osis dengan guru pembimbing rapat, Renjun sebagai ketua diputuskan agar tetap berada di sekolah, sementara beberapa anggota lainnya ikut mendukung bersama para siswa-siswi yang sudah di pilih menjadi supporter.

"Dek, mau balik sama sapa lo?" Doyoung mendekati Milenka yang sibuk mengemas buku ke dalam tas ransel.

Gadis itu mendelik, menatap tidak suka abangnya yang sejak kemarin datang terus menemui Milenka ke kelas sepuluh dan bertanya apakah Milenka sudah jajan, akan pulang dengan siapa, serta pertanyaan lain yang tak biasa Doyoung lakukan.

"Abang lagi kenapa sih? Gue balik sama bini gue lah!"

"Renjun itu laki-laki, goblok!" koreksi Doyoung. Sebagian murid yang juga masih berada di kelas hanya berani menyapa sopan, tidak ingin berbasa-basi karena takut Doyoung malah kesal jika mereka bertingkah sok akrab.

Milenka berujar cuek, "Biar aja." Kemudian berdiri menghadap Doyoung yang tiba-tiba mengelus kepalanya. "Abang sakit jiwa?"

Usapan lembut itu berubah jadi jitakan kasar. "Bang Doy, sakit tau! Kalo kepala gue pecah terus otak gue bertaburan, gimana coba?!"

"Lo ... punya otak, Dek?" tanya Doyoung dengan ekspresi dibuat sekaget mungkin.

"Otak gue ada banyak! Di kepala satu, di kaki satu, di tangan kanan-kiri satu, di dada satu, di perut satu, dan lain-lain. Terus nih ya, tiap gue buang aer besar pasti keluarnya taik yang berakal sehat."

"Babi gendut ini tolol bener!" Ingin rasanya Doyoung menenggelamkan Milenka ke dasar lautan, tapi Doyoung sangat menyayangi Milenka hingga menyentil dahinya pun terkadang tidak tega.

"Mirip elo!"

"Nggak! Lo mirip Bang Jongin!"

"Tapi, Bang Jongin mirip sama elo juga, Bang Doy!"

"Ya udah, lo mirip gue deh." Doyoung mengalah, lagipula dia tidak mau membuat Milenka terlalu lama merengut, berlarut dalam amarah, atau merasa kekurangan dari segi apapun. Doyoung tidak ingin adik yang akan tetap selalu tampak kecil di matanya berpaling dan ikut sang ayah, meninggalkan Doyoung serta Kai di rumah lama mereka. Rumah di mana kenangan tentang kehangatan bunda senantiasa menaungi ketiganya.

"Amplop pink itu apaan, Dek?" tanya Doyoung ketika tak sengaja melihat amplop merah jambu terlipat rapi di saku kemeja Milenka.

"Oh, ini." Bergumam setelah mengambil amplop di sakunya, Milenka menghela napas panjang, mendadak sadar kalau tidak akan keren jika yang Milenka berikan pada Renjun adalah coretan tangan orang lain.

"Buat Abang," katanya menyodorkan amplop tersebut ke hadapan Doyoung yang langsung menerima dengan sungkan.

"Hah? Dari siapa?"

"Kak Marien."

Sebelah alis Doyoung terangkat ke atas— tidak yakin. "Serius lo?"

"Kalo nggak percaya cocokin aja tulisannya sama tulisan tangan Kak Marien," ucap Milenka tak peduli. "Udah ah, gue sama Kak Renjun mau nyusul ke SMA Harapan. Good bye, Abang!"

Milenka melangkah pergi begitu saja, tanpa menjelaskan kronologi bagaimana surat cinta itu bisa ditulis oleh Marien.

Sesampainya di depan kelas Renjun, mata tajam Milenka mengawasi gerak-gerik perempuan yang berada di sekitar Renjun— sibuk bertanya sambil menggoda.

"HEH! BERANI DEKETIN PACAR GUE, LIAT AJA BAKAL GUE BACOK LO!" teriak Milenka dengan kedua tangan berkacak pinggang.

Siswi-siswi yang sebenarnya sejak tadi dimarahi Renjun—tapi dimata Milenka sedang genit—itu semakin ciut. Mereka hanya ingin turut menyusul ke SMA Harapan lalu menyaksikan detik terakhir pertandingan Jaemin dan kawan-kawan, namun Renjun sama sekali tak mengizinkan.

"Pulang sana!" usir Renjun, sementara Milenka sudah berdiri disebelahnya. Kumpulan cewek-cewek pengagum Jaemin hanya bisa mengangguk dan berjalan gontai dengan perasaan kecewa.

"Milen, lo tadi—"

"Gue kek badboy yang ada di tipi-tipi, iya 'kan?" potong Milenka.

Renjun menatapnya intens. "Kayak orang gila, bego! Lain kali, jangan teriak-teriak di lingkungan sekolah. Kalo Pak Luhan liat gimana?"

"Di hukum!"

"TIM GUE MENANG, WOI!" Padahal Renjun baru saja menegur Milenka soal tidak boleh teriak dilingkungan sekolah. Tetapi, Na Jaemin yang kini berlari tergesa ke arah mereka dengan seragam basket penuh keringat malah berteriak lebih keras.

"Menang beneran apa menanggung malu?" tanya Milenka setibanya Jaemin di dekat mereka dengan napas yang tersengal-sengal.

"Selisih angka tipis, tapi anak Merdeka dong yang menang!" seru Jaemin semangat setelah menetralkan rasa letihnya.

"Betewe, kok lo udah balik ke sekolah? Tim lo mana? Supporter? Pak Chanyeol, Bu Irene sama Pak Baekhyun? Bukannya pihak SMA Harapan nyelenggarain acara seudah pertandingan?"

"Njun, lo mau jadi wartawan? Kalo nanya tuh satu-satu kenapa!" protes Jaemin, merengut.

"Kabur lo, ya?" tuduh Milenka.

"Ma–mana ada!"

"Kok gagu?" Giliran Renjun yang curiga.

"Gue buru-buru ke sini karna mau ngabarin kalian!" sanggah Jaemin, kemudian menggigit bibir bawahnya sebentar, tampak ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, "Ngomong-ngomong, tau nggak Marien di mana?"










•••

Always Milenka dong yang jadi tukang memperumit keadaan, haha.

[END] Miss Pervert || Hrj [Tikung S2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang