Bab 14

1 1 0
                                    

Lucius duduk di meja kayu, bekerja memisahkan busur dan panah. Di sampingnya duduk Elden, bersama dengan beberapa anggota Legiun yang lain. Mereka semua membungkuk di atas senjata mereka, bekerja keras mengukir busur dan mengencangkan talinya.

"Seorang kesatria tahu cara untuk mengencangkan busurnya sendiri," pekik Gareth, saat ia berjalan di antara sederetan para pemuda, membungkuk, memeriksa pekerjaan masing-masing. "Tegangannya harus sangat tepat. Terlalu sedikit, dan anak panahmu tidak akan mencapai sasarannya. Terlalu banyak, maka sasaranmu tidak akan kena. Senjata rusak dalam pertempuran. Senjata rusak dalam perjalanan. Kalian harus tahu cara memperbaikinya ketika kalian menggunakannya. Kesatria terbaik juga adalah seorang pandai besi, tukang kayu, tukang sepatu, tukang reparasi segala hal yang rusak. Dan kalian tidak mengetahui senjatamu sendiri sampai kalian memperbaikinya sendiri."

Ketika Lucius mendengar apa yang dikatakan Gareth, Pandai Besi. Ia mendadak mengingat semua yang terjadi di rumah. Ia seorang pandai besi. Ia adalah Blacksmith. Lucius merasa diremehkan. Tidak, pikirnya, tidak bisa.

Gareth berhenti di belakang Lucius dan mencondongkan tubuh dari balik bahunya. Ia merenggut busur kayu dari genggaman Lucius, dan tali busur itu melukai tangannya saat ia melakukannya.

"Sempurna," katanya. "Tali busur ini memiliki tegangan yang tepat. Kau berbakat dalam mengencangkan tali busur. Tapi dengan kau mahir mengencangkan tali busur ini, bukan berarti aku menyukaimu, bung. Masih banyak senjata yang akan kau kerjakan."

Gareth membanting busur ke meja dan pergi; beberapa pemuda lain mencibir. Lucius memerah ketika ia meraih busurnya lagi, dan memisahkan anak panah ke dalam quiver. Ia telah mengerjakan ini selama berjam-jam, tugas yang melelahkan. Ia merasa seperti di rumah.

Sebagian besar dari yang lain berlatih, bertanding, beradu pedang. Lucius merasa mereka berada di atas angin saat ia tertinggal di belakang mereka. Ini tidak adil. Ia semakin merasa ia tidak diinginkan di sini, seolah ia bukan anggota Legiun yang sesungguhnya.

"Jangan khawatir, kita akan bisa melakukannya," kata Aaron di sampingnya.

Telapak tangan Lucius lecet karena berusaha; ia menarik tali busur sekali lagi, kali ini dengan semua kekuatannya, dan akhirnya, tetap sama, berhasil sempurna. Tali busur itu terpasang pada busur, Lucius menariknya dengan sekuat tenaga, bercucuran keringat. Ia merasakan sensasi kepuasan pada busurnya sekarang sekuat seharusnya.

Bayangan memanjang saat Lucius menyeka dahinya dengan punggung tangannya dan bertanya-tanya berapa lama ini akan berlangsung. Ia memikirkan apa makna menjadi seorang kesatria. Dalam kepalanya, ia seorang petarung, ia melihatnya secara berbeda. Ia hanya membayangkan berlatih, setiap saat. Tapi ia mengira ini juga suatu bentuk pelatihan.

"Ini bukan tujuanku mendaftar," kata Aaron, seolah-olah membaca pikirannya.

Lucius menoleh, dan terhibur melihat temannya tetap tersenyum.

"Aku datang dari Provinsi Utara," lanjutnya. " Aku, juga, memimpikan bergabung dengan Legiun sepanjang hidupku. Aku kira aku membayangkan pertandingan dan pertempuran yang konstan. Bukan semua tugas kasar ini. Tapi hal ini akan menjadi lebih baik. Ini hanya karena kau orang baru, ini adalah suatu bentuk permulaan. Nampaknya ada senioritas di sini. Kita juga yang paling muda. Aku tidak melihat mereka yang berusia dua puluh tahun melakukan hal ini. Hal ini tidak akan berlangsung selamanya. Selain itu, ini adalah sebuah keterampilan yang berguna untuk dipelajari."

Terompet berbunyi. Lucius menoleh dan melihat sebagian dari Legiun berkumpul di samping dinding batu di tengah-tengah lapangan. Tali temali disampirkan di sepanjang dinding, berjarak tiap sepuluh kaki. Dinding itu semestinya tingginya tiga puluh kaki, dan yang bertumpuk di bawahnya adalah setumpukkan jerami.

Soul Awakening : A Quest of Heroes [ON GOING]Where stories live. Discover now