Bab 11

7 2 4
                                    

Lucius membuka matanya, merasa pusing, mencoba berpikir di mana ia berada. Ia berbaring di lantai, wajahnya nampak kusut, lengannya terjuntai di atas kepalanya. Ia mengangkat wajahnya dan mendadak merasakan hujaman rasa sakit di kepalanya, tepat di belakang matanya. Itu adalah sakit kepala terburuk dalam hidupnya. Ia ingat malam sebelumnya, di pesta Raja. Menenggak bir pertamanya. Seisi kamar itu seperti berputar. Kerongkongannya terasa kering, dan saat itu ia bersumpah tak akan menenggak bir lagi.

Lucius memandang sekeliling, mencoba mengumpulkan kesadarannya dalam barak yang cekung. Di mana-mana tubuh bergeletakan, berbaring pada ranjang kayu dan tumpukkan jerami, ruangan dipenuhi dengkuran, ia membalikkan tubuh ke sisi lain dan dilihatnya Elden, tertidur beberapa langkah dari situ. Kemudian ia menyadari: ia berada dalam barak. Barak Legiun. Ada banyak pemuda seusia dengannya di sekelilingnya, lima belas orang.

Lucius samar-samar mengingat Elden menunjukkannya jalan dini hari tadi dan direbahkannya tubuh di ranjang kayu. Cahaya pagi menerobos masuk ke jendela yang terbuka, dan Lucius segera sadar bahwa hanya dirinyalah yang telah bangun. Ia melihat ke arah tubuhnya dan mengetahui ia tidur dengan berpakaian lengkap, lalu mengulurkan tangan merapikan rambutnya yang berminyak. Ia akan melakukan apapun jika diberikan kesempatan untuk mandi − meski ia tak tahu di mana harus melakukannya. Dan ia juga akan melakukan apapun untuk mendapatkan segelas air. Perutnya bergemuruh − ia juga ingin makanan. Semua tampak baru untuknya. Ia baru saja menyadari di mana ia berada, ke mana hidup akan membawanya selanjutnya, apa saja rutinitas Legiun Kerajaan. Namun ia baru saja merasa gembira. Kemarin adalah malam yang tak terlupakan, salah satu yang terbaik dalam hidupnya. Ia baru saja mendapatkan seorang sahabat dalam diri Elden, dan menyadari Gwendrielle memandang ke arahnya satu atau dua kali. Ia telah mencoba untuk berbicara dengannya, tapi setiap kali ia mendekatinya, keberaniannya pun menghilang. Ia mendadak menyesali hal itu ketika ia memikirkannya. Akan kah ia bisa melakukannya lain waktu?

Sebelum Lucius mengakhiri lamunannya, tiba-tiba pintu kayu barak terbuka dengan keras, dan kemudian cahaya pun menyeruak ke dalam.

"Bangun semuanya!" teriak sebuah suara.

Selusin anggota Kesatuan Perak Raja berderap masuk, memukul dinding kayu dengan perangkat logam. Suaranya memekakkan telinga, di sekitar Lucius, para pemuda lainnya melompat berdiri dengan kaki mereka.

Yang memimpin kelompok pasukan itu adalah seorang prajurit yang tampak sangat gagah dan Lucius telah melihatnya di arena di hari sebelumnya, tinggi, berbahu lebar, rambut cepak rapih, dengan bekas luka di hidungnya, dan Elden telah memberi tahunya bahwa nama orang itu adalah Gareth.

Ia memandang Lucius gusar dan mengarahkan telunjuknya ke arahnya.

"Kau juga, bung!" serunya. "Aku bilang berdiri!"

Lucius bingung, ia sudah berdiri.

"Tapi saya sudah berdiri, Tuan," jawab Lucius.

Gareth maju ke depan dan menampar muka Lucius. Lucius merasa tak terima dengan perlakuan itu, semua mata menatap ke arahnya.

"Jangan pernah membantah atasanmu lagi!" cerca Gareth.

Sebelum Lucius dapat berkata-kata, para pasukan bergerak, berjalan keluar dari kamar, berseru kepada pemuda lain untuk berdiri tegap, menendang tulang rusuk mereka jika terlalu lambat berdiri.

"Jangan khawatir," hibur sebuah suara.

Ia berbalik dan mendapati Elden berdiri di sana.

"Itu bukan perlakuan yang khusus untuk ditunjukkan untukmu. Memang begitu cara mereka. Itu cara mereka menghancurkan mental kita."

"Tapi mereka tak melakukannya padamu," kata Lucius.

"Tentu saja mereka tak akan menyentuhku, karena ayahku. Tapi mereka tak akan benar-benar sopan terhadapku. Mereka hanya ingin membentuk mental kita, itu saja. Mereka pikir hal itu akan membuat kita tegar. Jangan terlalu memedulikan mereka."

Soul Awakening : A Quest of Heroes [ON GOING]Where stories live. Discover now