Penyesalan

311 28 1
                                    

RSUD Mardi Waluyo, Blitar

Alvin memutuskan mengunjungi sahabatnya yang ada di Blitar, sekaligus melihat kondisi rumah sakit tempat di mana dia kerja dulu, sebelum dipindahtugaskan di Saiful Anwar. Tujuan utama ke Blitar sebenarnya bukan itu, tapi untuk mencari ketenangan atas setiap masalah yang ia buat akhir-akhir ini.

Masih seperti yang sebelumnya, Poli Paru tempat di mana Fatrial bekerja selalu dipenuhi dengan pasien. keseluruhan bermasalah dengan pernapasan. Alvin berdiri di sebelah deretan kursi tunggu, melihat papan nama yang berisi jam kerja para dokter di Mardi Waluyo. Dari papan tersebut ia bisa melihat bahwa Fatrial sedang tugas pagi, sehingga kemungkinan untuk bisa ngobrol dengannya amat kecil. Mengingat jumlah pasien di kursi tunggu yang membeludak.

Ia memutuskan untuk menunggu Fatrial di serambi belakang poliklinik. Ada deretan tempat duduk menghadap taman yang cukup rindang. Taman yang berada di tengah-tengah Instalasi Rawat Inap. Ia mengambil iPhone dari jaket hitamnya.

Kali ini Alvin memilih membuka facebook daripada tumpukan file artikel kedokteran yang biasa ia baca setiap kali membuka layar iPhone. Ia terkejut saat membuka beranda dan menemukan status Novita Elsabat atau Vita yang diunggah beberapa menit yang lalu.

Kurang lebih delapan tahun aku bersahabat denganmu. Berbagai peristiwa kita alami, bahkan kita pernah kolaps di rumah sakit yang sama karena kecelakaan lima tahun lalu. Bagiku, kau adalah keluarga. Bahkan seperti kakak, karena kau lebih tahu aku daripada diriku sendiri. Kita berbagi banyak hal. Namun kenapa mengikhlaskan perasaan yang begitu dalam ini sangat sulit. Aku hanya terus pura-pura ikhlas di depanmu.
 

Seketika Alvin mengusap wajahnya. Ia paham maksud sebenarnya kalimat tersebut. Kini rasa bersalah tak hanya pada Faya, tapi juga Vita yang sakit hati karena perjodohan itu gagal.

Alvin menarik napas berat.

Ia tertunduk lelah. Ia tak pernah menyangka bahwa semua akan serumit ini. Keputusan itu, Faya, Vita dan segenap perasaan kacau dalam hatinya membuat hari-harinya kian sempit.

“Sudah lama menunggu?” sosok yang ditunggu itu telah datang, tersenyum dan mengambil posisi duduk di sebelah Alvin. Sedang Alvin berusaha tersenyum menyambut Fatrial. Senyum kaku dan pahit.

“Ada hal penting apa yang membawamu datang ke sini?” nampaknya Fatrial telah melihat goresan kegelisahan di wajah Alvin.

“Apa masih tentang keinginanmu waktu itu?”

Alvin tersenyum lelah, lalu menarik napas dalam.

"Bagaimana kabar rumah tanggamu? Mbk Veve sehat?" Alvin berusaha menormalkan napasnya dengan bertanya topik lain.

Fatrial tersenyum mengangguk.

"Sangat baik dan sangat bahagia, karena aku menghujani cinta tiap hari." Fatrial mengakhiri jawabannya dengan tawa.

Alvin hanya menanggapi tawa itu dengan senyum.

"Kamu kenapa? Tidak biasanya wajahmu mendung. Biasanya kamu itu garang dan tajam, kenapa sekarang seperti kerupuk melempem begitu?"

Alvin diam sesaat sambil melihat beberapa keluarga pasien yang berlalu-lalang jauh di depannya.

“Ternyata pintar saja tak cukup untuk menjalani hidup, dan aku salah satunya. Aku tidak tahu caranya memperlakukan perempuan. Tidak tahu seperti apa perasaan mereka, dan aku begitu egois seolah paling benar.” Alvin tertunduk dengan gumpalan rasa bersalah yang kian menutup neuron dalam otaknya.

Fatrial menarik napas.

“Katakan dengan jelas apa yang terjadi!”

Alvin menceritakan kronologi masalah yang membelitnya. Masalah kecil yang mendadak menjadi besar sejak Faya menolaknya.

Cinta Selalu Punya Cara Untuk Pulang (Selesai) Where stories live. Discover now