Harapan Kecil

338 31 1
                                    


Alvin menarik napas lega, tugas di UGD untuk hari ini telah selesai. Sebelum pulang ia memutuskan untuk menyapa pasien-pasiennya yang berada di bangsal ortopedi, sebuah ruang rawat inap yang khusus untuk penyakit tulang dan sejenisnya. Ia ingin tahu bagaimana kabar pasien yang kemarin lusa ia serahkan penanganannya pada Vita.

Alvin hanya berdiri di luar ruangan, melihat dari pintu kaca. Tak ingin masuk mengganggu pekerjaan dokter yang sibuk.

Dari arah samping, Vita berjalan pelan hendak memasuki bangsal, ia sengaja melambatkan langkahnya ketika mengetahui ada Alvin di sana. Tak berani juga menyapa, hanya terus melihat dalam kegugupan yang membisukan mulutnya. Alvin sendiri menoleh ketika menyadari ada seseorang yang mendekat. Sesaat saling melihat canggung, biasanya Alvin yang menatap tajam penuh penilaian, kini tatapan itu redup, ragu dan bimbang.

“Dokter ...,” Vita berusaha mengeluarkan suaranya.

“Bagaimana kondisi pasien kemarin lusa?” tanya Alvin tak lagi melihat Vita, ia kembali memusatkan perhatiannya pada bangsal di depannya.

“Em ... dia mendapat saran operasi dari dokter Purwanto. Kalau tidak salah, jadwal operasinya nanti malam,” jawab Vita hati-hati.

Alvin mengangguk-angguk saja, tak ada komentar lain.

“Dokter, boleh saya tanya sesuatu?” Vita memberanikan diri di balik degup jantung yang sedari tadi sudah membekukan tubuhnya.

Alvin menoleh, melihat Vita dengan wajah datar.

Vita menarik napas dalam-dalam. “Tentang pertemuan keluarga minggu lalu, saya merasa dokter tidak menyukainya. Saya juga merasa dokter menghindari saya, karena itu saya minta maaf jika memang salah.”

“Kenapa kamu yang minta maaf?”

“Ee, saya merasa tidak enak dengan keadaan seperti ini. Ada kecanggungan yang membuat jarak di antara Anda dan saya.”

Alvin menarik napas, mengusap wajahnya. Dari cara Vita bicara, ia mampu menangkap apa yang perempuan itu pikirkan dan rasakan tentang dirinya.

“Aku memang tidak menyukai rencana mereka, tapi aku pun tidak punya alasan kuat untuk mengabaikannya. Tidak ada salahnya kita jalani dulu, sejauh mana takdir berpihak, atau justru ada takdir lain di luar sana. Tidak ada yang tahu, karena kita hanya bisa merencanakan.”

Vita tertunduk antara bingung, ragu dan bahagia karena Alvin tidak membencinya. Alvin menyikapi rencana dua keluarga itu dengan bijak, tak memihak satu kubu dan merendahkan kubu yang lain. Manusia hanya bisa berusaha, meskipun kalimat itu seolah menegaskan bahwa ia terpaksa menjalani rencana keluarganya, tapi Vita cukup lega. Setidaknya ia tahu isi hati lelaki itu, yang mungkin masih kosong dan butuh sentuhan untuk mampu memasukinya.

Entah pada detik keberapa mata Vita berkaca-kaca. Tidak ada kata yang mampu ia keluarkan.

“Untuk saat ini, fokuslah pada study-mu jika memang ingin menjadi dokter baik. Aku yakin kamu bisa,” kata Alvin lalu melangkah pergi, kalimat terakhir yang menghangatkan sekujur tubuh Vita.

“Terima kasih, dokter. Aku akan belajar keras.”

@@@


Keluar dari area Bangsal Ortopedi, Alvin berjalan kembali ke UGD. Di loket pendaftaran nampak seorang perawat sedang berbicara dengan seorang ibu berjilbab. Entah apa yang dibicarakan, tapi nampak serius, membuat Alvin memutuskan untuk mendekati mereka.

“Ada apa?” tanya Alvin pada sang perawat.

“Ibu ini sedang ingin berobat, tapi tidak membawa KTP dan sejenisnya. Katanya sih KTP-nya ketinggalan. Saya tidak bisa memasukkan beliau sebagai daftar pasien jika tidak membawa bukti identitas atau surat keterangan berobat,” jawab perawat tersebut yang seharusnya tugas semacam itu dilimpahkan pada Faya, dan karena Faya tidak di tempat, tugas pun diambil alih olehnya.

Cinta Selalu Punya Cara Untuk Pulang (Selesai) Where stories live. Discover now