Sejarah Payah itu Dimulai

692 44 1
                                    


Alun-alun Tugu, pukul 21.00 WIB

Alvin menatap kedua telapak tangannya, mengingat-ingat kejadian lima tahun lalu ketika ia melakukan RJP pada seorang mahasiswi korban kecelakaan, dan itu adalah RJP pertama yang ia lakukan pada seorang pasien. Kegugupan membuat tangannya tanpa sengaja menyentuh buah dada gadis itu. Jelas, Alvin merasa amat berdosa.

Kejadian itu begitu membekas, ingin rasanya meminta maaf, tapi itu mungkin akan menjadi hal konyol. Hanya saja kejadian itu amat mengusik dan membuatnya merasa bersalah.

Alvin mungkin hebat dalam banyak hal, tapi ia sangat tidak mampu mengontrol hatinya, apa pun yang telah masuk dalam jurang pikirannya, maka sulit baginya untuk bebas. Mungkin itu alasan kenapa ia mudah dalam menghafal banyak hal. Kejeniusan yang membawanya pada posisi konsulen di usia yang masih muda.

“Pasti aku sudah gila." Gumamnya kesal dengan diri sendiri.

Tak lama kemudian sebuah panggilan masuk di iPhone-nya, panggilan dari Fatrial. Buru-buru ia mengangkatnya.

“Ya, Fat. Ada apa?”

“Kok lemes gitu sih?” tanya Fatrial di ujung sana.

Alvin tersenyum hambar.

“Kamu kayak gak tahu aku saja tanya begitu!”

“Gimana kabarmu? Masih mencari gadis lima tahun lalu itu?”

“Hemm ... Entahlah.”

Terdengar Fatrial menghela napas.

“Kamu jangan buang waktu hanya untuk itu, Vin! Aku tahu kamu merasa bersalah, tapi tidak usah berlebihan. Memang sudah begitu kewajiban dokter, jika ada kesalahan yang tidak disengaja. Lagian kau mau cari gadis itu di mana? Kalau sudah ketemu dan ternyata dia sudah menikah, apa kau akan tetap minta maaf dan menjelaskan kesalahanmu? Bukankah hal itu hanya akan merusak reputasimu sebagai dokter? Juga apa kau tidak berpikir bagaimana perasaan gadis itu? Ayolah, jangan berlebihan memandang kesalahan!”

Alvin terdiam, tak punya jawaban atas semua pertanyaan itu. Sejujurnya ia sudah banyak berpikir, sudah banyak berusaha melupakan semua, tapi entah kenapa rasa bersalah masih membelitnya.

“Vin, kau dengar aku?” suara Fatrial setengah berteriak.

“Iya.”

“Aku tahu kau berusaha menjaga hati, tapi kita seorang dokter. Kita tak punya banyak pilihan untuk menolong pasien selain berinteraksi langsung dengan mereka, tapi bukankan Allah tahu mana yang tulus, dan mana yang disengaja. Aku tahu betul kau orang seperti apa, Vin. Jadi mulai sekarang hapus semua rasa bersalah konyolmu itu. Kau sudah menyesal, dan kurasa itu sudah cukup. Jangan hancurkan masa depanmu dengan memikirkan masa lalu!” suara Fatrial di ujung sana nampak sarat emosi, seolah memaksa Alvin untuk mengikuti perintahnya.

Alvin tertunduk, kembali mengusap wajahnya yang terlihat letih.

“Entah kenapa aku masih sangat mengingatnya. Sangat tidak masuk akal, dan jujur itu sangat menganggu."

“Sudah! Lebih baik kau segera menikah!”

Alvin kini yang menghela napas frustrasi. “Solusi yang bagus.” Dan Fatrial tertawa. Tanpa mengucapkan salam penutup, Alvin menutup telepon secara sepihak, hal yang kerap ia lakukan jika sudah mendengar Fatrial tertawa. Ia pun segera memasukkan kembali iPhone ke saku jaket hitamnya, lalu melangkah meninggalkan Alun-alun Tugu.

@@@

Faya sudah berdiri di balik meja pendaftaran pasien UGD tepat jam tujuh pagi. Ia lebih disiplin daripada Vita. Ya, meskipun Vita sudah menjadi ko-as, tapi kebiasaannya itu tak berubah, mungkin karena ia terlahir dari keluarga kaya dengan fasilitas penuh, sehingga tak banyak yang ia lakukan selain sekadar makan dan tidur di rumah. Seperti pagi ini, ia berlari menuju loket untuk absen sebentar sebelum menghadap konsulennya.

Cinta Selalu Punya Cara Untuk Pulang (Selesai) Where stories live. Discover now