Prologue : "Budaya Tutur Lisan"

7.2K 1.1K 357
                                    

.
.
.

    Budaya tutur lisan adalah pemegang tahta tertinggi dalam sebuah kearifan lokal suatu bangsa. Setiap dari mereka memiliki cara sendiri untuk menceritakan sebuah peristiwa. Mulai peristiwa yang lucu sampai dengan peristiwa memilukan. Mulai dari cerita yang menusuk ulu hati sampai cerita-cerita yang membuat perut tergelitik gelak tawa, semua pasti memiliki cara dan bentuknya sendiri. Inilah salah satu dari sebagian banyak lainnya tentang tutur atau tuturan.

    Pada cara ini, maka suatu masyarakat dapat menyampaikan sejarah lisan, sastra lisan, hukum lisan dan pengetahuan lainnya ke generasi penerusnya tanpa melibatkan bahasa tulisan. Sehingga, tradisi lisan harus dilestarikan karena tradisi lisan merupakan salah satu sumber sejarah. Salah satu tradisi lisan yang paling populer dan sering didengar dalam kehidupan sehari hari adalah lagu/tembang/kidung.

    Kidung dianggap jauh lebih cepat untuk menyampaikan sebuah pesan, karena sebuah kisah yang memiliki nada akan lebih mudah terngiang di kepala daripada sebuah tulisan panjang di kertas lusuh yang mungkin seseorang temukan di suatu tempat. Apalagi jika tembang itu diiringi dengan sebuah permainan sederhana yang menyenangkan ketika dimainkan oleh anak anak, sekiranya, begitulah Tradisi Tutur Lisan mempertahankan eksistensi nya di tempat dimana ia diwariskan.

    Rejowerno juga memilikinya. Warisan budaya Tutur Lisan yang berupa sebuah tembang/kidung ini. Namun, karena liriknya yang panjang, generasi yang seharusnya dapat mewariskannya kepada anak zaman sekarang hanya dapat memberitahu versi pendeknya. Kidung yang sering mereka nyanyikan dan dengarkan bukanlah versi asli dari kidung yang sebenarnya.

    Semakin hilangnya para orang tua yang mengingat lirik kidung yang asli dan sejarah pembuatannya, itu menyebabkan banyak versi bermunculan terkait lirik asli kidung ini. Apalagi, sesuai dengan namanya, Tradisi Tutur Lisan berarti tidak menggunakan media tulis apapun untuk menyimpannya. Sehingga bermunculan banyak versi yang berbeda karena kekeliruan dari setiap penutur.

    Karena itu, inilah pentingnya mengimbangi budaya tutur lisan dengan budaya tulis. Namun pemikiran maju seperti ini belum ada di masa lalu—belum terpikirkan oleh para orang tua yang tubuhnya sudah menyatu dengan tanah. Selain versi, kepercayaan tentang sejarah sebenarnya kidung ini pun juga mengalami banyak penyimpangan, terutama penyimpangan bahwa sebenarnya kidung ini adalah petunjuk untuk menemukan sebuah rajah yang ditinggalkan oleh leluhur sakti di masa lalu.

    Rajah sendiri adalah azimat, atau aji aji yang tertulis, baik itu sebagai tato di kulit manusia maupun tertulis di media lain seperti kertas, kulit hewan dan batu. Rajah biasanya merupakan sekumpulan huruf-huruf atau kalimat (yang terpenggal) membentuk suatu gambar tertentu yang dipercayai sebagai penyembuh, kesaktian, keselamatan atau pengasihan.

    Dengan munculnya kepercayaan menyimpang tersebut, banyak orang tua dan sekolah yang kemudian tidak lagi mengajarkan tembang asli tanah Rejowerno itu kepada anak anaknya. Sehingga semakin sedikit pula orang yang benar benar mengetahui keberadaan tembang/kidung ini.

    Yohan yang sedari lahir adalah manusia pribumi Rejowerno adalah generasi yang benar benar telah tuli dan buta dengan keberadaan kidung itu. Yohan pernah sesekali mendengar bahwa ada keberadaan kidung yang akan mengantarkanmu menemukan sebuah rajah leluhur sakti asal bisa menguraikan maksud dari lirik liriknya. Namun Yohan tak terlalu ambil pusing karena dia aja bahkan nggak tau salah satu penggalan liriknya kayak gimana.

    Yohan nggak peduli sampai akhirnya Yeosang menyebut warisan itu dalam percakapan mereka beberapa bulan lalu. Itu membuat Yohan benar benar pusing bagaimana cara untuk mencarinya. Dia sudah bertanya pada seluruh sesepuh desa, bahkan manusia yang hidup paling lama di Rejowerno udah dia tanya, tapi Yohan cuma bisa mendapatkan versi pendeknya, itupun berbeda satu sama lain.

[✔] Klub 513 | vol.2 | Ep.3 : Kidung RajahOù les histoires vivent. Découvrez maintenant