Bagian Sembilan

249 53 4
                                    

-o0o-

"Gue selalu punya harapan. Persis apa yang lo pesen dari gue. Kalau itu untuk berdamai dengan dunia. Gue mau berdamai dengan salah satu manusianya, itu lo, Ra"

---------


"Gue takut...."

Candrawala mengepalkan tangannya. Anak itu menggeleng putus asa. "Gue mohon, Ra. Sembuh bareng-bareng ya?"

"Apa yang kamu harepin dari manusia? Cuma luka yang kamu dapatkan akan kata berharap."

"Gak ada yang gak bisa berharap kalau hati yang memilih. Manusia punya takdir untuk memilih keputusan, Ra"

"Hati hanya akan bikin kamu kecewa. Pakai logika kamu"

"Kamu tau Ra? Candu paling berbahaya itu cinta dan cinta yang paling mengerikan daripada logika. Pikiran serealistis apapun kalau hati yang memilih gue bisa apa, Ra?"

Malam sunyi tak lagi mengerikan ketika dua insan saling terluka. Menceritakan segala beban pikiran mereka akan ketidak selarasan yang terus meneror hari-hari keduanya.

Ketika suara itu keluar beban tak lagi menjadi bayangan hitam yang mengerikan.

Manusia itu butuh manusia lain untuk bicara bertukar logika yang mungkin menyakiti sekiranya tidak selarasnya pikiran manusia.

"Sembuh gak harus pergi ada kalanya damai itu jadi tameng buat lo terjang apapun masalah lo, Ra"

Candrawala menghembuskan nafasnya berat. Ia memegang kedua sisi bahu Rania membawa kedua insan saling bertukar mata. Berharap tak akan ada lagi hari lain dan mereka hanya akan menjadi sedemikian selamanya berharap mungkin ketidak harmonisan itu bisa mereka pecahkan tanpa manusia manusia lainnya.

Membuat keselarasan sendiri, untuk keabadian mereka. Dua insan yang saling jatuh cinta dalam dunianya sendiri.

"Mulai sekarang apapun yang mau lo lakuin, apapun keputusan yang bikin lo khawatir apapun itu bilang dulu sama gue, ngerti?"

Rania mengangguk. "Ya, Candrawala"

Dan setelah sekian lamanya senyuman manis itu tak dapat ia miliki seutuhnya, Candrawala kembali melihatnya.



****

"Woy! Ngapain lo berdua?!"

Mendesah kecewa, Candrawala terpaksa melepaskan ciuman mereka. Cahaya senter menyorot kedua bola matanya, membawa kerutan dalam yang ada di matanya.

"Shit!" Candrawala mendengus. "Tenang aja"

Rania menghembuskan nafas kasar. Masih bisa-bisa Candrawala tersenyum disituasi genting seperti ini.

"OH PACARAN DI SEKOLAH?! BAGUSS, YAA, BAGUS."

"Ditunggu ucapan selamatnya," dengan jahil Candrawala menaik turunkan alisnya.

Dito memutar kedua bola matanya ke atas. "Hukum aja, bu, hukum" kompor anak itu.

"Penghianat," desis Candrawala.

SEORANG BINTANGWhere stories live. Discover now