Dilema Akut

269 27 2
                                    

Tengah malam itu, setengah sadar Faya membuka matanya. Ia melihat samar Alvin yang tertidur menyandarkan kepalanya di brankar.

"Aku bahkan melihatmu dalam mimpi." Suara hatinya.

Pemandangan itu hanya sekilas karena tubuhnya sangat lelah untuk kembali membuka mata, hingga dalam hitungan detik Faya kembali tertidur.

Esok paginya ia mulai sadar bahwa apa yang ia lihat tadi malam bukanlah mimpi. Terbukti ada kantong plastik berisi buah dan kue di meja, hanya saja Alvin sudah pergi entah pada jam berapa.

"Ternyata kamu memang di sini." Faya tertunduk kesal dengan dirinya sendiri, ia meremas selimut dengan kasar.

Ia benci mengingat kembali detik-detik sebelum henti napas itu terjadi. Kenapa harus Alvin??

@@@

Vita berlari menuju ruang rawat tiga dan membuka pintu dengan tergesa-gesa. Ia sangat kecewa dan kesal karena Faya tidak mengatakan apa pun jika dirinya sedang dirawat, justru ia tahu berita tersebut dari perawat.

"Kenapa kamu tidak memberitahuku sama sekali kalau kamu dirawat di sini?" nada suara Vita meninggi, kecewa.

"Karena aku tidak mau menganggu hari liburmu, jadi sebaiknya tidak tahu. Tidak enak jika harus merepotkanmu terus," jelas Faya berusaha mengalihkan pandangannya dari tatapan Vita.

Vita menghela napas. Ia tahu betul Faya orang seperti apa. Percuma ngomong panjang lebar dan marah-marah di depannya. Sifat sok tegarnya itu tak bisa diusik, justru jika semakin dipaksa untuk memahami dirinya, Faya akan semakin menghindar.

"Sudahlah! Yang penting kamu tidak apa-apa." Kini Vita pasrah.

"Maaf ya, Vita. Aku tidak bermaksud menutupi semua darimu, hanya saja sudah banyak yang kamu lakukan untukku. Jadi aku tidak mau lagi merepotkanmu."

Vita memaksakan senyum getir, mencoba menerima apa pun alasan Faya.

"Inilah akibat jika memaksa tubuhmu bekerja seperti mesin. Kamu tuh butuh istirahat, bukan terus berputar mencari uang. Jujur saja aku kesal melihatmu seperti ini, tapi aku juga tidak bisa menghentikanmu. Kamu memang selalu seperti ini, sok kuat." Vita mengatakan semua itu sambil menahan airmata, ia merasa tidak berguna sebagai sahabat.

Faya meraih tangan Vita dan tersenyum.

"Kenapa kamu lebai begitu. Aku sudah baikan, aku juga sudah semakin sehat. Mungkin besok bisa bekerja lagi."

"Tuh kan, belum sembuh saja sudah ngomongin kerja dan kerja. Pokoknya aku akan bilang ke manager buat ngasih kamu libur. Aku gak mau kamu kolaps lagi." Putus Vita dengan wajah cemberut.

"Baiklah.." Faya tersenyum menyerah.

"Oh, ya, apa benar yang menolongmu saat itu Dokter Alvin?"

Faya hanya mengangguk, sedang wajah Vita tiba-tiba berubah, ada kekhawatiran bahkan rasa cemburu di sana. Kenapa dari sekian banyak orang di sana harus Alvin yang menolong? Prasangka dan pikiran-pikiran aneh mulai menghantui, perasaan khawatir kalau-kalau ada sesuatu di antara mereka.

"Lalu apa benar dia melakukan RJP padamu?" kini nada pertanyaan Vita berubah, bahkan sorot mata yang biasanya cerah pun kini meredup, mengindikasikan ketidakrelaan bahwa Alvin lah sang penolong sahabatnya itu.

Faya kaget. RJP? Jelas ia tau pertolongan macam apa itu, namun ia tak mengetahui jika Alvin telah menolongnya dengan cara tersebut. Pertolongan sama yang pernah seseorang lakukan padanya lima tahun lalu, dan Alvin? Alvin telah melakukan pertolongan itu? Mendadak tubuh Faya lemas, seolah seluruh energi dalam tubuhnya terserap habis oleh pikiran masa lalu, juga tentang RJP yang dilakukan Alvin.

Cinta Selalu Punya Cara Untuk Pulang (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang