Tentang Lagu || 21🎶

52 32 130
                                    


Meja makan yang biasanya terisi oleh empat orang, kini terisi lima. Untuk pertama kali, Faren memberanikan diri membawa pacar ke rumahnya yang tak harmonis itu. Makan malam berlangsung dengan khidmat seperti tidak ada kedatangan tamu. Ayah Faren tak mengindahkan kehadiran Tisya. Namun, Felicya, ibunya merasa senang anaknya mulai terbuka dengan keluarga.

"Siapa tadi namanya?" Felicya bertanya kepada Tisya sembari tersenyum ramah.

"Tisya, Tante."

"Oh, Tisya. Cantik, ya. Faren baru pertama kali bawa cewek ke rumah. Senang bertemu dengan kamu."

Walau ibu dan anak itu tak pernah berbincang lebih tentang cinta. Tapi, melihat Tisya, Felicya merasa lega anaknya tak lagi luput dari lobang luka yang dalam. Ia persis tahu, bagaimana Faren waktu itu putus dengan Keisya. Tidak ada senyum dan hanya menghabiskan waktu dengan gitar. Diam-diam Felicya mengamati.

Suasana menjadi tak enak ketika Damar, ayahnya Faren membuka mulut. "Kita ke Bandung bulan depan, ya."

Faren mendongakkan kepala. Selama ini dia yang selalu tidak suka dengan perpindahan. "Papa saja yang pergi dengan Mama. Kami berdua di sini."

"Jangan membantah. Ikut saja."

"Jangan selalu memaksa apa yang bukan menjadi kehendak kami, Pa."

"Faren! Calm down." Felicya berkata lirih.

"Kami semua sudah besar, Ma, Pa. Kami punya jalan masing-masing. Plis... biarkan kami yang menentukan hidup kami!" Suara Faren meninggi. Selera makannya pun hilang dalam sekejap. Faren pergi ke teras.

"Faren!" teriak Felicya.

"Sudah. Biarkan saja." Damar menghela napas lega. "Setidaknya anak itu sudah besar."

Bingung, Tisya tidak tahu harus bagaimana. Sebenarnya apa tujuan Faren membawanya ke rumah itu pun tidak jelas. Tapi, satu hal yang Tisya tahu, keluarga itu sedang tidak baik-baik saja. Rumah tanpa kehangatan, itu yang Tisya rasakan.

"Maaf, ya, Tisya. Jadi begini," ucap Felicya.

"Gak apa, Tante. Aku ngerti."

"Kamu temani Faren saja, ya. Tenangin dia."

"Oke, Tante. Kalau begitu aku pamit ke depan dulu." Tisya berbalik meninggalkan keluarga Faren.

Lamat-lama Tisya mengamati raut itu. Kesal. Penuh amarah. Tisya beringsut duduk di samping Faren. "Aku baru tahu, Farendra Fulky ternyata se-emosional itu."

"Sori."

Tisya tersenyum lembut. Tangannya perlahan menggegam tangan Faren. "I'm here. And for you."

Faren merasa matanya memanas. Ia menangkap tangan Tisya, membungkusnya dengan jemarinya yang lembap. "Thanks and sorry. Seharusnya kamu gak aku ajak ke sini."

Ada air mata yang meleleh di pipinya, tetapi tak bisa Tisya hapus. Kedua tangannya berada dalam genggaman Faren. Kini, Tisya tahu betapa rapuhnya pacarnya itu selalu menghadapi apa yang tak pernah dia inginkan.

"Jangan nangis." Faren mengusap air mata Tisya. "Aku antar pulang, ya."

Tisya mengangguk pelan. Sebenarnya ia ingin lebih lama berada di sana. Di sisi Faren. Tapi, ia berpikir lebih baik pergi.

Tak tertahankan lagi, Faren mendekap kencang tubuh gadis itu, Tisya membalas dekapan itu sama eratnya. Mata Faren memejam sesaat, meresapi baik-baik apa yang terjadi pada dirinya. Seharusnya ia bersyukur, kalau bukan karena Damar ingin pindah ke sini. Mungkin ia tidak akan bertemu dengan Tisya, orang yang mampu menghangatkan hatinya yang dingin.

For My First Love [SUDAH TERBIT]✔Where stories live. Discover now