15

86 28 30
                                    

Dengan tangan yang sibuk mencincang bumbu-bumbu, mata Osamu terlihat tidak fokus pada apa yang tengah ia kerjakan, pikirannya berkelana. Kembali memikirkan hal yang tengah menimpa adiknya, adik manisnya. Rasanya Osamu ingin sekali menyalahkan Semesta yang berencana membuat adiknya merana tapi, sayangnya dia sama sekali tak berdaya melawan semesta.

Saat itu, nyaris menjadi santapan mata pisau yang tajam, beruntung kesadaran lekas saat deru motor memasuki ruang pendengarannya, refleks Osamu menoleh dan menelantarkan pisau di tangan demi beranjak menuju pintu depan.

Dia kenal deru motor ini, membawa ingatannya kembali ke masa dimana dunia masihlah menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali.

Tiap langkah yang diambil dia jadikan momen untuk menyiapkan hati. Dirinya masih takut jika apa yang ada di depan mata masihlah belum sanggup dia lihat.

Dengan perlahan matanya menyelinap melalui celah gorden. "(Y/n)..." perasaannya campur aduk saat melihat adiknya bersama Suna. Ada banyak gejolak penolakan dalam hatinya saat ini. Alih alih menerjang keduanya, Osamu justru terdiam di tempat dan jatuh dalam pikirannya sendiri.

Tanpa sadar tangannya terkepal hingga buku-buku jarinya memutih. Pikirannya memang melayang entah kemana tapi, matanya tak beranjak sama sekali dari sana.

"Kakak..."

Osamu yang di panggil segera tersadar. Sejenak dirinya terkejut, dia sama sekali tak sadar sejak kapan sang adik berada di depannya. Dia benar benar larut dalam pikirannya sendiri sesaat yang lalu, sebelum akhirnya menampakkan senyum lembut. "Katanya mau pulang malem?"

(Y/n) hanya menggeleng. Raut wajahnya terlihat tegang dengan matanya yang mawas menatap sekitar, takut-takut jika seseorang yang berusaha ia hindari datang dari tempat tak terduga. "Ayah?"

Paham maksud sang adik, Osamu hanya menggeleng dengan tatapan lembut dan mengacak rambut (Y/n). "Ayah lagi pergi." Dan kembali ke balik counter dapur. "kamu ganti baju gih, kakak lagi nyiapin makan malem. Apa kamu mau langsung tidur aja?"

(Y/n) menatap punggung tegap Osamu, pundak yang terlihat kokoh itu entah bagaimana seakan bisa runtuh kapan saja di matanya. (Y/n) benci dirinya yang egois dan menambah beban sang kakak dengan memendam kebencian pada orang tua mereka. Bukan sekali dua kali (Y/n) memikirkan hal ini, memikirkan untuk kembali akur dengan kedua orang tuanya tapi, kenyataan yang ia terima menahannya.

"Makan kak, aku juga laper." Kata (Y/n) yang segera memasang senyum saat Osamu menoleh. "kebetulan aku belum makan." Dan beranjak menuju kamarnya.

Osamu tersenyum puas sebelum kembali melanjutkan urusannya dan berkutat dengan bahan-bahan dapur lainnya. Kali ini Osamu bisa lebih fokus dan tenang, anggap saja hasil dari senyum (Y/n)lah yang membuatnya bisa melepaskan rasa cemas sejenak.

Tepat saat (Y/n) keluar dari kamarnya dengan piama (F/c)nya, saat itu juga semua makanan telah tersaji di atas meja makan.

"Wah, enak banget keknya." Kata (Y/n) sembari berjalan menuju meja makan dan duduk berseberangan dengan sang kakak. Matanya hanya dipenuhi makanan yang ada di depannya, menarik Osamu untuk tersenyum.

Mengambil satu piring, Osamu pun menatap (Y/n). "Mau sebera-" belum dia menyelesaikan ucapan, sebuah notifikasi dari ponsel yang berada di atas meja menginterupsi. Sekilas matanya melihat siapa pengirim pesan tersebut. "tumben..." bisik Osamu dan meletakkan piring di tangannya

Meraih ponselnya, Osamu segera membuka pesan masuk itu, beberapa kali dirinya membaca ulang nama yang tertera tapi, ternyata memang dia yang mengirim pesan, Heisuke Riseki.

Sejak kejadian berdarah Atsumu, Osamu dan teman alumni yang lain tak pernah bertukar kabar dan dirinya pun nyaris melupakan mereka sebab Atsumu lah yang selalu antusias akan segala hal berhubungan dengan mereka sedang Osamu hanya akan mengikuti di belakang. Kemudian setelah kepergian Atsumu, dia pikir semua orang akan melupakannya tapi, sepertinya dia salah.

𝙰𝚗𝚊𝚕𝚐𝚎𝚜𝚒𝚔 || Sunarin ✔Where stories live. Discover now