Part 30: Physical abuse and sexual harassment

921 204 100
                                    

Part 30: physical abuse and sexual harassment

"Nin, lagi di mana?"

"A-aku lagi makan, Pa."

Pa? Maksudnya mungkin papa? Dahi Mahes sampai mengerut saking bingungnya dengan jawaban Nindi di seberang sana. Atau barangkali Nindi mengira yang meneleponnya adalah papanya? Atau itu semacam panggilan baru untuk Mahes.

"Di mana? Kapan pulang? Ayo, main."

"Ini aku lagi makan bakso, Papa. Udah ya, entar aku pulang kok."

Panggilan terputus sepihak. Mahes meremas geram benda pipih itu, sampai urat-urat tangannya menyembul. Andai ia punya kekuatan, ponsel itu sudah tak berbentuk lagi karena remasannya.

"Kok, nyesek ya?" Ia bertanya pada dirinya sendiri, seraya memegangi dadanya dramatis.

"Papa" di sini maksudnya apa? Semacam panggilan sayang kah? Atau sedang sembunyi-sembunyi mengangkat teleponnya? Nada bicaranya pun kedengarannya tak santai, cenderung panik dan ingin cepat-cepat mengakhiri telepon darinya.

"Dia lagi berusaha jaga perasaan pacarnya, pas sama gue dulu dia terang-terangan gatel ke cowok lain. Asli, definisi cewek goblok, nggak guna, hidup lagi!"

Ya-ya, Mahes tahu dia sudah punya pacar, dan pacarnya sahabatnya sendiri. Dimas merupakan definisi the real ambil bekas teman, sekaligus nikung. Betapa kurang ajarnya dia yang diam-diam menyembunyikan hubungannya dengan bersandiwara, aktingnya se-natural itu. Memang cocok jadi pemain film kuyang.

Mau mencoba bersikap bodoh amat susahnya seperti menang undian. Hendak merelakan, rupanya tak sesuai seperti apa yang ia rencanakan. Kalau dipikir-pikir, memangnya ia punya kendali apa untuk mengatur Nindi boleh-tidaknya berpacaran dengan siapa saja? Nindi berhak bahagia dengan orang baru, setidaknya hanya untuk saat ini, di masa depan Mahes tak akan membiarkan siapa pun memilikinya.

Untuk mengalihkan pikiran berkecamuk yang terjadi sejak Dimas dan Nindi pergi berdua, Mahes bertandang ke kediaman kakaknya, untuk membantu mengemas pesanan. Ternyata sesampainya di rumah produksi pikirannya tak juga teralihkan, bahkan ketika sedang asyik memainkan game di laptop kakaknya.

"Resinya dah keluar banyak tuh! Cepet packing!" Mahes menghentikan jarinya yang menari di keyboard laptop, dan memutar kursi putarnya menghadap pria berusia 26 tahun itu.

Netranya menilik printer yang menyembulkan banyak kertas resi, lalu memandang tumbukan paket yang telah siap antar, dan tumpukan produk masker itu dengan perasaan muak. Setiap hari pemandangan selalu dipenuhi oleh masker-masker itu, rasa ingin menyedekahkan masker itu ke orang-orang yang membutuhkan pun stonks.

"Tugas gue 'kan cuman jadi admin, ngapain bantu packing?"

"Mau nikah muda nggak?"

"Eh, mau!"

"Ya, udah, bantu packing!"

Seperti sambaran kilat, Mahes telah berpindah tempat di dekat kakaknya yang sedang berkutat dengan kertas resi, plastik, lakban, bublewarp dan masker itu. Ia ikut bergabung mengemas berpuluh-puluh pesanan.

"Karyawan lo ke mana sih? Adek sendiri dijadiin babu, karyawan dimanja. Punya kakak kok, gini amat!" oceh Mahes, sambil tangannya sibuk mengemas masker-masker itu dengan menggunakan tenaga dalam, brutal.

"Emang gue bangga punya adek lo?"

Damn!

Manusia kulkas sekali nyinyir nyelekin parah. Langsung mengakibatkan gangguan mental.

GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)Onde histórias criam vida. Descubra agora