22

2.1K 142 2
                                    

Halooo, apa kabar?

Mau promosi kalau cerita ini ada di KBM dan Karyakarsa sudah Bab 35 ya dengan harga yang terjangkau.

link ada di bio atau username : aniswiji

Selamat Membaca

Hari ini merupakan hari terakhir aku bekerja. Yang otomatis hari ini juga aku akan berpisah dengan teman sejawat atau bahkan anak-anak.

"Kamu sudah siapkan?" Tanya Pak Rian saat mengantarkanku ke sekolah untuk berpamitan. Kami memang datang berdua dan menitipkan anak-anak ke rumah Kak Anik karena ada acara perpisahan yang dibuat sekolah untukku. Sebenarnya ini sulit ya, karena disinilah aku memulai karir, berkembang, dan berproses menjadi tenaga pendidik yang berkualitas.

"Siap."

"Yasudah ayo kita turun. Itu teman kamu sudah menunggu di depan aula." Tunjuknya ke sederet orang-orang yang berdiri. Aku mengangguk dan keluar dari dalam mobil untuk menuju ke aula.

"Bu Fira, ayo masuk Bu. Eh ada suaminya Bu Fira, mari Pak masuk acaranya sebentar lagi dimulai." Ucap Bu Indah, teman sejawatku disini.

Aku berjalan dan duduk di kursi depan bersisian dengan Pak Rian. Sepanjang acara tangan Pak Rian menggenggam tanganku erat, seolah mendukung semua yang menjadi pilihanku. Hingga sampailah di acara akhir, dimana aku bersalaman dengan rekan-rekan.

"Bu, saya mau minta maaf atas kesalahan saya selama disini. Apalagi kalau ada tutur kata saya yang menyinggung hati Ibu."  Kataku.

"Tidak Bu, kami yang seharusnya meminta maaf jika selama ini menjadi rekan tidak kooperatif. Saya berdoa semoga Ibu kedepannya dilimpahkan kebahagiaan, kalau Ibu berkenan silakan mampir disini kalau ada waktu." Aku mengangguk dan memeluk tubuh Bu Indah dan yang lainnya. Bagiku mereka bukan hanya rekan tetapi keluarga kedua.

"Saya juga mendoakan Ibu dan rekan agar dilingkupi kebahagiaan dan kesehatan."

Acara perpisahan ini diakhiri dengan kami yang berfoto bersama. Mengabadikan momen yang terakhir kami bersama.

"Jangan menangis." Bisik Pak Rian saat kami akan mengambil foto bersama.

"Aku tidak menangis." Jawabku berbohong, mana ada perpisahan yang tidak ada acara menangis. Sekuatnya aku menahan air mata, tetapi air mata ini tetap akan luruh.

Kuusap sisa air mataku yang keluar, "Satu... Dua... Tiga."

Cekrek.

"Sudah, kamu bisa menangis lagi nanti." Kata Pak Rian sebelum meninggalkanku untuk mengambil air mineral.

"Bu Fira beruntung ya punya suami yang perhatian." Lirih aku mendengar teman-temanku membicarakan sosok Pak Rian.

"Lah, iya. Bu Fira itu dapat paket komplit, suami tampan, mapan ditambah dua anak kembar yang cantik dan ganteng. Hot Duda."

"Kalau rezeki ya begitu Bu." Aku tersenyum saat mereka sibuk membicarakan diriku. Toh yang dibicarakan mereka hal baik jadi tidak masalah.

"Kenapa senyum-senyum sendiri?" Tanya Pak Rian saat mendapatiku tersenyum mendengar perkataan teman-temanku.

"Enggak."

"Yasudah ayo pulang, kasihan kembar kalau lama ditinggal." Aku berjalan meninggalkan aula setelah berpamitan dengan teman-temanku.

***

"Sekarang kamu fokus jadi ibu dan istri yang baik buat Rian ya Dek?" Tanya Kak Anik saat aku berkunjung ke kediamannya setelah selesai membereskan rumah meskipun semuanya dibereskan Bibi dan aku hanya bagian kamar saja.

"Iya, sudah kesepakatan dari awal Kak."

"Bagus dong, kamu jadi fokus ke mereka. Lagian ya Kakak dengar Rian bercerai dengan mantannya juga gara-gara mantan istrinya gila kerja."

"Hust, Kakak ngomongin suami aku." Jawabku sambil tersenyum. Selama menikah dengan Pak Rian aku memang tidak pernah mengungkit masa lalunya, baru kalau dia yang bercerita aku akan mendengarkannya.

"Hahaha, jadi istri protektif ini. Eh, sudah telat belum?" Aku menatap Kak Anik dan menggeleng, "Belum."

"Yakin kamu Dek?"

"Iya, lagian kalau mau hamil ya harus ditungguin Kak. Kan aku akhir-akhir ini seringnya ditinggal." Jawabku.

"Tapi kamu tidak menunda, kan?"

"Buat apa Kak? Bahkan aku pingin lekas punya anak biar enggak suntuk di rumah saat si kembar sekolah." Aku menatap kebun mini Kak Anik yang ditumbuhi berbagai bunga dan buah.

"Makanya usaha."

"Terserah Kakak deh." Mau dijelaskan juga pasti Kak Anik tetap tidak percaya.

Aku menyesap teh yang dibuat Kak Anik tadi, "Harum, enak."

"Enaklah, teh mahal juga." Aku tersenyum dengan sikap Kak Anik yang masih sama apalagi masalah uang.

"Dulu Kakak untuk dapat Kayla itu usaha sana sini. Minum jamu, ke dokter buah konsultasi, ke alternatif. Semuanya Kakak jabanin biar lekas dapat anak. Hingga dua tahun menikah baru Kakak dapat Kayla. Tapi semua itu buat Kakak impas sih, usaha Kakak terbayar saat Kayla lahir dengan kondisi normal dan sehat." Aku mengangguk karena aku tahu pengorbanan Kak Anik dulu. Sebenarnya Kak Anik ini memiliki siklus menstruasi yang cenderung kacau dibandingkan diriku. Jadi aku tahu betapa tersiksanya dia sebelum memiliki anak.

"Semua akan indah pada waktunya ya Kak."

"Iya, kalau diibaratkan sebagai manusia kita hanya bisa berusaha semuanya terserah sama Allah. Dulu Kakak takut jika Kakak harus ikhlas berbagai dengan wanita lain kalau saja Kakak tidak bisa memberikan keturunan buat Abang. Tapi Abang selalu menguatkan Kakak."

"Kakak beruntung dapat Abang." Pujiku, memang mereka sudah berpacaran cukup lama sebelum memutuskan untuk menikah.

"Kamu juga, Rian juga pria baik. Semoga kalian lekas memiliki anak." Aamiin, aku tersenyum dan mengangguk. Jika saja anugerah itu sudah bersemayam di dalam perutku pasti ini akan menjadi kado terindah kami dalam enam bulan menikah.

Tapi semua kembali ke Allah, kapan waktunya tiba. Sebagai hamba, aku dan Pak Rian hanya berusaha dan menjalankan apa yang diamanatkan sekarang yaitu Qian dan Quin, membimbingnya menjadi anak yang sholeh dan sholehah.

Tbc

Shaffira ✔ (KBM & KARYAKARSA)Where stories live. Discover now